Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Semiotika Politik Pilpres

Acep Iwan Saidi

Pemilu Presiden 2014 terasa meniupkan aura lain. Mengasyikkan sekaligus  mencemaskan. Mengasyikkan alasannya ialah kita sanggup menyaksikan tontonan gratis tingkah para politisi yang dalam banyak hal tampak kekanak-kanakan: ada yang mutung , yang menawar-nawarkan diri berkoalisi tapi tidak laris , yang bitrik netral tapi bunyi bakal diberikan kepada pihak tertentu. Mencemaskan alasannya ialah laris kanak-kanak sering lepas kontrol. ”Ini Perang Badar ,” demikian lebih kurang Amien Rais. Tanpa keterangan ”badar” pun , perang merupakan metafora mengerikan. Dalam perang , apa pun sah dilakukan. Perang hanya punya satu kebijakan , yakni menghancurkan lawan.

Situasi demikian dimotivasi beberapa hal. Pertama , setrik semiotik capres  sekarang memiliki gestur yang bertolak belakang. Kedua , setiap kubu memiliki media (stasiun televisi) yang lebih kurang berkekuatan seimbang. Dalam ”jurnalisme capres” kali ini , dua televisi tersebut lebih sempurna disebut ”media sukses” capres masing-masing. Ketiga , tak adanya petahana dalam kompetisi menjadikan persaingan sanggup lebih terbuka; sejatinya melahirkan kompetisi yang lebih sehat.

Ideologi gambar

Lantas , di manakah ideologi? Mungkin Anda bakal bilang ketinggalan zaman kalau kita masih bitrik ideologi. Faktanya , ideologi memang sudah tidak ada lagi pada zaman ini di sini. Dalam konteks partai politik , ideologi lenyap manakala mereka berkoalisi. Koalisi , gimanapun , ialah nama lain dari kompromi. Kompromi , mau tidak mau , mengubah ”definisi diri” dan trik melihat pihak lain yang telah dibingkai oleh ideologi.

Matinya ideologi sedemikian rupanya melahirkan ”ideologi” dalam bentuk baru. Di sinilah ditemukan definisi lain ihwal ideologi , yakni sebagai produksi tanda dan makna. Segimana kita saksikan , yang terjadi dalam kompetisi pilpres kali ini ialah pengidealan hal-hal parsial yang satu sama lain sanggup jadi tak saling berhubungan. Gestur tokoh , warna baju , dan kawasan deklarasi ialah beberapa referensi yang dengan gampang sanggup diamati. Inilah ideologi gambar. Ideologi ini ringkih alasannya ialah relasinya dengan realitas memang ringkih. Ideologi gambar ialah politisasi realitas.

Mari kita uji setrik obyektif kesahihan ideologi demikian dalam kaitannya dengan realitas. Calon presiden Prabowo , contohnya. Ia ialah sosok bertubuh kekar ,  jarang tersenyum , dan selalu berbitrik dengan tekanan nada yang kuat. Dalam iklan di televisi , Prabowo selalu memulai dengan menegaskan eksistensi dirinya , ”Saya Prabowo Subianto….” Dari gestur ini , beberapa pihak menilai Prabowo sebagai sosok tanpa kompromi , tegas , bahkan ada juga yang menilainya keras. Inilah sosok ideal sebagai presiden sekarang.

Namun , gestur tersebut ternyata tidak sepenuhnya berelasi dengan seni administrasi dan tindakan politiknya. Koalisi yang dibangun Prabowo , suka tidak suka , sanggup dikatakan sebagai koalisi yang mengendurkan ketegasan perilaku yang tecermin pada gestur di atas. Tawaran sebagai menteri utama kepada Aburizal Bakrie menegaskan hal ini. Di samping itu , bila diperiksa visi dan misinya , kata yang paling keras diungkapkan ialah ”reformasi” (misi nomor 4: ”Meningkatkan kualitas sumber daya insan dengan melaksanakan REFORMASI pendidikan”). Kata-kata lain merupakan diksi yang sudah sangat umum , menyerupai ”membangun perekonomian yang berpengaruh , melaksanakan ekonomi rakyat , dan menjaga kelestarian alam.”

Sementara itu , Jokowi ialah capres yang gesturnya berkebalikan dengan Prabowo. Ia kerempeng , bitriknya datar , murah senyum (juga tertawa) , dan alasannya ialah itu terkesan tidak tegas. Sebagian menilai ia cenderung kompromistis dan bahkan sanggup menjadi ”boneka”. Tentu para pendukungnya menilai bahwa sosok ini justru yang sempurna untuk memimpin. Tubuh kerempengnya ialah representasi dari ”tubuh rakyat”  kebanyakan yang memang juga ”kerempeng” , bahkan kerontang.

Namun , menyerupai halnya Prabowo , gestur Jokowi tak berelasi dengan tindakan politiknya. Koalisinya tanpa syarat. Ini terang sebuah ketegasan , bahkan sanggup dibilang keras. Kepada calon koalisinya ia bilang , mau begitu silakan , tak mau tidak apa-apa. Lantas , mari periksa visi dan misinya. Melampaui kata reformasi dari Prabowo , Jokowi menentukan kata revolusi (misi nomor 8: ”Melakukan REVOLUSI abjad bangsa).” Perhatikan juga idiom lain yang dipilihnya , yang terkesan mengatakan perlawanan , menyerupai ”menghadirkan kembali negara , membuat pemerintah tidak bolos , membangun Indonesia dari pinggiran , dan menolak negara lemah”.

Politik ”½ x” Soekarno

Uraian di atas tak bertendensi menempatkan yang satu lebih baik daripada yang lain atau sebaliknya. Semua yang dilakukan capres tentu pilihan yang konsekuensinya telah mereka pertimbangkan dengan mengukur sebatas mana impian rakyat. Alih-alih membandingkan , analisis di atas dilakukan  untuk menegaskan bahwa kekerabatan antara ideologi gambar dan realitas yang dibayangkan khalayak tentangnya sangat rapuh. Politik kita hari ini penuh dengan permainan tanda. Ideologi gambar tidak lain ialah produksi makna dengan modal kecakapan mendesain tanda. Makna yang dimaksud ialah hal yang berkaitan dengan penampakan tanda itu sendiri , sesuatu yang bermain di permukaan. Ia bermain dalam estetika bentuk , bukan esensi.

Pada situasi demikian , ideologi gambar tak merumuskan prinsip yang harus diperjuangkan. Alih-alih memperjuangkan prinsip , ideologi gambar melaksanakan kamuflase. Ia tidak peduli dengan perbedaan atau persamaan. Yang dikedepankan ialah tujuan simpel meraih khalayak sebanyak-banyaknya melalui trik berkompromi dengan khalayak bersangkutan , bukan menarik hati khalayak untuk masuk ke dalam keyakinannya.

Hal ini tampak terang pada gimana prosedur pencitraan yang dipilih oleh kedua kubu. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo , keduanya menentukan kostum putih dan situs sejarah yang mengacu ke tokoh yang sama dalam deklarasi , yakni Soekarno. Pilihan yang sama ini menjadikan mereka terjebak dalam politik terkenal yang terstandardisasi. Desain baju putihnya memang berbeda , situs deklarasi yang dipilih juga berbeda. Namun , perbedaan ini seakan-bakal saja alasannya ialah faktanya keduanya putih dan keduanya mengacu kepada Soekarno. Dalam kajian budaya terkenal , trik ini melahirkan apa yang disebut Strinati (2004) sebagai subyek palsu.

Kesamaan dan keseolah-olahan berbeda sedemikian terjadi alasannya ialah ideologi gambar bersifat saling mengintip ihwal gimana kehadiran lawan di tengah khalayak. Hal ini persis menyerupai politik tayang agenda sinetron pada stasiun televisi populer. Jika sebuah stasiun menyiarkan sinetron tertentu dan ternyata penontonnya banyak , stasiun yang lain segera meniru. Ideologi gambar , dengan demikian , ialah ideologi rating. Di dalam ideologi ini , fokusnya khalayak , bukan paham atau ideologi yang diyakininya itu sendiri.

Dalam konteks peminjaman sosok Soekarno sebagai referensi ideologi gambar , subyek Soekarno ”dibelah” jadi beberapa bagian. Kedua kubu hanya mengambil sebagian kecil. Satu kubu mengambil gambaran kerakyatan , kubu lain mengadopsi gaya dan retorika lapis luar. Ini yang saya sebut ”politik ½ x Soekarno”. Bagaimana Soekarno memperjuangkan ideologi sampai dikucilkan pada tamat hayatnya terang tak masuk ke dalam rumusan ideologi gambar. Kedua kubu lupa , anutan Soekarno yang terpenting terkait soal ideologi ialah tak adanya celah bagi ideologi untuk dikompromikan. Kemenangan ideologi ialah ketika ia ditegakkan dalam situasi apa pun , tanpa syarat. Dengan trik demikianlah sampai kini Soekarno tetap jadi pemenang.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB; Komisaris Warung Narasi Bandung

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Semiotika Politik Pilpres"

Total Pageviews