Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Melawan Syahwat Keduniawian

Azyumardi Azra

IBADAH puasa Ramadhan merupakan kewajiban dan tradisi keagamaan yang berusia sangat panjang. Meski hanya Islam yang mewajibkan kepada para penganutnya untuk berpuasa sepanjang Ramadhan , ibadah puasa telah ada dan dilakukan umat-umat beriman yang ada sebelum datangnya Islam.

Dilaksanakan sebulan penuh , ibadah puasa dalam Islam diharapkan sanggup membentuk mereka yang puasa (sha’imin dan sha’imat) menjadi orang-orang yang bertakwa , orang yang terpelihara pikiran dan perbuatannya dari hal-hal keji dan mungkar.

Berpuasa dengan demikian merupakan tradisi keagamaan dan spiritual yang panjang. Ibadah puasa Ramadhan dengan segala ibadah lain yang menyertainya merupakan salah satu ritual utama untuk meningkatkan kualitas jasmani dan lebih-lebih lagi rohani umat beriman. Jika ibadah puasa dilaksanakan sesuai keyakinan dan petunjuk agama , orang yang berpuasa sanggup mencapai tingkat kerohanian (maqamat) lebih tinggi.


Mengingat pentingnya posisi ibadah puasa , mereka yang menjalankan kehidupan asketik—yang dalam tradisi Islam disebut sebagai kaum Sufi—menjadikan ibadah puasa , baik dalam bulan Ramadhan maupun puasa Senin-Kamis dan bahkan puasa ”Nabi Daud” (selang hari) , sebagai potongan sangat penting dalam kehidupan mereka. Bagi kaum Sufi , berpuasa bukan hanya sebagai pemenuhan ketentuan aturan eksoterik (fiqh) , melainkan juga sebagai potongan terdalam (inner atau batin atau esoteris) dari eksistensi sebagai mukmin dan Muslim.

Syahwat angkara murka

Ibadah puasa , baik yang wajib sepanjang Ramadhan maupun yang sunah , merupakan  latihan fisik dan mental untuk mengendalikan banyak sekali macam hawa nafsu atau syahwat keduniaan , baik kebendaan maupun kekuasaan , yang terdapat dalam diri manusia. Sedikitnya terdapat tiga macam hawa nafsu yang selalu bergejolak dalam diri manusia; hawa nafsu seksual , hawa nafsu  kebendaan , dan hawa nafsu kekuasaan.

Asketisme dalam Islam tidak berarti menafikan segala macam hawa nafsu tersebut sebab ia sanggup menjadi pendorong (driving force) untuk mencapai kehidupan lebih baik. Karena itu , yang dibutuhkan ialah pengendalian hawa nafsu. Sebab , bila hawa nafsu tidak terkendali , banyak sekali bentuknya menjadi angkara murka yang menjerumuskan insan ke dalam eksistensi lebih rendah daripada binatang atau  seburuk-buruk kejadian (asflus-safilin).

Meski insan juga dianugerahi Allah SWT dengan logika dan hati nurani (qalb) yang sanggup membimbingnya pada kebenaran , dalam kenyataannya bukan tidak sering terlihat insan setrik langsung atau kelompok lebih dikuasai hawa nafsu angkara murka. Mereka seolah tidak terkendali mengumbar hawa nafsu seksual , mengejar harta benda setrik haram , contohnya melalui korupsi. Juga berusaha menggapai kekuasaan dengan trik apa saja: menghalalkan segala macam trik yang tidak sesuai dengan fatwa agama , nilai moral dan etik , sekaligus bertentangan dengan ketentuan perundangan dan aturan negara.

Ulama besar Nusantara , Syaikh Nawawi al-Bantani , menyebut hawa nafsu yang paling perlu diwaspadai ialah al-nafs al-ammarah yang meliputi sikap rakus , hasad atau dengki , sombong , dan syahwat keduniaan—mabuk seks , asing harta benda dan kekuasaan. Manusia beriman perlu pula menjaga diri dari al-nafs al-lawwamah yang meliputi sikap ibarat suka mencela , menipu , dusta , membanggakan diri sendiri , dan zalim.

Syahwat kekuasaan

Kedua bentuk hawa nafsu—ammarah dan lawwamah—dengan gampang sanggup terlihat dalam masyarakat Indonesia sampaumur ini. Dari hari ke hari orang mengikuti pemberitaan yang hampir tidak pernah putus mengenai sikap seks menyimpang ibarat pelecehan seksual dan paedofilia.

Pada ketika yang sama , kita juga dengan gampang sanggup menyaksikan meningkatnya kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik. Di mana-mana kita sanggup menyaksikan orang berlomba-lomba menampilkan gaya hidup konsumtif dan boros.

Tidak kurang mencoloknya ialah peningkatan gejolak syahwat kekuasaan di tengah meningkatnya persaingan menuju dingklik kepresidenan yang bakal diputuskan melalui pelaksanaan pemungutan bunyi pada 9 Juli 2014. Dalam kampanye untuk mendapat pinjaman bunyi , al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah kelihatan begitu merajalela dalam banyak sekali bentuk kampanye hitam , yang umumnya berisi fitnah yang jauh dari kebenaran.

Menjelang pemungutan bunyi untuk pilpres kali ini , di tengah kekhusyukan kita menjalankan ibadah puasa , semestinya al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah semakin ditinggalkan. Jika tidak , ibadah puasa yang dikerjakan tidak bakal menghasilkan apa-apa kecuali sekadar lapar dan dahaga.

Sebaliknya , ibadah puasa seyogianya sanggup menumbuhkan al-nafs al-muthma’innah , yakni hawa nafsu yang sudah tenang dan damai. Dengan al-nafs al-muthma’innah , orang tidak lagi dikuasai syahwat kebendaan dan kekuasaan yang menghalalkan trik-trik Machiavelian.

Sebaliknya , ia lebih banyak bersyukur dan merasa cukup dengan rezeki yang halal (qana’ah). Pada ketika yang sama juga lebih bertawakal dalam semua ikhtiar yang dilakukan dan melakukan amal saleh—termasuk dalam kehidupan politik—setrik nrimo dengan hanya mengharap rida Allah semata.

Dengan begitu , ibadah puasa di bulan Ramadhan sanggup bermakna sangat positif dalam kehidupan langsung , masyarakat , dan negara-bangsa.

Azyumardi Azra; Guru Besar Sejarah , Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta , Laurate Fukuoka Prize 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Melawan Syahwat Keduniawian"

Total Pageviews