Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Dimensi Konflik Politik

Ignas Kleden

DALAM karya klasiknya , Democracy in America , aristokrat Perancis , Alexis de Tocqueville , menulis dalam pengantar bukunya tahun 1830-an: ”Apakah insan selalu menghuni suatu dunia ibarat yang ada kini , di mana segala sesuatu tidak berada dalam korelasi yang benar dengan yang lain , di mana kebajikan hadir tanpa kecerdasan , dan kecerdasan ada tanpa kehormatan; di mana cinta bakal tata tertib dikacaukan dengan selera untuk penindasan , dan penghormatan yang suci terhadap kebebasan dikacaukan dengan pelecehan terhadap hukum; di mana sinar yang dipancarkan oleh hati nurani atas tindakan insan menjadi redup , dan tidak ada lagi yang terlarang atau diizinkan , terhormat atau memalukan , salah atau benar?”

Tiap ketegangan dan krisis politik memiliki satu manfaat , yaitu mengatakan mengkristalnya kepentingan-kepentingan politik dan kekuatan yang mendukung setiap kepentingan yang saling bersaing. Ketegangan yang muncul sebab permintaan Presiden Joko Widodo kepada dewan perwakilan rakyat pada 9 Januari 2015 supaya menyetujui penunjukan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Kepolisian Negara RI dan sambutan dewan perwakilan rakyat yang , di luar dugaan , mendukung pencalonan BG telah menjadikan heboh politik , khususnya sesudah KPK mengumumkan pada 13 Januari 2015 bahwa calon bersangkutan menjadi tersangka oleh KPK. Ketegangan agak mereda sesudah Presiden Jokowi mengumumkan pada 16 Januari bahwa peresmian BG ditunda.

Krisis politik tersebut patut dipandang sebagai hanya salah satu insiden politik yang mengatakan korelasi dan oposisi di antara beberapa kekuatan sosial-politik yang membawa serta kepentingan politik mereka. Kalau korelasi di antara banyak sekali kekuatan politik itu tidak dibenahi , krisis yang sama bakal muncul kembali kalau terjadi benturan kepentingan dalam contoh yang sama di kemudian hari.

Dalam keadaan kini korelasi dan oposisi itu sanggup muncul dalam korelasi (1) di antara direktur dan legislatif , (2) di antara presiden dan koalisi pendukungnya , (3) di antara koalisi-koalisi dalam dewan perwakilan rakyat , (4) di antara presiden dan kelompok masyarakat sipil , khususnya kelompok-kelompok relawan , (5) di antara kepentingan oligarki dan kepentingan demokrasi , dan (6) di antara mekanisme politik dan substansi politik. Setiap korelasi ini bakal ditinjau setrik singkat dalam goresan pena ini.

Adanya koalisi pendukung presiden menjadi penting sebab dalam Badan Legislatif koalisi pendukung ini menjadi penyeimbang koalisi oposisi dalam menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah dan program-program pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Tanpa adanya koalisi pendukung yang besar lengan berkuasa , kebijakan apa pun dari pemerintah sanggup saja dijegal oleh oposisi dalam DPR. Di negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan persaingan di antara koalisi didasarkan pada ideologi setiap pihak. Maka koalisi yang yakin bakal pentingnya pertumbuhan ekonomi , khususnya pertumbuhan industri , bakal berhadapan dengan koalisi yang membela terawatnya lingkungan hidup. Atau sejauh menyangkut pengendalian pertumbuhan penduduk , persaingan terjadi di antara koalisi yang mengambil posisi pro life dan koalisi yang menganut paham pro choice.

Seorang direktur tertinggi ibarat presiden diperlukan atau bahkan dituntut membuat kebijakan yang sejalan dengan ideologi koalisi pendukungnya dan bukannya harus sesuai harapan seorang pemimpin partai dalam koalisi , yang lebih merupakan kepentingan eksklusif dan bukannya kepentingan ideologi yang dianut dalam koalisi pendukung. Dalam masalah Indonesia , ideologi partai-partai politik dan ideologi koalisi politik pada umumnya belum terang atau gres terang dalam banyak sekali pernyataan politik , tetapi tidak dioperasionalisasikan dalam program-program politik. Akibatnya , perilaku partai dan koalisi lebih bergantung pada kehendak pemimpin partai yang paling lebih banyak didominasi dalam koalisi , meskipun pelaksanaan harapan ketua partai tersebut sanggup merugikan atau membahayakan posisi koalisi yang dipimpinnya.

Ketika mengusulkan nama BG sebagai calon Kapolri , yang didukung Koalisi Indonesia Hebat (dan kemudian juga Koalisi Merah Putih) , Presiden niscaya mengalami kesulitan menjelaskan korelasi di antara pengangkatan komjen yang konon kaya-raya itu dengan rencana ekonomi Presiden Jokowi untuk memberi perhatian utama kepada masyarakat menengah-bawah. Juga PDI-P bakal kelabakan menjelaskan kaitan BG dengan PDI-P sebagai partai wong cilik. Demikian pun Nasdem sebagai partai perubahan tidak gampang melihat korelasi di antara perubahan yang dikehendaki dan kondisi seorang arriviste di kalangan elite politik. Quis custodiet custodes? Siapa yang harus mengawal para pengawal? Itulah pertanyaan para andal aturan Romawi zaman dulu. Dalam hal itu sebaiknya pemimpin mendengar bunyi rakyatnya sebab merekalah yang paling berkepentingan dengan pengawalan yang diberikan kepada mereka.

Relasi timpang eksekutif-legislatif       

Hal ini berafiliasi dengan duduk kasus kedua , yaitu korelasi dan oposisi di antara direktur dan legislatif. Sejarah politik Indonesia semenjak Orde Baru mengatakan bahwa korelasi itu cenderung menjadi korelasi yang timpang. Dalam pemerintahan Presiden Soeharto , dewan perwakilan rakyat mudah hanya berperan sebagai stempel yang mengesahkan semua kebijakan yang diajukan oleh eksekutif. Tidak ada fungsi kontrol oleh dewan perwakilan rakyat segimana diamanatkan oleh undang-undang. Dapatlah dipahami bahwa semenjak Reformasi 1998 dewan perwakilan rakyat berusaha merebut otonominya kembali dengan membuat tiga fungsinya menjadi efektif , yaitu legislasi , pengawasan , dan anggaran. Menurut kecerdikan tata negara tiga fungsi ini semestinya mengejawantahkan kedudukan dewan perwakilan rakyat sebagai representative body , yaitu representasi kepentingan rakyat.

Dalam arti itu keberhasilan tiga fungsi dewan perwakilan rakyat amat tergantung dari seberapa jauh representasi itu direalisasikan dalam tiga fungsi itu. Apakah dalam menjalankan fungsi legislasi dewan perwakilan rakyat membuat UU yang mewakili kepentingan rakyat atau lebih mengutamakan kepentingan negara dan malahan membela kepentingan pasar dan konglomerat? Apakah pengawasan yang dilakukan dewan perwakilan rakyat menjadi kontrol terhadap kekuasaan negara dan terhadap intervensi elite politik dan para anggota oligarki atau hanya menjadi kontrol terhadap kebebasan rakyat dalam menyatakan pendapat dan memperjuangkan aspirasinya? Demikian pun dalam mengesahkan anggaran belanja negara , apakah diperhatikan anggaran yang disusun memihak kepentingan rakyat , kepentingan penguasa atau kepentingan pasar semata-mata?

Sudah terang bahwa dalam menyusun permintaan anggaran para direktur memberi perhatian utama pada target-target yang harus dicapai oleh setiap departemen pemerintahan. Namun , imbangan yang sanggup diberikan oleh dewan perwakilan rakyat yakni meninjau seberapa jauh target-target dalam jadwal pembangunan memihak , menjauhi atau bahkan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Kalau tugas-tugas representasi ini dilaksanakan dengan benar dan bertanggung jawab , sanggup dipastikan , para anggota dewan perwakilan rakyat punya lebih dari cukup pekerjaan rumah dan tidak banyak waktu yang tersisa untuk melaksanakan manuver-manuver yang tidak perlu untuk memperoleh lebih banyak kekuasaan atau membuat pertandingan hegemoni dengan kalangan eksekutif.

Hubungan di antara koalisi dalam dewan perwakilan rakyat , yaitu di antara koalisi pendukung pemerintah dan koalisi oposisi amat penting untuk menjaga keseimbangan melalui pembagian peran. Koalisi pendukung pemerintah sanggup menjelaskan dan mendukung kebijakan pemerintah , sementara koalisi oposisi mempertanyakan dan mempersoalkan hal-hal yang belum terang atau dianggap tak sesuai dengan UU. Koalisi pendukung pemerintah sanggup menjadi sandaran legislatif bagi kebijakan yang diajukan oleh direktur , dan diharap tidak mendesak harapan mereka sendiri supaya dilaksanakan oleh pemerintah.

Koalisi partai oposisi perlu ada untuk mengecek , apakah pelaksanaan kekuasaan direktur sesuai atau bertentangan dengan UU dan sejalan dengan kepentingan rakyat yang direpresentasikan dalam fungsi DPR. Dalam rumusan yang ekstrem sanggup dikatakan , oposisi harus ada supaya pemerintah dan koalisi pendukungnya tidak menjadi sewenang-wenang dan diktatorial dalam penggunaan kekuasaan , sedangkan koalisi pendukung pemerintah perlu ada supaya oposisi tidak menjadi sewenang-wenang dan anarkistis dalam menjungkir-balikkan kekuasaan yang sah. Keduanya bakal bertemu pada dua titik yang sama , yaitu pelaksanaan kekuasaan (atau machtsaanwending , berdasarkan rumusan Bung Karno) tidak berkembang sampai keluar batas UU atau bertentangan dengan kepentingan rakyat yang terwakili dalam diri legislator dan forum legislatif.

Ketentuan normatif di atas tidak dengan sendirinya meniadakan vested interest dalam setiap koalisi. Kasus BG sanggup menjadi ilustrasi. Setelah BG diajukan sebagai calon Kapolri dan disusul penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK , baik koalisi pendukung pemerintah maupun koalisi oposisi kelihatan tidak terpengaruh oleh penetapan KPK ini. Komisi III dewan perwakilan rakyat tetap melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan pada 14 Januari 2015 dengan hasil mendukung pencalonan BG sebagai Kapolri , yang sehari kemudian diperkuat oleh pertolongan rapat paripurna DPR. Muncul pertanyaan: mengapa KIH sebagai pendukung pemerintah menyetujui pencalonan BG , meskipun sudah dinyatakan sebagai tersangka? Mengapa juga KMP sebagai oposisi , yang sebelum ini belum pernah sejalan dengan koalisi pendukung pemerintah , sekali ini demikian kompak dalam mendukung BG? Tentulah sukar bagi rakyat untuk percaya bahwa pertolongan itu diberikan untuk menjamin pemerintahan yang higienis tanpa korupsi , meskipun harapan itu berulang-ulang diucapkan oleh kedua koalisi selama masa kampanye.

Elite politik vs kekuatan rakyat

Terlihat di sini tegangan antara politik yang dijalankan elite politik dan politik yang digerakkan oleh kekuatan rakyat dalam masyarakat sipil , yang telah memainkan peranan yang memilih dalam kemenangan Jokowi sebagai capres. Kesulitan yang dihadapi masyarakat sipil ialah kemampuan mereka dalam mendukung atau menggagalkan kudeta atau machtsvorming berdasarkan istilah Bung Karno , belum diimbangi dengan kemampuan mereka dalam membantu penggunaan kekuasaan setrik lebih baik oleh pemegang kekuasaan.

Proses-proses politik intra-parlementer hampir tak ada hubungannya dengan proses-proses ekstra-parlementer , kecuali dalam bentuk tubuh legislatif jalanan kalau ada krisis politik. Perlu dicari jalan supaya bunyi dan aspirasi masyarakat sipil sanggup diakomodasi sebagai input dalam perdebatan di dewan perwakilan rakyat , contohnya melalui permintaan perbaikan rencana UU atau permintaan perbaikan alokasi anggaran pada tingkat nasional dan tingkat kawasan sehingga fungsi representasi dewan perwakilan rakyat semakin diperkuat oleh partisipasi aktif dan efektif oleh kelompok masyarakat sipil. Dirumuskan dalam bentuk ekstrem , suatu politik intra-parlementer tanpa persinggungan dengan masyarakat sipil hanya menghasilkan isolasionisme kelembagaan yang bakal membuat mandul fungsi representasi DPR. Sebaliknya , aktivisme kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tak punya titik-temu dengan proses-proses intra-parlementer bakal menghasilkan kesibukan dan sport politik yang tak ada efeknya terhadap penguatan partisipasi politik.

Ketegangan-ketegangan itu di atas yang menjadikan konflik politik merupakan terjemahan dari tegangan antara mekanisme politik dan substansi politik. Menekankan pentingnya keadilan , pemerintahan yang higienis atau keamanan dan integrasi politik , tanpa mengindahkan mekanisme yang demokratis dalam mencapainya sanggup membawa kita ke perilaku otoriter. Sebaliknya , menekankan pentingnya mekanisme tanpa memperhatikan substansi bakal menghasilkan oportunisme politik yang selalu terjebak dalam capaian-capaian jangka pendek yang semata-mata pragmatis sifatnya. Risiko yang satu yakni tujuan menghalalkan trik , risiko yang lain yakni trik menghalalkan tujuan. Demokrasi memang sulit sebab tujuan yang benar harus dicapai dengan trik yang benar.

Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dimensi Konflik Politik"

Total Pageviews