Mochtar Pabottingi
DALAM sekitar dua ahad terakhir telah terjadi pembalikan radikal pada iklim dan dinamika politik di Tanah Air. Dari semula selama berbulan-bulan bersifat picik-kerdil , kembali mengarah pada semangat yang lapang dan bajik.
Dari semula menyungkupkan pesimisme awan hitam , kembali memancarkan optimisme hari-hari yang cerah. Pembalikan radikal itulah yang membuat seluruh bangsa kita bisa menyongsong peresmian pasangan presiden ketujuh bangsa kita , Joko Widodo dan Jusuf Kalla , dengan penuh kegairahan. Semacam adagium ex necessitate rei (menurut keniscayaan dialektikanya) telah berlaku.
Ada empat pelajaran politik yang bisa ditarik dalam pengalaman selama dua ahad terakhir. Pertama ialah bahwa tidak hanya kekuatan kubu atau koalisi berbanding lurus dengan keluhuran visinya , tetapi juga bahwa individu di dalam kubu/koalisi tidak mungkin direduksi sebagai semata-mata representasi robotik darinya.
Kedua ialah bahwa negara dalam demokrasi modern tak pernah hanya berarti negara per se , melainkan juga , bahkan terutama mengandaikan determinasi dan penjunjungan kepada bangsa.
Ketiga ialah bahwa kebesaran suatu negara-bangsa atau kekuatan prospeknya ke arah kebesaran itu tidak pernah ditentukan hanya oleh satu orang. Ia selalu berdiri dari hadirnya simultanitas , sinergi , dan keteguhan jiwa besar patriotisme vis-a-vis lintas kelompok politik dalam negara-bangsa , horizontal ataupun vertikal. Terakhir yakni kenyataan bahwa individu , partai , dan kubu/koalisi mana pun tak bakal mungkin berkiprah terhormat , apalagi menawarkan warisan buah karya positif kukuh setrik lintas generasi dengan paham-paham simplistik ihwal politik.
Laku kenegarawanan
Zulkifli Hasan tak bisa direduksi sebagai semata-mata figur PAN , apalagi melulu sebagai cetakan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kita tahu lebih merupakan ”a coalition by chance” atau ”a coalition by convenience”. Ketika dalam wawantriknya dengan Kompas sehari sehabis terpilih menjadi Ketua MPR lewat perubahan skenario mendadak dari KMP , Zulkifli Hasan benar-benar mengamalkan semboyan Manuel Quezon , dia seketika telah melambungkan diri dan reputasinya di ketinggian yang mengatasi kubu/koalisinya semula.
Tak hanya itu. Dengan kekuatan persuasinya untuk menggalang persatuan dan memandang ke depan , dia malah melangkah jauh di depan kedua kubu koalisi untuk mencapai keteladanan dalam kebersamaan keindonesiaan. Dia melaksanakan sesuatu yang semestinya sudah dilembagakan pada awal Reformasi.
Juga Jokowi tak bisa direduksi sebagai terpatok mewakili Koalisi Indonesia Hebat , apalagi PDI Perjuangan. Pada hari kedelapan forum hitung cepat kredibel menyatakan bahwa dirinya unggul dalam penghitungan bunyi pilpres , ia pribadi memperkenalkan ”salam tiga jari”—yang menekankan persatuan Indonesia. Dan , penentu terkuat dari nominasi ia sebagai calon presiden bukanlah Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI-P , melainkan tekad dan aktivasi seluruh rakyat pendukungnya.
Laku naif-konyol memainkan otot-otot kekuasaan pada lembaga-lembaga negara semata-mata atas dasar keangkuhan kekuasaan terang melanggar diktum ihwal kiat niscayanya mengindahkan kebajikan publik sebagai tiang pancang pelestari kekuasaan.
Itulah yang diteladankan oleh Tokugawa Ieyasu di Jepang pada pertengahan kurun ke-16 dan antara lain dari situ pulalah konseptualisasi atas laris demikian dicanangkan oleh Rousseau: ”Penguasa terkuat takkan pernah cukup berpengaruh mempertahankan kekuasaannya , kecuali bila dia mentransformasikan kekuasaan itu menjadi kebajikan dan kepatuhan menjadi kewajiban.”
Senapas dengan itu , semakin suatu kubu/koalisi/kongsi politik dibuat sonder ideologi atau prinsip-prinsip luhur , semakin ringkih pulalah ”triple k” itu dan semakin terbuka pulalah potensi misrepresentasi atau kesenjangan di antara individu politisi dengannya.
Diamalkannya laris kenegarawanan oleh Zulkifli Hasan selaku Ketua MPR menawarkan boost yang sungguh berarti bagi ofensif kenegarawanan seorang Jokowi. Itu membuat langkahnya terayun lebih ringan dan lebih tegap untuk menemui Prabowo Subianto yang kubunya memang berkali-kali terbukti hendak menjegal pemerintahan Jokowi-Kalla. Dalam skala lebih luas , frekuensi dan intensitas rangkaian laris kebajikan publik Jokowi dengan pengertian penuh seluruh anggota keluarganya dalam rentang waktu bertahun-tahun ini telah membangkitkan simpati fenomenal dari lebih banyak didominasi rakyat Indonesia kepadanya.
Sejauh isu tentangnya benar , keteladanan publik bahkan telah dilakukan semenjak dini sekali setrik murni—bukan demi pencitraan—oleh Gibran Rakabuming , putra sulung Jokowi. Anak muda referensi ini berpantang membangun bisnis mandirinya dengan proteksi sang ayah yang karier politiknya memang mencelat bagai meteor. Laku sang putra lagi-lagi membuktikan bahwa dalam keluarga Jokowi sekalipun sikap kekuasaan model Orde Baru atau model bablasan Orde Baru selama ini pun sudah tidak berlaku. Ini bukan gres kesepakatan menyerupai biasa diupacakan oleh presiden-presiden Reformasi sebelum Jokowi. Ini sudah fakta.
Sebagian besar substansi visi-misi Jokowi-JK yang cemerlang itu pasti bukanlah hasil kerja seorang Jokowi sendiri , melainkan hasil kerja suatu tim pemikir yang andal-koheren setrik konseptual dan paham realitas medan di Tanah Air serta realitas sejarah mutakhir bangsa kita.
Tanpa kombinasi syarat-syarat itu , kita takkan menjumpai pernyataan-pernyataan yang menekankan bahwa jalan perubahan yakni ”jalan ideologis” yang bertumpu pada Pancasila dan Trisakti atau ”kepribadian” yang bertolak dari ”realitas kebinekaan dan kemaritiman” atau ”semangat gotong royong” yang dilihat sebagai ”alat ideologi di dalam kolektivitas bangsa” sehingga di dalam kolektivitas ini roh (ideologi) memiliki raga (bangsa).
Degradasi huruf bangsa
Visi-misi itu setrik tajam menyatakan bahwa degradasi huruf bangsa bersumber dari dua faktor , yaitu pada ”kebudayaan pasar yang mengomoditaskan insan dan kebudayaan yang bertumpu pada identitas primordial”.
Dan ”Nawa Cita” yang dicanangkannya , yaitu menghadirkan kembali negara setrik positif di dalam kehidupan konkret kita berbangsa , membuat pemerintahan yang higienis dan tepercaya , membangun Indonesia dari pinggiran , dan menolak terjerumus ke dalam status negara lemah. Juga , meningkatkan kualitas hidup insan Indonesia , meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di mancanegara , mewujudkan kemandirian ekonomi , merevolusi huruf bangsa , dan memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi aneka pranata kemasyarakatan yang sehat dan berakar di seluruh Indonesia.
Dari Nawa Cita itu , yang paling orisinal dan paling mendesak mungkin yakni tekad untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Sudah merupakan diam-diam umum bahwa di banyak wilayah perbatasan negara kita dengan negara-negara lain , masyarakat bangsa kita masih hidup pada tingkat subsistensi. Kesenjangan tiga kali lipat antara Jawa dan luar Jawa , antara Indonesia timur dan Indonesia barat , serta antara perkotaan dan pedesaan. Semua kenyataan kelabu ini berkorelasi pribadi dengan kerentanan kedaulatan negara-bangsa kita.
Tentu itu semua barulah cita-cita. Tak terhitung penghambat ataupun perangkap yang bakal bekerja serempak untuk membatalkannya atau membuatnya tetap hanya sebagai impian tak berdaya. Akan tetapi , kemampuan para perumus visi-misi Jokowi-JK untuk menguraikan harapan pasangan kepresidenan ini dalam kerangka konseptual setrik berpengaruh , padu , dan koheren itu sendiri sudah merupakan suatu menunjukan kekuatan niat , tekad , dan bacaan problematik yang melandasinya.
Dibawakan kepada huruf pasangan Jokowi-JK sebagai dua putra bangsa yang sama-sama lebih bahagia menghasilkan (to deliver) daripada beretorika , bercitra-ria , atau ber-”parle-parle” tanpa moralitas dan otoritas , bangsa kita bisa berharap bahwa sepertiga atau separuh dari sasaran itu bisa tercapai. Jika lebih banyak didominasi komponen jiwa besar bangsa kita di dalam dan di luar pemerintahan bisa bersinergi bersama dalam semangat gotong royong sejati , dua pertiga dari sasaran raksasa Nawa Cita itu insya Allah bakal bisa tercapai dalam rentang waktu yang realistis.
Paradigma politik reformasi
Pada semua hal atau gagasan yang telah kita utarakan di atas , terutama pada visi-misi Jokowi-JK , ”revolusi mental” bantu-membantu sudah mulai bekerja.
Sebagai epilog , premis-premis atau praktik-praktik kerdil-konyol dalam politik hanya bakal menjadi bumerang bagi para pelakunya. Semua insan politik dan partai politik di Tanah Air haruslah tegas menolak premis-premis bahwa dunia politik itu selalu licik dan culas. Termasuk di situ paham sesat bahwa ”dalam politik tak ada mitra abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi”.
Premis atau gagasan berbau Schumpeterian ini terang bertentangan dengan pemikir-pemikir politik yang lebih berbobot , menyerupai John Rawls , Giovanni Sartori , dan John Stuart Mill (yang menekankan sentralitas the best minds of the nation). Prinsip-prinsip luhur dan/atau ideologi-ideologi besar yang bertumpu pada hitungan kemerdekaan/kebebasan , keadilan/kesetaraan , keniscayaan kemajemukan , serta kehormatan , harkat , dan hak-hak asasi insan mau tak mau harus diindahkan. Reputasi Nelson Mandela dan Hugo Chavez sama-sama meroket dalam cakrawala politik alasannya keduanya sama-sama berjuang sepenuhnya di atas landasan-landasan politik yang luhur.
Paradigma politik reformasi yang bantu-membantu hendak kembali kepada paradigma sejati demokrasi terang bertentangan dengan premis-premis dan gagasan-gagasan kerdil-konyol di atas. Jiwa-jiwa besar dalam kehidupan politik takkan pernah lahir darinya. Jiwa-jiwa besar senantiasa berhitung dalam kerangka ”manusia sebagai huruf utama”—manusia sebagai men of characters: Jiwa-jiwa besar dan/atau manusia-manusia terpuji. Indonesia hanya bisa berdiri dengan dan bersama manusia-manusia demikian , dari tingkat elite maupun dari tingkat akar rumput.
Dari fenomena Jokowi , Zulkifli Hasan , dan para relawan pilpres yang berdiri bergerak setrik lapang dada , total , dan konsisten , insya Allah bangsa kita terbukti cukup memiliki reservoir dari manusia-manusia demikian pada kedua tingkat eksistensi tadi. Dari situ sama sekali tidaklah salah membayangkan kebesaran bangsa kita pada masa depan yang dekat.
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Momentum Jiwa-Kerja Besar"