Trias Kuncahyono
Marilah—dengan jujur dan rendah hati—kita melihat sifat-sifat jelek manusia. Inilah sifat-sifat destruktif insan terhadap sesamanya: menghancurkan , merampas , menganiaya , menikam , aben , memecah belah , menyiksa , menistakan , mengolok-olok , melecehkan , membasmi , mencemarkan , merobek-robek , mencabik-cabik , memukuli , menggebuki , menusuk , menghujat , menghina , dan masih banyak lagi yang pada pada dasarnya bertujuan menghancurkan sesama.
Itulah sebabnya filsuf asal Inggris , Thomas Hobbes (1588-1679) , menyebut ”manusia serigala bagi sesamanya” , homo homini lupus est. Frasa terkenal tersebut mula pertama diungkapkan oleh Plautus Asinaria , seorang pelawak zaman Romawi. Setrik lengkap ia menyampaikan , lupus est homo homini , non homo , quom qualis sit non novit , yang kira-kira terjemahan bebasnya yaitu insan serigala bagi sesamanya; ia bukan insan apabila tidak paham hakikatnya.
Kita melihat , kini ini , serigala muncul di mana-mana; entah itu serigala berbulu serigala maupun serigala berbulu domba. Bahkan , berdasarkan istilah Daoed Joesoef , musang berbulu ayam. Padahal , masih jauh larut malam.
Kekerasan telah menjadi mantra utama. Kita menyaksikan , di mana-mana , di Palestina , Israel , Afganistan , Pakistan , Irak , Suriah , Mesir , Libya , Ukraina , dan aneka macam sudut dunia ini. Bahkan di Indonesia , kekerasan selalu mengiringi setiap insiden sosial ataupun politik. Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Tetapi , ada kecenderungan beberapa kelompok mengatasnamakan tatanan moral dengan menghalalkan kekerasan.
Menurut data yang dikeluarkan Institute for Economics and Peace (IEP) yang berpusat di New York , Amerika Serikat , hampir 18.000 orang tewas lantaran serangan teroris sepanjang tahun 2013. Itu berarti naik 61 persen dibandingkan dengan tahun 2012.
Lima negara—Irak , Afganistan , Pakistan , Nigeria , dan Suriah—menyumbang 80 persen jumlah korban. Di Irak saja , lebih dari 6.000 orang tewas tahun lalu. Negara lain yang menjadi penyumbang korban tewas lantaran agresi terorisme yaitu India , Somalia , Filipina , Thailand , dan Yaman. Masih berdasarkan IEP , 66 persen korban tewas lantaran agresi yang dilakukan oleh Al Qaeda , Taliban , Boko Haram , serta Negara Islam di Irak dan Suriah. Di Suriah dan Irak , begitu banyak korban NIIS , banyak di antara mereka dipenggal kepalanya.
Kekerasan fisik—termasuk juga intimidasi , bahaya , dan pengerahan massa menyerupai yang kerap kali terjadi di negeri kita—telah menjadi sarana untuk mencapai tujuan; apa pun tujuannya , termasuk tujuan politik. Hal itu selaras dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Niccolò di Bernardo dei Machiavelli , yang lebih dikenal dengan nama Niccolo Machiavelli (1469-1527) , dengan istilah ”menghalalkan segala trik”.
Kekerasan sudah menjadi biasa. Manusia sudah benar-benar menjadi homo homini lupus , padahal seharusnya homo homini socius , insan yaitu sobat bagi sesamanya. Kini , telah terjadi , berdasarkan istilah filsuf politik Hannah Arendt , banalisasi kejahatan. Padahal , sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan berarti sudah kehilangan keberadabannya.
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Serigala"