Ikrar Nusa Bhakti
HAMPIR sanggup dipastikan , pada Kongres Nasional IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada April 2015 , partai berlambang banteng gemuk itu bakal kembali menentukan Diah Permata Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Ini berarti , Megawati bakal memimpin PDI-P untuk lima tahun ke depan sesudah 21 tahun menakhodai partai nasionalis itu semenjak terpilih menjadi ketua umum pada Kongres Nasional Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada Desember 1993. Pada Kongres PDI itu , ia mengalahkan petahana , Ketua Umum PDI Soerjadi , yang semakin kritis terhadap pemerintah , dan Budi Hardjono , tokoh PDI yang dipandang sangat akrab dengan penguasa Orde Baru.
Upaya penguasa Orde Baru untuk mengudeta Megawati dan meletakkan kembali tokoh yang awalnya tidak disukai penguasa , Soerjadi , melalui Kongres Luar Biasa PDI di Medan pada 1996 , kandas. Dukungan abdnegara keamanan kepada Soerjadi untuk merebut kembali Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro , Jakarta—melalui insiden 27 Juli 1996—juga tidak membawa hasil. Karena ada dualisme kepemimpinan di PDI antara Soerjadi dan Megawati , faksi yang mendukung Megawati mengadakan Kongres Nasional pada Oktober 1998 dan mengganti nama PDI menjadi PDI-Perjuangan , menentukan Megawati sebagai ketua umum kembali dan menominasikannya sebagai calon presiden RI sesudah jatuhnya Soeharto.
Apabila kita jumlahkan seluruhnya , Megawati memiliki rekor terlama sebagai ketua umum partai di Indonesia , yakni 26 tahun 4 bulan ketika ia berhenti sebagai Ketua Umum PDI-P pada April 2020. Pada dikala itu , Megawati Soekarnoputri yang lahir pada 23 Januari 1947 juga bakal berusia 72 tahun 3 bulan , usia yang tidak muda lagi untuk memimpin partai di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin semarak dan rumit.
Karena itu , ialah suatu yang alamiah apabila PDI-P yang bakal berulang tahun ke-42 pada 10 Januari 2015 ini mulai memikirkan regenerasi kepemimpinan supaya PDI-P tetap berjaya dalam kompetisi dan kontestasi politik di Indonesia. Pertanyaannya , langkah politik dan organisatoris apa saja yang patut diambil oleh Megawati ke depan?
Asam garam politik
Megawati ialah tokoh politik yang sudah makan asam garam politik sangat lama. Tempaan politik yang ia alami selama lima tahun pertama kepemimpinannya di PDI , 1993-1998 , menyebabkan dirinya sangat matang dalam memimpin PDI-P di kemudian hari. Kegagalannya untuk terpilih menjadi presiden RI melalui pemilihan di MPR pasca Pemilu 1999 tidak menyebabkan dirinya patah arang. Ia tetap mendapatkan posisinya sebagai Wapres RI mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika Gus Dur dimakzulkan MPR pada Juli 2001 , Mega pun otomatis jadi presiden pada 23 Juli 2001-20 Oktober 2004.
Mega juga mencicipi rasa pahit ketika ia dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dua kali pemilihan presiden eksklusif , 2004 dan 2009. Rasa sakit juga ia alami ketika beberapa tokoh PDI-P yang amat dekat dengannya keluar dari PDI-P menjelang Pemilu 2004 dan mendirikan Partai Demokrasi Perjuangan (PDP) pada 2005. PDP tak bertahan usang alasannya pecah menjadi dua , PDP pimpinan Roy BB Janis dan PDP pimpinan Laksamana Sukardi.
Memimpin PDI-P yang berideologi Pancasila yang Soekarnois nasionalistik bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi partai ini awalnya ialah hasil penggabungan (fusi) paksa lima partai pada kala Orde Baru , yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) , Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) , Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) , Partai Kristen Indonesia (Parkindo) , dan Partai Katolik. Karena itu , tidaklah mengherankan kalau PDI-P sering dikonotasikan atau bahkan dipropagandakan setrik negatif oleh para pesaing politiknya sebagai partai nasionalis ortodoks , nasionalis kiri , dan nasionalis Kristen.
Apabila kita bandingkan perolehan bunyi semenjak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014 , tampak terperinci terjadi pasang surut perolehan bunyi partai nasionalis dan partai Kristiani yang mendukung PDI-P. Pada Pemilu 1955 , yang memperebutkan 260 bangku dewan perwakilan rakyat dan 520 bangku Konstituante (MPR sekarang) , PNI menerima 57 bangku dewan perwakilan rakyat dan 119 bangku Konstituante (22 ,32% suara) , Parkindo 8 bangku (2 ,66%) , Partai Kristen 6 bangku (2 ,04%) , IPKI 4 bangku , dan Murba 2 Kursi.
Kita tidak membandingkan bunyi dengan semua pemilu pada kala Orde Baru alasannya adanya dugaan bahwa pemilu Orde Baru hanya untuk mendapatkan legitimasi bagi Presiden Soeharto dan hasil pemilu-pemilunya sudah diperkirakan dan/atau ditentukan sebelum pemilu itu dilaksanakan. Deparpolisasi dan depolitisasi pada kala ini juga sangat masif.
Pada Pemilu 1999 , PDI-P jadi pemenang pertama dengan jumlah bunyi 33 ,74% (153 kursi) , sementara pada Pemilu 2004 turun menjadi 18 ,53% (109 kursi) , pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 14 ,03% (95 kursi) , dan meningkat cukup signifikan pada Pemilu 2014 menjadi 18 ,95% bunyi (109 kursi). Apabila kita merujuk hasil Pemilu 1955 , seharusnya angka persentase perolehan bunyi PDI-P pada setiap pemilu di kala reformasi ialah 27 persen , yaitu penjumlahan dari perolehan bunyi PNI , Parkindo , Partai Kristen , IPKI , dan Murba. Perolehan bunyi berkurang alasannya tumbuhnya partai-partai nasional dan partai-partai Islam baru. Ini berarti dinamika , kompetisi , dan kontestasi politik semakin tajam.
Selama 10 tahun (2004-2014) , PDI-P melaksanakan puasa politik dengan menjadi partai penyeimbang di luar kabinet. Hasilnya cukup signifikan , yaitu terpilihnya capres PDI-P , Joko Widodo (Jokowi) , sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014. Selain itu , paling tidak ada lima gubernur yang 100 persen dinominasi PDI-P , yaitu Kepulauan Riau , Jawa Tengah , Nusa Tenggara Timur , Kalimantan Barat , dan Kalimantan Tengah. Lima provinsi lainnya yang didukung PDI-P bersama partai lain ialah Bangka Belitung , DKI Jakarta , Banten , Nusa Tenggara Barat , dan Sulawesi Selatan , belum lagi ratusan bupati/wali kota yang didukung PDI-P.
Suksesi kepemimpinan
Apa yang dicapai PDI-P pada Pileg dan Pilpres 2014 serta pilkada gubernur , kabupaten , dan kota itu ialah hasil kerja keras para kader dan organisasi partai yang solid di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Namun , tantangan ke depan bakal jauh lebih berat. Karena itu , suksesi kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan.
Apabila penggantian Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P tak mungkin dilakukan pada Kongres IV PDI-P , April 2015 , mau tidak mau Megawati harus sudah menentukan siapa saja yang mungkin jadi penggantinya. Ia harus mengatakan diri sebagai pemimpin adil yang memberi kesempatan sama kepada semua kader untuk jadi penerusnya.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan ialah , pertama , PDI-P ialah partai milik para anggota dan pendukungnya , bukan perusahaan keluarga. Karena itu , kedaulatan harus berada di tangan anggota , bukan hanya pada segelintir elite yang bersifat oligarkis.
Kedua , nama besar Soekarno dan ajaran-ajarannya bakal tetap jadi bab tak terpisahkan dari PDI-P yang harus dipahami dan mendarah daging pada jiwa anggota partai. Namun , suksesi kepemimpinan harus dilaksanakan atas dasar perhitungan pengalaman dan kepiawaian seseorang dalam memimpin partai , bukan atas dasar keturunan biologis Soekarno , terlebih lagi keturunan Megawati Soekarnoputri.
Ketiga , mereka yang bakal memimpin PDI-P , baik pada tingkat sentra maupun kawasan , harus bersedia jadi pengurus partai sepenuh waktu dan tak boleh memiliki jabatan ganda , baik di legislatif maupun eksekutif.
Profesionalisme menjadi kata kunci dalam menentukan pemimpin. Apabila aneka macam syarat suksesi politik ini dilaksanakan , bukan tidak mungkin Megawati bakal tersenyum gembira dan menangis haru melihat partai yang pernah dipimpinannya semakin profesional , berjaya dalam kontestasi politik , dan benar-benar berjuang atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa , kemanusiaan yang adil dan beradab , persatuan bangsa , untuk demokrasi , kemakmuran bangsa , dan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Ikrar Nusa Bhakti; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tantangan Pdi-P Pasca Megawati"