Trias Kuncahyono
Empat belas tahun kemudian , dongeng ini bermula , ketika mengunjungi India atas seruan Kementerian Luar Negeri India. Kami mengunjungi Goa Gajah , yang dalam bahasa Hindi disebut Gharapuri , artinya lebih kurang benteng batu. Gharapuri yang merupakan salah satu tujuan wisata di Mumbai , India , ini terletak di pulau kecil—dihuni 1.000 orang yang tinggal di tiga desa—yang hanya sanggup didatangi dengan perahu. Pulau ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Mumbai.
Goa Gajah itu merupakan kuil pemujaan untuk Dewa Syiwa. Siapa pun yang masuk Goa Gajah segera diajak untuk merenungkan hidup dan kehidupan. Ada tiga tingkat pemahaman yang sanggup digunakan. Pertama , tingkat simbol-simbol yang terlihat setrik fisik. Kedua , tingkat simbol-simbol yang tidak sanggup dilihat setrik fisik. Ketiga yaitu tingkat lambang-lambang spiritual dan mitologi yang tak sanggup dilihat.
Simbol-simbol yang terlihat mata berwujud sejumlah relief (pahatan timbul) dan patung. Salah satu panel relief mengisahkan wacana Syiwa yang menginjak verbal Gunung Kailash (Kailasa) yang sudah ditutup dengan kerikil dan tanah. Mulut Gunung Kailash ditutup alasannya yaitu di dalam perut gunung itu ada Ravana atau Rahwana yang dieksekusi sesudah menculik Dewi Sinta di hutan Dandaka. Kisah Rahwana itu ada dalam epik Ramayana yang tidak abnormal bagi kita.
Rahwana , berdasarkan epik Ramayana , yaitu raja Alengkadiraja. Ia begitu digdaya (digambarkan memiliki 10 wajah , maka disebut Dasamuka). Kekuasaan dan kedigdayaannya dipakai untuk ambisi pribadinya; untuk memuaskan hawa nafsunya; nafsu kekuasaan , nafsu kenikmatan raganya.
Di tangan Rahwana , kedigdayaan dan kekuasaan menjadi sesuatu yang membahayakan pihak lain. Karena ia biasa menggunakan segala macam trik , dengan menggunakan kedigdayaannya—kalau perlu dengan senjata , intrik , dan teror—guna memenuhi ambisi kekuasaannya.
Pada ketika itulah nilai-nilai kemanusiaan dihilangkan , dianggap tidak ada; bela rasa , belas kasih , menghormati dan menghargai yang kecil , minoritas , tidak berdaya , semuanya tidak ada. Yang diutamakan yaitu ambisi eksklusif , kepentingan eksklusif , kepentingan kelompok , dan kepentingan golongannya.
Syahwat Dasamuka ini telah mengubah demokrasi , yang sebetulnya didasari pada penghargaan keunikan setiap orang dan komunitas , menjadi sekadar fungsi ratifikasi semangat menang sendiri dengan trik-trik tidak sehat. Naluri Machiavellian , yakni mengizinkan tujuan luhur dicapai lewat pembenaran trik-trik yang tidak etis , dihidup-hidupi.
Tentu , kita tidak perlu melihat atau bahkan mengartikan Gedung dewan perwakilan rakyat sebagai Gunung Kailasa , kawasan ”dasamuka-dasamuka” kecil berada. Meskipun kita semua menyaksikan gimana syahwat dasamuka menggelora di sana , yang mereka sebut sebagai ”dinamika politik”.
Di dalam gedung demokrasi itu , demokrasi hanya diartikan sebagai kebebasan berbitrik. Titik! Padahal , sesungguhnya demokrasi itu yaitu parlare con parresia e ascoltare con umilta—berbitrik dengan bebas dan mendengarkan dengan rendah hati (Paus Fransiskus).
Kegagalan meredam syahwat Rahwana (Dasamuka) , berdasarkan Abdul Munir Mulkhan dalam Sufi Pinggiran (2007) , yaitu penanda datangnya simpulan zaman kecil ketika kekuatan jahat berkuasa. Kalau itu terjadi , boleh jadi bangsa ini belum siap hidup sebagai bangsa dengan kesatuan kolektif.
Trias Kuncahyono; Penulis Kolom “Kredensial” di Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dongeng Indah"