Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Revolusi Kebudayaan

Yudhistira ANM Massardi

Mari kita renungkan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang belum selesai. Dari masa silam , kita selalu membanggakan Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di sekitar Palembang pada 600-1400. Kita juga membanggakan Majapahit di sekitar Surabaya pada kurun 1293-1519. Kita pun membanggakan kemegahan Borobudur dan Prambanan di sekitar Yogyakarta.

Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu , kita (ingin) menyatakan diri sebagai belahan darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun , pada ketika yang sama , kita juga menyadari bahwa itu yaitu hasil karya ”mereka” dan tak ada hubungannya dengan ”kita”. Lalu , muncullah pertanyaan eksistensial itu: ”Jadi , bergotong-royong , siapakah kita?”

”Simsalabim”

Dari sejarah Indonesia modern , kita berguru ihwal sekelompok priayi di ”Sekolah Dokter Jawa” (STOVIA) di Jakarta yang—pada 20 Mei 1908—mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Para perjaka itu tercerahkan dan menyadari bahwa mereka yaitu belahan dari sebuah nasion besar yang harus memerdekakan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Kesadaran itu kemudian berlanjut dengan berdirinya partai-partai politik yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.

Tonggak penting berikutnya yaitu ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah penegasan ihwal semangat persatuan dalam keindonesiaan: bertumpah darah , berbangsa , dan menjunjung bahasa satu: Indonesia.

Kita tahu bahwa Sumpah Pemuda itu tak disertai semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi pengejawantahannya. Alhasil , ikrar itu seperti menjadi sesuatu yang taken for granted , diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran faktual.

Sebuah problem eksistensial mahabesar dan mendasar , yang menjangkau sekitar 13.500 pulau , 700 bahasa , dan 300 kelompok etnis/suku bangsa dari Sabang hingga Merauke , dalam dua hari , bagaikan disulap dengan mantra simsalabim , dinyatakan sudah pribadi melebur menjadi satu: Indonesia! Padahal , kita tahu , itulah isu-isu yang jadi sumber pemicu konflik primordial-sektarian yang sangat sensitif hingga sekarang.

Memang tak terbayangkan , gimana mungkin ketiga warta besar yang diikrarkan Sumpah Pemuda itu sanggup menjadi , tanpa sebuah proses transformasi sosial-politik-budaya yang panjang dan sukar. Karena itu , menganggap problem besar itu selesai begitu saja pada 28 Oktober 1928 yaitu tindakan yang , selain abnormal , tidak bertanggung jawab. Ini harus segera disadari dan dijadikan sebagai jadwal Revolusi Kebudayaan yang belum usai.

Menjadi ”orang Indonesia” itu sungguh tidak mudah. Adalah tidak gampang menjawab pertanyaan orang asing: ”Bagaimana Anda mengidentifikasi diri sebagai seorang Indonesia?” Karena , di balik kata ”Indonesia” itu berderet sejumlah fakta yang harus  ditaruh sebagai catatan kaki , atau masing-masing memerlukan klarifikasi sebuah buku.

Bagi setrik umum dikuasai bangsa Indonesia , langkah pertama untuk menjadi orang Indonesia yaitu wajib mempelajari bahasa Indonesia sebagai ”bahasa asing pertama”. Langkah kedua , mengakibatkan diri sebagai ”orang asing pertama” di lingkungan budaya lokal. Langkah ketiga , membayangkan bersaudara dengan orang-orang yang hidup di kawasan yang jauh , yang bahasanya sukar dipahami dan masakannya rasanya ”aneh”. Langkah keempat , harus mendapatkan dan menghormati agama , norma , aturan , dan adat-istiadat yang beraneka rupa banyaknya sebagai belahan dari identitas diri , dan seterusnya.

Selain Sumpah Pemuda , ideologi negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu kesepakatan-kesepakatan abnormal yang harus dikonkretkan melalui kerja besar seluruh bangsa di dalam isyarat pemerintahan yang sadar , paham , penuh kesungguhan , dan konsisten sepanjang hayat menjadi Indonesia.

Republik hidroponik

Namun , sekali lagi , ”menjadi Indonesia” itu bukan masalah mudah. Para bapak pendiri bangsa pun tak selesai merumuskannya.

Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) , 29 Mei 1954 , dengan jadwal Dasar Negara Indonesia , Mohamad Yamin menegaskan: ”Negara gres yang bakal kita bentuk yaitu suatu Negara Kebangsaan Indonesia… yang berketuhanan.” Itu bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Syailendra-Sriwijaya ataupun Kerajaan Majapahit. Karena , tradisi kenegaraan kedua kerajaan itu , ”dengan Negara Indonesia Merdeka tidak tersambung , melainkan sudah putus ,” katanya. Itu alasannya , ”aspirasi kita kini jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan , dunia pikiran sudah berbeda , dan susunan dunia sudah berubah.”

Tak terang berapa berpengaruh pemikiran Yamin itu memengaruhi 65 anggota penerima sidang BPUPKI. Satu hal yang niscaya , hingga disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi , tak ada lagi diskusi yang merujuk Sriwijaya dan Majapahit sebagai pola negara yang berjaya berkat keunggulan armada lautnya. Dengan kata lain , semenjak awal berdirinya , Republik Indonesia tak memberi tempat lagi pada semangat laut dan kemaritiman. Melupakan ”nenek moyang”-nya yang ”orang pelaut”. Seperti dikatakan Yamin , hubungannya ”sudah putus”! Artinya , kita pun menjadi warga negara ”republik hidroponik” yang akarnya tidak membumi.

Setelah runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit , sesungguhnya semangat kemaritiman masih berpengaruh dikibarkan oleh Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan besar pun masih berperan penting bagi kekerabatan perdagangan domestik dan internasional , menyerupai Cirebon , Sunda Kelapa , dan terutama Banten. Namun , sesudah Demak runtuh dan dilanjutkan Kerajaan Pajang pada 1549 , dan Kesultanan Banten runtuh pada 1813 , boleh dikatakan berakhirlah semangat laut di Nusantara.

Pusat Kerajaan Pajang tak lagi di pesisir , tetapi di pedalaman Jawa Tengah. Sultan Ageng Tirtayasa pun menarik diri dari pantai dan masuk ke Serang , membuka sawah gres setrik spektakuler. Menghentikan penanaman lada , komoditas yang jadi rebutan bangsa Eropa yang tiba dengan kapal-kapal dagang dan kapal perang dari Portugis , Spanyol , Inggris , dan Belanda , yang merangsang ketamakan. Sejak itu , kita tidak lagi berorientasi ke laut yang terbuka , tetapi mengolah tanah yang terbatas di pedalaman!

Revolusi belum selesai

Ketika Bung Karno berkali-kali menyatakan bahwa ”revolusi belum selesai” , seharusnya itu dalam konteks transformasi segenap nilai yang hendak diraih oleh ikrar Sumpah Pemuda dan pengamalan filosofi Pancasila. ”Revolusi belum selesai” yang dimaksudkannya seharusnya yaitu Revolusi Kebudayaan! Yakni , gerakan perubahan mendasar yang cepat untuk mengubah paradigma primordial-sektarian ke lingkup nasional dan mondial. Mengubah paradigma maritim ke paradigma agraris. Dengan begitu , bangsa Indonesia yang gres dilahirkan memperoleh cukup waktu dan ilmu untuk menjadi warga dunia yang maju dan bermartabat.

Pemutusan kekerabatan dengan masa silam yang berbasis kemaritiman (Sriwijaya dan Majapahit) menyerupai yang dianjurkan Yamin pun tak diikuti langkah-langkah mendasar yang bertanggung jawab: apakah kita bakal melaksanakan Revolusi Agraria atau Revolusi Industri. Akibatnya , kita melewati jembatan emas kemerdekaan dengan kebingungan , dan risikonya baku-bunuh sendiri di depan pintu gerbang dunia baru: hingga sekarang!

Bahkan , kita kini berada di ambang jurang negara gagal. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang menawarkan impian baru. Dengan konsep hendak mengakibatkan Indonesia sebagai ”poros maritim dunia ,” Joko Widodo dibutuhkan sanggup melaksanakan bukan hanya Revolusi Mental , melainkan sekaligus juga Revolusi Bahari! Dan itu yaitu Revolusi Kebudayaan! Perubahan paradigma: dari kekacauan paradigma agraris-industri yang inkonsisten ke paradigma semesta kemaritiman yang terpadu. Menjadi ”poros maritim” bukan hanya dalam pengertian bisnis-perdagangan , melainkan juga geopolitik dan budaya.

Nyi Loro Kidul

Kegagalan Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong di Tiongkok yaitu alasannya ia kaku , bengis , dan berdarah. Revolusi Kebudayaan Jokowi hanya bakal berhasil kalau digerakkan dengan pembaruan sistem pendidikan , dan dimulai semenjak pendidikan anak usia dini. Dimulai dengan pelajaran berenang , makan ikan , dan tamasya yang menyenangkan ke tepi laut. Bersamaan dengan itu , industri pembuatan kapal digalakkan , menyerupai yang dilakukan Sriwijaya dan Majapahit , menyerupai yang dilakukan Kekaisaran Ottoman semenjak 1518 untuk menguasai Eropa , dan dilakukan Jepang di awal Reformasi Meiji pada 1868.

Tentu , tidak menyerupai negara-negara penakluk itu , armada laut yang harus kita berdiri yaitu lebih untuk memaknai substansi Sumpah Pemuda dan Pancasila: persatuan , keadilan , dan kemakmuran bagi semua anak bangsa dari Sabang hingga Merauke. Sementara , setrik mental , itu untuk menepis legenda Nyi Loro Kidul yang membuat belum dewasa kita takut ke laut. Juga untuk menepis legenda Malin Kundang yang memberi pola negatif bahwa anak yang merantau melalui laut bakal durhaka kepada ibunya.

Itu artinya , pemerintah harus menggerakkan rakyat Indonesia untuk membangun dan menggali kembali semua potensi yang diwariskan para nenek-moyangnya. Sebab , Jalesveva Jayamahe artinya yaitu ’justru di laut kita jaya’. Bukan di sawah atau di kebun yang membuat kita jadi petani yang harus bersusah payah mencangkul , menanam , dan memanen hasilnya dalam waktu berbulan-bulan , dan kemudian lahannya kian menyempit alasannya diwariskan kepada anak-cucu-cicit , dan risikonya dijual , disulap jadi ojek sepeda motor! Dan kini sawahnya pun bermetamorfosis mal!

Yudhistira ANM Massardi; Sastrawan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Revolusi Kebudayaan"

Total Pageviews