Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Penunggang Demokrasi

M Subhan SD

PENDAMBA demokrasi percaya popularitas dan figur bakal linier dengan elektabilitas. Maka , politisi menyerupai Nurul Arifin (Partai Golkar) atau Eva Kusuma Sundari (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bakal tak sulit mempertahankan kursinya di DPR. Nurul yaitu mantan aktris top , penggagas kaum wanita , dan punya rekam jejak cukup cantik selama berkiprah di dewan perwakilan rakyat 2009-2014. Eva juga dikenal piawai berpolitik. Namun , argumen rasional itu tiba-tiba irasional. Keduanya sepertinya terpental dari Senayan. Sebaliknya banyak orang yang bermasalah yang terpilih.

Kekalahan Nurul , menyerupai diakuinya sendiri , alasannya yaitu persaingan tidak sehat. Meminjam Thomas Hobbes (1588-1679) , para politikus menjadi serigala yang memakan temannya sendiri (homo homini lupus) , bahkan di internal partai. ”Tidak ada etikanya lagi , saling makan ,” kata Nurul. Popularitas dan figur rupanya tak cukup. Politik uang (money politics) menunggu momen penting untuk menyalip di tikungan terakhir. Uang tetap berkuasa dan menjadi segala-galanya.

Seorang calon anggota legislatif (caleg) berkisah walaupun bunyi yang diraihnya terbilang banyak , ia tak berdaya melawan politik uang ketika koleganya sesama satu partai ngebom pada detik-detik akhir. Dengan 200.000 amplop dan setiap amplop berisi Rp 30.000 , jumlahnya sungguh fantastis. Pantas saja Pemilu 2014 ini , menyerupai diakui para politikus juga , merupakan pemilu paling ngeri dan brutal , dalam praktik politik uangnya. Rupanya banyak politisi tidak percaya pada demokrasi yang mulia. Mereka lebih percaya uang.

Demokrasi sangat rentan dan gampang ditelikung. Pemilu dan uang , menyerupai dua sisi mata uang. Selalu berlawanan , tetapi selalu bersama-sama. Bahkan di negara demokrasi Amerika Serikat , politik uang tak dapat diredam. Tahun 2012 , Pemilu di AS benar-benar banjir uang. Jurnalis John Nichols dan profesor komunikasi Robert W McChesney mengkritik keras bahwa demokrasi bermetamorfosis dollarocracy. Dalam bukunya Dollarocracy: How the Money and Media Election Complex is Destroying America (2013) , Nichols dan McChesney menguliti pemilu di AS itu. Belanja kampanye dan iklan politik meningkat tajam dan uang-uang itu sebagian besar berasal dari para konglomerat dan masuk ke kantong-kantong perusahaan media. Pesta demokrasi yang menyedihkan.

Pemilu 2012 yaitu pesta demokrasi paling mahal dalam sejarah AS , menghabiskan dana sekitar 10 miliar dollar AS (saat ini setara dengan Rp 115 triliun) , melonjak jauh dari laporan resmi 6 miliar dollar AS (kira-kira Rp 69 triliun). Padahal , itu belum memperhitungkan suntikan dana-dana besar yang berseliweran selama kampanye. Barack Obama dan pendukungnya menghabiskan biaya sekitar 1 ,1 miliar dollar AS (sekitar Rp 12 ,6 triliun) , sedangkan Mitt Romney dan pendukungnya menghabiskan biaya 1 ,2 miliar dollar AS (setara Rp 13 ,8 triliun). Untungnya , gerakan akar rumput Obama dapat menumbangkan kekuasaan uang besar.

Seperti di AS , banjir uang di Indonesia pada Pemilu 2014 juga tak gampang dilacak. Anggaran penyelenggaraan pemilu sekitar Rp 24 triliun. Namun , dana partai politik niscaya lebih besar , dan tentu sulit ditelusuri. Laporan awal resmi belanja pemilu 12 parpol sekitar Rp 1 ,93 triliun. Belum lagi biaya yang dikeluarkan caleg. Pada pemilu kemudian , ada 20.257 caleg (tingkat kabupaten , provinsi , hingga nasional). Asumsikan saja anggaran per caleg Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar , total dana caleg Rp 10 ,1 triliun-Rp 20 ,2 triliun. Namun , itu asumsi minimal yang tampak di permukaan.

Banjir uang terus mencederai demokrasi. Indonesia selalu terbuai dengan kebanggaan internasional. Kalau ukuran penyelenggaraan pemilu atau kebebasan beropini , tentu demokrasi kita dapat dibanggakan. Namun , berdasarkan Global Democracy Ranking 2013 , kualitas demokrasi kita juga tidak berada di peringkat terbaik. Peringkat Indonesia masuk kategori sedang , di peringkat ke-66 , di bawah Thailand (65) dan di atas India (67). Best democracy yaitu Norwegia , Swedia , Finlandia , Swiss , Denmark , Belanda , Jerman , Selandia Baru , Austria , dan Belgia. Di negeri kita , politik uang melukai kebebasan dan partisipasi yang dibangun semenjak reformasi , yang membuat demokrasi kita pun cacat (flawed democracy).

Koalisi parpol menghadapi pemilu presiden 9 Juli mendatang , yang pekan-pekan belakangan ini terus berisik , juga tidak mungkin tanpa ”mahar uang”. Selain bagi-bagi kuasa , kemungkinan besar bakal ada bagi-bagi uang. Itu pernah terlintas ketika ribut-ribut di PPP beberapa waktu lalu. Wakil Ketua Umum PPP Ahmad Dimyati Natakusumah menuding sejumlah pihak yang ingin menggulingkan Suryadharma Ali alasannya yaitu berambisi menjadi menteri. ”Ini aroma fulus , ingin menjadi menteri ,” kata Dimyati kala itu.

Di warung kopi , memang kerap terdengar ”di politik tak ada makan siang gratis”. Meminjam istilah Nichols dan McChesney , demokrasi di negeri ini mungkin juga telah bermetamorfosis ”rupiahkrasi”. Ketika demokrasi tidak tumbuh efektif , korupsi bakal subur. Padahal , menyerupai kata senator Robert LaFollette (1855-1925) dari Wisconsin , demokrasi yaitu sebuah kehidupan , yang menuntut usaha terus-menerus tanpa lelah. Demokrasi harus dirawat dan dijaga.

Ketika para politisi lebih menentukan menggunakan uang semoga dapat meraih bunyi atau jabatan , gotong royong ia tidak percaya kepada demokrasi yang mengajarkan trik-trik yang lebih mulia. Mereka yang tidak memperjuangkan demokrasi dengan trik-trik mulia itu , menyerupai para politisi kita , gotong royong yaitu penunggang-penunggang demokrasi , yang lebih banyak memikirkan diri sendiri. Merekalah perusak demokrasi.

M Subhan SD , Wartawan Senior Kompas

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Penunggang Demokrasi"

Total Pageviews