Trias Kuncahyono
Daniel Tudor , seorang koresponden untuk majalah The Economist , di Korea Selatan , menulis buku menarik perihal Korea Selatan berjudul Korea , The Impossible Country (2012). Buku ini bercerita perihal kisah Korsel dari negeri yang dibelit kemiskinan dan di bawah kekuasaan tangan diktator berkembang menjadi menjadi negeri modern , demokratis , dan makmur; negeri yang penuh semangat.
Korsel , berdasarkan Daniel Tudor , memiliki dua mukjizat yang telah mengakibatkan ”Negeri Ginseng” itu ibarat kini ini. Pertama , ”Mukjizat Sungai Han”. Han ialah sungai besar di Semenanjung Korea dan merupakan sungai terpanjang keempat (494 kilometer) sehabis Sungai Amnok , Duman , dan Nakdong. Empat provinsi—tiga di Korsel , yakni Gangwon , Gyeonggi , dan Seoul; serta satu di Korea Utara (Korut) , yakni North Hwanghae—dilewati Sungai Han.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” dipakai untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi Korsel sehabis Perang Korea 1953 yang demikian cepat: dari sebuah negara yang terpuruk alasannya perang , ndeso setrik ekonomi dan fisik , pengangguran menumpuk , serta infrastruktur hancur menjadi negara modern dan makmur.
Kini , perekonomian Korsel didominasi para chaebol , konglomerat keluarga. Di antaranya ialah Hyundai , Daewoo , Samsung , LG , Hanjin , SK Industrie , dan Kumho-Asiana. Produknya sanggup dengan gampang kita temui di Indonesia.
Setrik lebih khusus , istilah ”Mukjizat Sungai Han” menunjuk pada pertumbuhan perekonomian Seoul , ibu kota negara yang dilalui Sungai Han. Perekonomian Korsel tumbuh cepat semenjak 1960-an dan pertumbuhannya sanggup dikatakan stabil , 8 persen , hingga 1980-an.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” berasal dari istilah di Jerman sehabis final PD II , yakni ”Mukjizat Sungai Rhein”. Kedua negara , Jerman dan Korsel , muncul dari reruntuhan perang menjadi negara maju.
Mukjizat kedua ialah transformasi politik dari negara diktator militer menjadi negara demokratis. Negeri ini menjunjung tinggi nilai-nilai rule of law , pemerintahan berdasarkan aturan dan hak-hak warga negaranya. Yang terbukti bersalah , melanggar aturan , ibarat korupsi , dieksekusi berat , siapa pun mereka , termasuk dua presiden: Chun Doo-hwan (1980-1988) dan Roh Tae-woo (1988-1993).
Di tempat Asia , ada negara-negara lain yang sukses setrik ekonomi , tetapi tidak setrik politik ibarat Korsel. Misalnya , Singapura dan Tiongkok. Kedua negara itu maju setrik ekonomi , tetapi setrik politik , berdasarkan istilah Tudor , masih di bawah sistem politik otoritarian. Jepang menawarkan sosok yang lain. Di ”Negeri Sakura” itu ada pemilu yang bebas dan fair , tetapi sistemnya masih terlalu birokratis dan kaku sehingga sulit untuk sanggup tercipta sistem pemilu demokratis yang sebenar-benarnya.
Korsel kini sudah maju , modern , dan demokratis. Namun , apa sudah sesuai dengan harapan para bapak bangsanya? Salah seorang pejuang kemerdekaan Korsel , Kim Gu (1876-1949) , pernah menyampaikan , ”Saya tidak menginginkan bangsa saya menjadi bangsa yang paling besar lengan berkuasa dan kaya di dunia... sudah cukuplah kesejahteraan saya kini ini yang membuat hidup saya berkelimpahan. Yang saya inginkan ialah menjadi ’bangsa terindah di dunia’ yang menawarkan kebahagiaan bagi bangsa kita sendiri dan bangsa-bangsa lain.”
Cita-cita Kim Gu itu juga harapan para bapak bangsa Indonesia yang hingga kini belum sepenuhnya terwujud. Sebab , negeri ini direcoki mereka yang hanya memburu kekuasaan dengan segala trik dan kebahagiaan mereka sendiri.
Trias Kuncahyono; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Negeri Mustahil"