Ivan Hadar
DALAM Living Planet Report 2006 , organisasi konservasi global World Wild Fund for Nature menyebutkan bahwa ekosistem alam Planet Bumi sedang mengalami degradasi sampai pada kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah insan , sedang mendekati tipping point sebagai point of no return (Schellenhuber , 2006).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (2014) mengingatkan bahwa apa yang dilakukan ketika ini terkait perubahan iklim bakal berkonsekuensi meninggalkan bekas sepanjang kurun ini atau bahkan lebih jauh lagi. Tanpa solidaritas kemanusiaan , keselamatan Bumi sebagai ”kapal bersama umat manusia” bakal tenggelam.
Setidaknya , terdapat lima ”key transmission mechanisms” yang dipengaruhi oleh perubahan iklim dan besar lengan berkuasa jelek pada pembangunan manusia.
Pertama , produksi pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim memengaruhi curah hujan , suhu udara , dan ketersediaan air bagi pertanian di daerah yang rentan. Setrik global , jumlah mereka yang kekurangan gizi mencapai 600 juta jiwa pada 2080.
Kedua , kebanjiran dan kekurangan air. Pada 2080 , sekitar 1 ,8 miliar penduduk di negara-negara Asia Tengah , Tiongkok Utara , serta sebagian Asia Tengara dan Asia Selatan bakal ”kebanjiran” akhir mencairnya es Himalaya.
Sistem irigasi bakal amburadul alasannya yaitu sungai-sungai meluap. Pada ketika sama , beberapa daerah , menyerupai Timur Tengah , mengalami kelangkaan air yang parah.
Kenaikan muka laut
Ketiga , meningkatnya permukaan bahari sebagai penyebab banyak sekali peristiwa iklim. Mencairnya permukaan es di daerah Kutub yaitu penyebabnya. Peningkatan suhu udara sebesar 3-4 derajat celsius sanggup mengakibatkan banjir dan rob sehingga 330 juta penduduk dunia menjadi pengungsi sementara atau permanen , masing-masing lebih dari 70 juta di Banglades , 6 juta di dataran rendah Mesir , 22 juta di Vietnam , dan ratusan ribu atau lebih di Pantura Jawa. Pulau-pulau kecil di daerah Pasifik dan Karibik , termasuk di Indonesia , bakal mengalami ”catastrophic damage”.
Keempat , gonjang-ganjing sistem ekologi dan punahnya keragaman hayati. Perubahan iklim telah mengubah sistem ekologi. Separuh sistem terumbu karang dunia dengan Indonesia sebagai pemilik terbesar rusak (bleaching) akhir pemanasan laut.
Begitu pula kerusakan di banyak sekali ekosistem , menyerupai ekologi berbasis es di daerah Kutub dan ekosistem kelautan. Bagi kebanyakan hewan , perubahan iklim ini terlalu pesat. Dengan kenaikan suhu sebesar 3 derajat celsius , 20-30 persen spesies daratan sanggup punah.
Kelima , bahaya bagi kesehatan manusia. Negara-negara kaya telah usang bersiap dengan sistem kesehatan publik terkait ”climate shocks” ke depan , menyerupai ketika menghadapi gelombang panas yang ”menyerang” Eropa pada 2003.
Tidak demikian dengan negara-negara miskin. Sebanyak 220-400 juta jiwa diperkirakan bakal tertular malaria , yang ketika ini saja telah mencapai 1 juta orang per tahun. Begitu pula dengan demam berdarah yang diperkirakan bakal semakin memburuk akhir perubahan iklim , khususnya di Amerika Selatan dan sebagian Asia Tenggara.
Untuk menghindari banyak sekali dampak tersebut , diharapkan upaya bersama setrik internasional. Negosiasi terkait pembatasan emisi karbon pasca akad Kyoto Protokol 2012 perlu dan harus menjadi kerangka ”global carbon budget”. Hanya saja , hal tersebut bakal efektif apabila diterjemahkan dalam kerangka seni administrasi nasional.
Perubahan iklim menempatkan kemanusiaan pada pilihan prioritas yang harus diputuskan secepatnya. Namun , pemerintahan kelihatannya belum tahu gimana membangun ekonomi tanpa gas , minyak bumi , dan batubara , apalagi ditambah lobi perusahaan besar yang mendominasi sumber energi fosil ini.
Peran Indonesia
Sebagai negara kepulauan dengan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir , pemanasan global yang berdampak pada naiknya permukaan bahari harus dilihat sebagai bahaya serius bagi Indonesia. Sementara itu , sebagai negara agraris , produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan dampak perubahan iklim.
Untuk periode 2000-2005 , Indonesia dinobatkan sebagai juara dunia perusak hutan alasannya yaitu dalam kurun tersebut hutan kita yang rusak mencapai angka 2 persen atau sekitar 1 ,87 juta hektar per tahun. Angka tersebut , sama dengan 51 kilometer per hari atau 300 lapangan bola setiap jam. Akibatnya , peristiwa lingkungan merebak di mana-mana. Banjir bandang dan longsor , contohnya , banyak menelan korban. Begitu pula kerugian akhir rusaknya lingkungan dan pancaroba cuaca.
Perusakan hutan di negara-negara berkembang , termasuk di Indonesia , tak jarang masih dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi pertumbuhan industri. Kini , sesudah hutan hujan tropis Kalimantan rusak berat , perusakan hutan berpindah ke Papua dan daerah lain.
Terdapat 50 perusahaan yang setrik kolektif menguasai 11 ,8 juta hektar hutan Papua. Apabila tidak ada perubahan kebijakan setrik drastis , apa yang terjadi di Kalimantan dipastikan bakal terulang di Papua dan daerah lainnya.
Yang seharusnya dilakukan Indonesia sebagai penghasil karbondioksida terbesar ketiga dunia serta pemilik hutan besar yaitu mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan prosedur pembangunan higienis serta membuatkan isu-isu prioritas untuk bernegosiasi dengan negara lain. Harus dihindari bahwa dana santunan , khususnya dalam prosedur perdagangan karbon , dihentikan menjadi justifikasi negara maju untuk terus menghasilkan emisi gas rumah beling yang merusak atmosfer.
Ivan Hadar; Koordinator Nasional Target MDGs , 2007-2010
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Melawan Perubahan Iklim"