Mochtar Pabottingi
Peta politik di tiap negara senantiasa berubah. Ernest Renan menulis , ”A nation’s existence is a daily plebiscite”—kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari.
Namun , yang kita ulas di sini bukanlah truisma menyerupai itu , bukan sekadar rangkaian perubahan yang pasti terjadi pada tiap negara-bangsa kapan pun , melainkan sejauh mana rangkaian perubahan mengarah pada regresi atau pada progresi politik—pada kemunduran atau pada kemajuan politik. Lebih penting , gimana ekuasi atau asimetri di antara keduanya. Nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh ekuasi atau asimetri demikian.
Kemunduran demokrasi
Pada ”tahun politik” ini , bangsa kita dilanda sekaligus oleh tiga regresi politik yang berkumulasi besar dan berkelindan bersahabat satu sama lain. Pertama , merajalelanya kampanye bermuatan fitnah atas dasar sentimen primordial mentah yang sulit dipertanggungjawabkan sepanjang bulan-bulan menjelang Pemilu Presiden 2014.
Kedua , menguatnya oportunisme politik , termasuk pada partai-partai Islam. Di sini oportunisme juga terasa sebagai pengkhianatan , yaitu kala dua-tiga partai pengusung awal reformasi bergabung ke kubu pimpinan tokoh yang tampak masih berorientasi pada Orde Baru dengan rekam jejak yang sangat kontrkelewat / oversial.
Ketiga yakni terjadi apa yang sulit untuk tidak disebut ”laku begal” demi kepentingan politik picik dalam praktik legislasi menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 perihal Majelis Permusyawaratan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dan pada hari-hari ini , kita menyaksikan kecenderungan ke arah ”laku jegal” yang dilancarkan juga di dewan perwakilan rakyat menyangkut RUU Pilkada. Pada kedua laris ini aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan kembali merebak. Dalam kaitan ini , kita perlu menambahkan bahwa laris penolakan berlebihan dari kubu Prabowo-Hatta untuk mendapatkan kekalahan pada pilpres kemudian juga termasuk preseden buruk. Itu belum pernah terjadi , baik masa demokrasi parlementer maupun sepanjang kala reformasi.
Gabungan ketiga regresi ini merupakan kemunduran politik besar lantaran yang sekaligus dilanggar atau dikhianati yakni ideal-ideal sah dari kehidupan kita bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain. Pelanggaran serempak terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa , keyakinan , dan rasionalitas demokrasi itu sanggup berkomplikasi jelek ke masa depan. Di atas semuanya , itu sanggup membuat bangsa kita keluar dari rel-rel yang sudah disepakati semenjak masa kebangkitan nasional , revolusi kemerdekaan , dan pembentukan republik kita. Itu juga merupakan kemunduran (setback) serius dari agenda konsolidasi demokrasi di kala reformasi.
Di ranah negara-bangsa , ketiga regresi itu sama sekali tak mengindahkan ideal-ideal Sumpah Pemuda , Pancasila , dan/atau ideal-ideal reformasi itu sendiri. Ketiganya juga tidak mengindahkan simbiosis faktual dan historis yang saling memperkuat antara nasion dan demokrasi. Simbiosis itu berlaku dalam semacam aturan baku politik bahwa manakala demokrasi dijalankan segimana semestinya , ia bakal memperkuat serat-serat nasion; dan manakala nasion dijunjung segimana mestinya , ia bakal memudahkan tumbuhnya demokrasi setrik sehat dan subur.
Di ranah keyakinan , tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang melupakan tuntutan agama mereka untuk tidak hanya menghindari , tetapi juga meniadakan laris dan iklim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli untuk ”menegakkan mizan” dan/atau ”bersaksi setrik adil dan benar” serta menegakkan amar ma’ruf , nahi mungkar. Sudah seyogianya kalau tuntutan adat politik berlaku jauh lebih berpengaruh pada partai-partai agama dibandingkan dengan partai nonagama.
Rasionalitas demokrasi dilanggar kalau prinsip ”keabsahan prosedural” dan ”keabsahan substansial” pada mekanisme pemerintahan dinafikan , termasuk pada penyusunan dan legalisasi UU. Kita ketahui , legalisasi revisi UU MD3 digenjot paksa di tengah kresendo politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan sempurna sehari sebelum hari pemungutan bunyi Pilpres 2014 itu! Maka , sulit bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan ”laku begal”.
Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa UU dihentikan disusun , apalagi disahkan , setrik stealthy—setrik mencuri—ketika energi dan perhatian lebih banyak didominasi warga negara dan terutama lebih banyak didominasi pelaksana pemerintahan sepenuhnya tersedot pada puncak agenda politik nasional lima tahunan yang ultrapenting. Pada laris demikian , juga dilanggar prinsip kesetaraan tanding (level playing field) dan/atau niscayanya kecukupan musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) dalam setiap proses legislasi.
Sama halnya , tidaklah mengherankan kalau lebih banyak didominasi masyarakat melihat ofensif untuk mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya merampas kembali kedaulatan rakyat dan mempersulit peran pemerintahan baru. Yang dijunjung dan diusung oleh ofensif ini hanyalah kepentingan elitis-sektarian , serta laris gontok-gontokan—sama sekali bukan kepentingan nasional. Yang dilakukan yakni mencampakkan tuntutan bakal terselenggaranya prinsip ”pergiliran pemerintahan” setrik tertib , tujuan utama pemilu—bagian mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal menyerupai ini sanggup berujung pada konsekuensi celaka , yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan alasannya yakni niat utamanya tidak untuk membuat kemaslahatan bersama (public good) , tetapi merisikokan suatu kondisi tak menentu di ranah publik (a state of public uncertainty).
Mengingkari prinsip negara hukum
Baik laris begal legislasi maupun laris jegal pemerintahan di dewan perwakilan rakyat mau tak mau bakal membawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral yang berkaitan menyangkut setiap pejabat publik dalam demokrasi. Pertama , apa yang terjadi dengan kedua kriteria utama , yaitu integritas dan kompetensi—atau moralitas dan otoritas—yang mereka harus penuhi kapan pun? Kedua , ini juga pribadi membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giovanni Sartori , yaitu apakah kita melakukan demokrasi sebagai ”preskripsi” (sebagai ihwal bertujuan luhur) ataukah semata-mata sebagai ”deskripsi” (sebagai ihwal tanpa tujuan luhur)? Dalam bahasa Sartori: ”Demokrasilah satu-satunya sistem pemerintahan yang adanya ditentukan oleh ideal-idealnya.”
Kita sanggup menyimpulkan bahwa kedua laris jelek di atas pada hakikatnya sama-sama mengingkari prinsip negara hukum—prinsip Rechtsstaat. Itu lantaran negara aturan sejati hanya sanggup ditegakkan dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di atas: keabsahan prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi , kian tinggi penghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu , kian kokoh pulalah bangunan negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta , kian mengecil pulalah frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain , makin tinggi frekuensi kasus yang harus ditangani oleh MK , makin lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat.
Penjumudan politik in toto demikian di dua ranah sentral ataupun dalam rasionalitas demokrasi tak pernah dialami oleh bangsa kita , di masa demokrasi parlementer sekalipun. Sejak kemerdekaan tak terlacak instance atau pola momentum lain di mana ketiga regresi politik di atas berlaku sekaligus. Kita sungguh patut bersyukur bahwa terlepas dari gencarnya laris fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres 2014 , yang tampil sebagai pemenang tetap kubu yang sampai dikala ini tetap menjunjung kriteria integritas—kompetensi atau moralitas-otoritas—kubu yang sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ideal demokrasi. Kemenangan itu terang mengatakan bahwa lebih banyak didominasi rakyat menolak laris fitnah dan laris khianat dalam bernegara-bangsa.
Joko Widodo mungkin satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak menghendaki para relawan pendukungnya selama pilpres bubar sesudah beliau terpilih. Itu berarti bahwa mengatasi semua presiden yang terpilih lewat pilpres , ia mengatakan tekad terbuka untuk terus tegak pada ideal-ideal kampanyenya. Hanya kepemimpinan politik yang sanggup setrik nrimo menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya yang bakal sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik: suatu negara-bangsa yang integer vitae , scelerisque purus , yang ”makmur terpuji di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih”
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Regresi Politik 2014"