Ikrar Nusa Bhakti
Pada kala Demokrasi Parlementer pun , mirip yang diungkapkan Taufik Ismail dalam salah satu puisinya , ada dua anggota DPR dari dua partai dengan ideologi yang berseberangan. Keduanya mengaum dan seakan ingin menerkam serta mencabik-cabik lawan ketika DPR bersidang. Namun , begitu keluar sidang , mereka sanggup makan sama-sama dan mengobrol menyerupai sahabat yang amat kental.
Politik jadi tontonan yang menghibur apabila kita melihat gimana para wakil rakyat di DPR beraksi di DPR dengan tingkah dan gaya bitrik yang tidak kalah lucunya dibandingkan dengan pelawak. Namun , politik juga memuakkan apabila sidang DPR tidak ditujukan untuk mencari solusi terbaik bagi bangsa dan negara , melainkan langgar berpengaruh politik tanpa memikirkan asas kebersamaan dan kekeluargaan yang termaktub dalam nilai-nilai Pancasila kita. Anggota DPD asal Aceh , Ghazali Abbas , menggambarkan politik di DPR sebagai ”monopolistik dan hegemonistik”. Ini mengingatkan kita pada salah satu slogan yang muncul pada kala Orde Baru mengenai ancaman ”Diktator Mayoritas dan Tirani Minoritas”.
Politik yang memuakkan itu sanggup kita lihat ketika DPR membahas RUU MPR , DPR , DPD , dan DPRD (MD3) , serta Tatib DPR yang disahkan pada 16 September 2014. Juga pembahasan RUU Pilkada hingga keluarnya Perppu Pilkada Langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono , pemilihan pimpinan DPR , penentuan sempalan Fraksi PPP yang mengajukan nama-nama calon pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan , hingga ke rapat-rapat penentuan pimpinan alat kelengkapan dewan , yang bukan saja sapu higienis pimpinan 11 komisi oleh koalisi pendukung Prabowo , juga hanya menyisakan satu bangku untuk wanita , yaitu posisi Titi Soeharto sebagai Wakil Ketua Komisi IV.
Seorang anggota DPR dari Partai Amanat Nasional , Viva Yoga Mauladi , menolak tuduhan terjadi diktator lebih banyak didominasi di DPR lantaran tak bertentangan dengan konstitusi , UU MD3 , dan Peraturan Tata Tertib DPR terbaru. Sebaliknya , Hendrawan Supratikno , anggota DPR dari PDI Perjuangan , menuduh anggota DPR dari koalisi pendukung Prabowo-Hatta telah melanggar sumpah/janji jabatan yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara serta mengesampingkan kepentingan individu , kelompok , atau golongannya , dan juga melanggar beberapa pasal di dalam Tatib DPR , khususnya terkait hukum pemilihan para pimpinan alat kelengkapan Dewan.
Becermin pada Demokrasi Liberal
Herbert Feith dalam buku klasik yang wajib dibaca para ilmuwan dan praktisi politik Indonesia , The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia , menggambarkan mengapa demokrasi konstitusional atau Demokrasi Liberal gagal pada 1957 , hanya dua tahun sesudah Pemilu 1955 yang amat demokratis itu.
Dari pandangan kaum realis , yang menitik beratkan power atau kekuatan politik , Demokrasi Liberal tidak gagal , tetapi digagalkan atau dimatikan oleh dua kekuatan besar , yaitu Presiden Soekarno yang berkoalisi dengan Tentara Nasional Indonesia AD , yang berujung dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante. Lalu , disusul pembubaran DPR berganti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Bagi kalangan idealis , Demokrasi iberal memang gagal lantaran , meskipun semua pelaku politik taat pada konstitusi negara (UUDS 1950) , ada tiga kondisi yang menyebabkan demokrasi gagal , yaitu kurangnya budaya demokrasi kalangan elite politik , kurangnya pendidikan elite dan rakyat , serta kurangnya basis ekonomi bagi demokrasi.
Jika kita kaji lebih lanjut , bergantinya sistem demokrasi di Indonesia dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin , Demokrasi Pancasila , dan terakhir demokrasi tanpa komplemen semenjak 21 Maret 1998 , kita melihat bahwa kalangan elite politik Indonesia tidak memiliki kesabaran politik atau ketahanan politik untuk menerapkan satu sistem demokrasi. Kita sanggup memaklumi diterapkannya Demokrasi Parlementer ketika Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta mengangkat Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri (PM) lantaran itu yakni untuk mencegah pemerintahan Indonesia yakni boneka Jepang. Sjahrir yakni tokoh non-kooperatif terhadap Jepang.
Ditunjuknya Natsir sebagai PM oleh Bung Karno pada 6 September 1950 dan berakhir 21 Maret 1951 , sesudah mosi tidak percaya di DPR , memperlihatkan kegagalan awal demokrasi liberal. Ada beberapa penyebab jatuhnya Natsir. Namun , satu hal yang aktual bahwa Natsir sebagai tokoh Partai Masyumi yang berbasis Islam modernis di perkotaan tidak memasukkan PNI dalam kabinetnya. Kabinet Sukiman yang juga dari Masyumi , tetapi berkultur Jawa , memahami betapa pentingnya memasukkan PNI ke dalam kabinet. Kabinet ini jatuh lantaran politik luar negeri RI di bawah Menlu Ahmad Soebardjo dianggap melenceng dari garis politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dan dipandang ingin membangun aliansi politik dengan AS. Era Demokrasi Liberal memperlihatkan , seorang menteri atau perdana menteri sanggup dijatuhkan melalui mosi tidak percaya.
Pergantian pemerintahan di Indonesia hingga 1998 memperlihatkan betapa politik , pertarungan ideologi , pertarungan kekuasaan , serta tidak sabarnya para elite politik untuk menerapkan satu sistem setrik usang hingga benar-benar ajeg menjadi penyebab bergantinya rezim.
Politik di DPR ketika ini
Jika kita melihat apa yang terjadi di DPR ketika ini , memperlihatkan betapa warisan politik kala Demokrasi Parlementer masih begitu berpengaruh walau kita menganut sistem presidensial. Elite politik di DPR bahagia sekali mengubah UU politik ataupun Tata Tertib Dewan , bergantung pada kepentingan jangka pendek lebih banyak didominasi koalisi di DPR dan bukan kepentingan jangka panjang menata politik Indonesia ke depan ke arah yang lebih terkonsolidasi dan menuju ke kedewasaan politik.
UU Parpol atau UU Pemilu dibentuk atau diamendemen tiap lima tahun hanya untuk menemukan kompromi politik antara partai besar dan kecil. UU Pilkada (2014) yang dianulir oleh perppu disebabkan kepentingan sempit lebih banyak didominasi partai koalisi pendukung Prabowo ketimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan pemerintahan daerah. Keluarnya perppu sebagai pengganti UU Pilkada tak eksklusif juga lebih diawali oleh kekuatan Partai Demokrat dan unjuk kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono vis-À-vis PDI-P dan Megawati Soekarnoputri walau memang memiliki kegunaan untuk menyelamatkan demokrasi di tingkat daerah.
Pembuatan Tata Tertib Dewan , khususnya terkait tata trik penentuan pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapan Dewan , juga lebih didasari kekuatan politik ketimbang asas kekeluargaan , kebersamaan , dan keadilan di parlemen. Ketika PDI-P jadi pemenang pemilu yang tidak hingga mencapai bunyi lebih banyak didominasi di DPR , pemilihan ketua Dewan melalui voting. Saat Partai Demokrat menguasai DPR hasil Pemilu 2009 , penentuan ketua DPR atas dasar bunyi terbanyak. Baru pada 2014 ini , UU MD3 dan Tatib DPR benar-benar dibentuk oleh koalisi lebih banyak didominasi di DPR 2009-2014 dan 2014-2019 yang meluluhlantakkan asas kebersamaan , kekeluargaan , dan keadilan itu.
Berlakunya ”Diktator Mayoritas” di DPR inilah yang menyebabkan kegaduhan demi kegaduhan politik terjadi di parlemen. Koalisi Indonesia Hebat merasa tidak diberi kesempatan ”naik ke ring tinju” untuk berebut pimpinan Dewan lantaran dikunci oleh hukum sistem paket yang didukung enam fraksi berbeda (saat PPP) masih bergabung ke Koalisi Merah Putih.
Lebih lanjut , ketika penentuan pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan (komisi dan badan-badan) , kisruh internal di PPP juga dijadikan permainan politik. Dengan dalih PPP Suryadharma Ali masih sah dan sudah mengajukan daftar nama calon pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan , pimpinan sidang pun mengetuk palunya. Tidak mengherankan jikalau kubu PPP versi Muktamar Surabaya mengamuk jago walau tindakan itu memang tidak patut dilakukan di parlemen. Tidak mengherankan pula jikalau Koalisi Indonesia Hebat juga membuat pimpinan DPR tandingan , sesuatu yang ditabukan dalam model DPR dengan sistem presidensial.
Kompromi atau macet
Ketika kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mulai bekerja , DPR masih diselimuti kebuntuan politik. Dalam politik bekerjsama tidak ada kemacetan politik yang tidak ada jalan keluar. Dari sisi politik , DPR ketika ini mengalami kondisi stalemate , yaitu tiadanya jalan keluar lantaran semua diblok , atau sudah hingga pada taraf deadlock.
Kondisi ini sanggup diubah apabila para elite atau pimpinan partai yang bertarung duduk bersama mencari jalan keluar terbaik , mirip kocok ulang pimpinan-pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan. Itu tidak cukup dengan janji-janji politik dari pimpinan parpol dan pimpinan DPR dari kubu Koalisi Merah Putih , tetapi diimplementasikan dalam kebijakan yang nyata. Kaukus wanita di dalam dan di luar DPR juga sanggup melaksanakan tekanan-tekanan politik supaya perwakilan wanita di jajaran pimpinan dan alat-alat kelengkapan Dewan benar-benar memperlihatkan kesempatan bagi kaum wanita untuk menjadi pemimpin.
Bila gagasan ini tetap ditolak , tak ada trik lain bagi Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat argumentasi penopang direktur kala banyak sekali kebijakan pemerintah diajukan kepada parlemen. Kalangan pers dan masyarakat juga sanggup menjadi kekuatan penopang demokrasi yang lebih substansial. Pembentukan pimpinan DPR tandingan ataupun pembuatan perppu bukan jalan keluar yang baik lantaran hanya bakal menambah deadlock di DPR dan tidak mandirinya DPR.
Entah kapan politik di Indonesia benar-benar dalam rangka bernegara dan berkonstitusi untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Ikrar Nusa Bhakti; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dpr Yang Terbelah"