MUSIM semi tiba , rerumputan pun tumbuh sendiri; kedatangan pemimpin alamiah sejati menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak”. Demikianlah Lao Tzu memberi iktibar.
Setelah sekian usang jagat politik Indonesia mengalami lesu darah , kemunculan pemimpin (relatif) otentik dalam pemilihan presiden kali ini mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh badan kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan , yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan kesepakatan imbalan , simpul-simpul relawan ini bergerak-serempak , mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja , Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif , energetik , dan kreatif.
Betapapun kontestasi kepresidenan berlangsung sengit , kekuatan kesukarelaan dan kreativitas ini ternyata memiliki daya kendali tersendiri untuk tidak memasuki medan pertarungan yang sanggup menghancurkan nilai-nilai kesukarelaan dan kreativitas itu sendiri. Maka , dengan segala ketegangannya , pilpres kali ini pun berlangsung relatif kondusif dan damai.
Sungguh disesalkan , kemunculan pemimpin impian dan ekspresi dominan semi kesukarelaan ini diboncengi oleh penumpang gelap kepentingan elitis yang mengobarkan politik kecemasan. Kedua pasangan dipersonifikasikan sebagai representasi dari dua kecemasan akbar. Yang satu ialah kecemasan bakal bangkitnya kekuatan yang sanggup melemahkan aspirasi kebebasan sipil dan pluralisme kewargaan. Yang lain kecemasan bakal hegemoni minoritas-pemodal yang sanggup mengarah pada pelebaran kesenjangan sosial dan marjinalisasi mayoritas.
Celakanya , kedua kecemasan ini nyaris menjadi nubuat yang memenuhi kenyataan (self-fulfilling prophecy). Kecemasan yang pertama dipenuhi oleh trik kampanye pesaingnya yang memobilisasi sentimen ”perseteruan” atas dasar agama dan oleh kalangan pendukungnya sendiri yang memobilisasi sentimen ”minoritas”. Kecemasan kedua dipenuhi oleh kecenderungan pemberian minoritas-pemodal pada pesaingnya dan oleh kekhawatiran partai-partai Islam pendukungnya yang rata-rata miskin logistik kalau hingga mereka tidak punya susukan ke sumber daya eksekutif.
Masih beruntung , kedua kecemasan ini bisa dinetralisasi oleh pengelompokan setrik adonan (mixed type). Pada setiap kubu ada representasi aliran ”kebangsaan” dan ”keislaman”; kaum modernis dan tradisionalis; Muslim dan non-Muslim. Maka , setiap percobaan untuk melaksanakan stigmatisasi terhadap lawannya dengan menempelkan kategori-kategori politik usang selalu bisa dimentahkan. Adanya persilangan identitas (cross-cutting identities) ini pula yang membuat konflik bisa dilunakkan , tidak hingga mengarah pada perang sipil.
Dengan fenomena menyerupai itu , akar rumput tidak bakal gampang dibakar. Potensi kekerasan masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar” kekerasan sebagai soldier of fortune. Jika itu yang menjadi pilihan , aparatur keamanan negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada titik ini , ujian sejarah sedang dihadapi oleh Presiden beserta jajaran Tentara Nasional Indonesia dan polisi , apakah mereka bakal lulus sebagai pendekar pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsanya.
Bagaimanapun , siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wakil presiden nanti , yang dipertaruhkan bukanlah gengsi personal Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa , melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu , kedua pasangan harus bersifat kesatria; yang menang tidak mentang-mentang , yang kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya kemenangan seluruh rakyat , yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih sanggup mengubah politik kecemasan menjadi politik impian bagi seluruh rakyat.
Untuk mengubah kecemasan menjadi impian , pemimpin terpilih harus sungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan pluralisme dengan merealisasikan negara kekeluargaan yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha menciutkan kesenjangan sosial dan menyebarkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.
Dalam mengarungi jalan terjal politik impian itu , perilaku optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi , tetapi mesti bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan impian , pemerintahan demokratis gres sering dihadapkan dengan aneka problem dan kekecewaan. Karena itu , betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis , yang lebih memilih bukanlah kesanggupan mereka dalam merampungkan masalah-masalah itu , melainkan trik pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya.
Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan bila bisa menggalang kolaborasi lintas batas , bukan menyulut pertikaian , sambil mengupayakan setrik bersama trik mengatasi permasalahan setrik institusional. Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat impian dan optimisme dengan trik memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan dipakai untuk memotivasi dan memberi ide yang sanggup mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama. Dalam menguatkan bahu-membahu ini , pluralisme harus dikembangkan setrik jujur , tidak dipolitisasi sebagai siasat demi menguntungkan golongan sendiri.
Setelah sekian usang jagat politik Indonesia mengalami lesu darah , kemunculan pemimpin (relatif) otentik dalam pemilihan presiden kali ini mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh badan kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan , yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan kesepakatan imbalan , simpul-simpul relawan ini bergerak-serempak , mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja , Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif , energetik , dan kreatif.
Betapapun kontestasi kepresidenan berlangsung sengit , kekuatan kesukarelaan dan kreativitas ini ternyata memiliki daya kendali tersendiri untuk tidak memasuki medan pertarungan yang sanggup menghancurkan nilai-nilai kesukarelaan dan kreativitas itu sendiri. Maka , dengan segala ketegangannya , pilpres kali ini pun berlangsung relatif kondusif dan damai.
Sungguh disesalkan , kemunculan pemimpin impian dan ekspresi dominan semi kesukarelaan ini diboncengi oleh penumpang gelap kepentingan elitis yang mengobarkan politik kecemasan. Kedua pasangan dipersonifikasikan sebagai representasi dari dua kecemasan akbar. Yang satu ialah kecemasan bakal bangkitnya kekuatan yang sanggup melemahkan aspirasi kebebasan sipil dan pluralisme kewargaan. Yang lain kecemasan bakal hegemoni minoritas-pemodal yang sanggup mengarah pada pelebaran kesenjangan sosial dan marjinalisasi mayoritas.
Celakanya , kedua kecemasan ini nyaris menjadi nubuat yang memenuhi kenyataan (self-fulfilling prophecy). Kecemasan yang pertama dipenuhi oleh trik kampanye pesaingnya yang memobilisasi sentimen ”perseteruan” atas dasar agama dan oleh kalangan pendukungnya sendiri yang memobilisasi sentimen ”minoritas”. Kecemasan kedua dipenuhi oleh kecenderungan pemberian minoritas-pemodal pada pesaingnya dan oleh kekhawatiran partai-partai Islam pendukungnya yang rata-rata miskin logistik kalau hingga mereka tidak punya susukan ke sumber daya eksekutif.
Masih beruntung , kedua kecemasan ini bisa dinetralisasi oleh pengelompokan setrik adonan (mixed type). Pada setiap kubu ada representasi aliran ”kebangsaan” dan ”keislaman”; kaum modernis dan tradisionalis; Muslim dan non-Muslim. Maka , setiap percobaan untuk melaksanakan stigmatisasi terhadap lawannya dengan menempelkan kategori-kategori politik usang selalu bisa dimentahkan. Adanya persilangan identitas (cross-cutting identities) ini pula yang membuat konflik bisa dilunakkan , tidak hingga mengarah pada perang sipil.
Dengan fenomena menyerupai itu , akar rumput tidak bakal gampang dibakar. Potensi kekerasan masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar” kekerasan sebagai soldier of fortune. Jika itu yang menjadi pilihan , aparatur keamanan negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada titik ini , ujian sejarah sedang dihadapi oleh Presiden beserta jajaran Tentara Nasional Indonesia dan polisi , apakah mereka bakal lulus sebagai pendekar pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsanya.
Bagaimanapun , siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wakil presiden nanti , yang dipertaruhkan bukanlah gengsi personal Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa , melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu , kedua pasangan harus bersifat kesatria; yang menang tidak mentang-mentang , yang kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya kemenangan seluruh rakyat , yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih sanggup mengubah politik kecemasan menjadi politik impian bagi seluruh rakyat.
Untuk mengubah kecemasan menjadi impian , pemimpin terpilih harus sungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan pluralisme dengan merealisasikan negara kekeluargaan yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha menciutkan kesenjangan sosial dan menyebarkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.
Dalam mengarungi jalan terjal politik impian itu , perilaku optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi , tetapi mesti bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan impian , pemerintahan demokratis gres sering dihadapkan dengan aneka problem dan kekecewaan. Karena itu , betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis , yang lebih memilih bukanlah kesanggupan mereka dalam merampungkan masalah-masalah itu , melainkan trik pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya.
Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan bila bisa menggalang kolaborasi lintas batas , bukan menyulut pertikaian , sambil mengupayakan setrik bersama trik mengatasi permasalahan setrik institusional. Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat impian dan optimisme dengan trik memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan dipakai untuk memotivasi dan memberi ide yang sanggup mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama. Dalam menguatkan bahu-membahu ini , pluralisme harus dikembangkan setrik jujur , tidak dipolitisasi sebagai siasat demi menguntungkan golongan sendiri.
Yudi Latif; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Presiden Isu Terkini Semi Kesukarelaan"