Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Kiblat Aturan Kita

Mochtar Pabottingi

Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan aturan berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan dialektika politik juga pada tingkat idealnya.

Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari aturan pada politik , terutama pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber , tujuan , kegunaan , dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa ialah politik pada esensi dan jabaran jadwal makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian itulah , ia dijadikan induk hukum.

Politik berada pada tingkat ideal manakala ia menggalang kehidupan bersama untuk mencapai kemajuan bersama dalam hal kesejahteraan , harkat , dan keadilan di dalam kolektivitas politik. Dengan ideal dan dalam napas ini pulalah aturan mesti ditempatkan. Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas aturan ideal tercapai dalam simbiosis bangsa (nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi dapat dirumuskan sebagai kolektivitas dan sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.

Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegara-bangsa yang non-diskriminatif. Kata ”otosentris” (autocentric) di sini berarti pemihakan dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa , yang sampai sekarang masih ditandai oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.

Konstitusi , jadwal makropolitik

Sejak Ethica Nicomachea , Magna Carta , sampai Declaration of Independence—dan bagi kita semenjak Pancasila dan/atau Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah dapat dan memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai semata seperangkat ideal muluk , melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi politik yang jujur nrimo dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad usaha protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah Air.) Konstitusi ibarat dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan ketakterpisahan antara aturan dan politik itu. Begitulah maka ia menyimpulkan dalam Ethica Nicomachea bahwa ”hukum ialah ’hasil kerja’ politik”.

Bukti bahwa konstitusi ialah suatu jadwal makropolitik terbaca terperinci contohnya dari kalimat pembuka Konstitusi Amerika: ”Kami rakyat Negara-Negara Serikat , demi membangun suatu kesatuan yang lebih tepat (a more perfect Union)… dengan ini memaklumkan dan tetapkan Konstitusi Amerika Serikat”. Ini juga tampak terperinci dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan ”yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… , memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut melaksanakan ketertiban dunia … dan keadilan sosial”.

Pada tahun 2002 , dikala amandemen konstitusi masih berlangsung riuh , saya menekankan niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi , aturan merupakan bab inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi , bukan sebaliknya. Rasionalitas politik itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan lalu Mahkamah Konstitusi. Hukum tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas politik demokrasi.

Bisa dikatakan bahwa konstitusi ialah momen ketika rasionalitas politik dijadikan aturan tertinggi. Ia dijadikan aturan tertinggi bukan demi aturan per se , melainkan demi dan dalam rangka rasionalitas politik dengan jadwal makropolitik itu. Inilah yang dimaksud oleh Giovanni Sartori ketika menulis bahwa ”the formal definition of law presupposes the constitutional state” (Pabottingi , ”Memburuknya Krisis Konstitusi Kita” , 2002). Dalam istilah ”negara hukum” , kata ”hukum” ialah penyifat dari kata ”negara” , bukan sebaliknya. Di mana pun dan kapan pun , tiap negara-bangsa haruslah dibaca dan ditempatkan dari waktu ke waktu berdasarkan evolusi , dialektika , dan ideal-ideal sejarahnya masing-masing.

Singkatnya , negara aturan kita bakal menjadi gulung tikar atau mengerdil jikalau ia tidak dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan berdasarkan persenyawaannya dengan ideal-ideal Pancasila.

Dalam kerangka pemahaman inilah , kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul sekitar sebulan terakhir menyangkut kontrkelewat / oversi masalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polisi Republik Indonesia bersama Plt Sekjen PDI-P (selanjutnya disebut Polisi Republik Indonesia Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontrkelewat / oversi aturan yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama alasannya ialah posisi-posisi aturan yang di dalamnya bertentangan setrik diametral , melainkan alasannya ialah lenyapnya kesadaran mengenai keniscayaan perindukan aturan pada politik (baca: konstitusi) atau pada arah , evolusi , dan dialektika politik kita.

Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan , tetapi itu banyak dilakukan setrik kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya , bukan pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).

Untuk menyikapi kontrkelewat / oversi KPK dan Polisi Republik Indonesia Plus setrik pandai dan adil , kita pertama sekali harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa kita , khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang kian usang kian parah dan yang setrik pribadi kian mengancam sendi-sendi kenegaraan dan pemerintahan kita.

Kemelut politik ini tak dapat direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak konstitusional individu. Dari rezim ke rezim , terutama di bawah Orde Baru dan pada tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan politiknya untuk memberantas KKN) , negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah korupsi itu yang kian usang kian menjadi monster.

Setiap warga negara kita yang pandai dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun kita berada dalam ”kondisi darurat korupsi”. Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa kita , tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.

Baru sedari 2002 , dengan dibuat dan diundangkannya KPK , kita memperoleh momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu. Dengan tepat laris korupsi telah dicanangkan sebagai ”kejahatan luar biasa” (an extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya , KPK semenjak berdirinya telah menunjukan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu , pinjaman masyarakat bangsa bagi KPK juga makin usang makin kuat.

Namun , aturan Archimedes tak hanya berlaku di ranah sains , tetapi juga di ranah politik , yaitu dalam pergulatan antara kebaikan dan keburukan di dalam negara-bangsa dan/atau pemerintahan. Semakin berpengaruh kehendak dan tenaga untuk menegakkan pemerintahan adil higienis , semakin berpengaruh pula kehendak dan tenaga untuk meneruskan pemerintahan culas kotor. Begitulah , maka gelombang demi gelombang kriminalisasi terhadap KPK terus berlangsung. Hanya orang pandir yang tak dapat melihat bahwa di balik rangkaian gelombang kriminalisasi itu ialah betapa besar dan tak habis-habisnya impian kekuatan-kekuatan keburukan di negeri kita untuk membubarkan KPK.

Pengeruhan hukum

Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangan-kekurangan (baik yang kasatmata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK , usaha untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya dapat memilih maju-mundurnya negara-bangsa kita , tetapi juga sehat-sakit , hidup-mati , dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: ”Kehinaan bekerja lebih cepat daripada kematian”. Ya , alasannya ialah bagi setiap insan atau bangsa terhormat , kehinaan memang jauh lebih jelek daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup , tetapi kehinaan terekam infinit sebagai jejak hidup—bau busuk yang bakal terus berkisar ke mana-mana sepanjang masa.

Dalam kemelut KPK-Polri Plus , pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua pihak melaksanakan atau dapat dituduh melaksanakan kesalahan. Memang tak ada insan dewa. Justru karna ketiadaannya itulah , kita harus dapat memilah-milah aneka jenis dan gradasi rangkaian kesalahan , rangkaian motif , penghalalan trik , dan kriminalisasi yang terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam masalah ini ada kesalahan prosedural dan kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.

Di tengah kompleksitas kemelut problem , keadilan terpuji hanya dapat ditegakkan dengan menyimak setrik teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Misalnya , satu pertanyaan dapat diangkat , satu saja: apakah motif ”balas dendam” Abraham Samad , jikalau betul ada , dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu , juga jikalau betul ada , alasannya ialah terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laris korupsi destruktif dalam badan lembaga-lembaga penegakan aturan selama belasan tahun terakhir?

Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah aturan selama sebulan terakhir , kita sama sekali tak boleh melepaskan dari spotlight jadwal utama bangsa kita untuk menegakkan pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan republik kita dari kanker KKN—dari kondisi ”darurat korupsi”— yang disebarkan begitu dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi , kerancuan , dan keserakahan.

Kenyataan ”darurat korupsi” atau ”kejahatan luar biasa” ini masih berlaku dengan daya destruktif yang sungguh masih penuh. ”Kriminalisasi” total dan diktatorial terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka aturan Archimedes di ranah politik tadi: makin berpengaruh tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laris dan kehidupan bernegara , makin berpengaruh pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang menghendaki supaya rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.

Kondisi darurat korupsi ini melanda pemerintah dan masyarakat luas , termasuk lembaga-lembaga resmi penegak aturan itu sendiri. Tugas untuk mengatasi kondisi ”darurat korupsi” ialah kiprah eksistensial mahautama pada titik dialektika kontemporer dari negara-bangsa kita. Kita dapat menyebutnya politik dalam contoh tertinggi (politics in the highest order) dan dari status itu juga menjadi aturan dalam contoh tertinggi (law in the highest order). Ke situlah aturan kita mesti berkiblat.

Selama kondisi ”darurat korupsi” masih berlaku , selama itu pula KPK mengemban aturan dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah , maka seluruh penyelenggara negara yang bajik , terutama di dalam lembaga-lembaga penegak aturan , mestilah memlingkarkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi memastikan bahwa politik dan aturan dalam contoh tertinggi itulah yang berlaku.


Insya Allah , energi dan nalar budi bangsa kita tak bakal pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa setrik indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita dapat menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan ”tri-amanah” kita: Amanah Tanah Air , Amanah Kemerdekaan , dan Amanah Republik.

Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kiblat Aturan Kita"

Total Pageviews