Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Demokrasi Di Ujung Tanduk

Ikrar Nusa Bhakti

REFORMASI yang bergulir semenjak 21 Mei 1998 gres berusia 16 tahun 4 bulan. Pada usia itu , ada peningkatan budaya politik rakyat di dalam menentukan wakil rakyat melalui pemilu legislatif dan menentukan presiden-wakil presiden setrik eksklusif pada 2014.

Melihat partisipasi rakyat dalam Pemilu Presiden dan Wapres 2014—baik sebagai pemilih , relawan , maupun kaum netizen (masyarakat pengguna internet) pengawal penghitungan bunyi pemilu—kita semua optimistis bahwa masa depan demokrasi di Indonesia bakal sangat baik.

Namun , sebaliknya , budaya politik sebagian elite politik—termasuk , tetapi tidak terbatas pada mereka yang duduk di DPR—justru memperlihatkan kemunduran. Sebagian elite politik ternyata belum sanggup mendapatkan kekalahan dalam pemilu presiden eksklusif , berarti juga tidak sanggup mendapatkan Democratic Bargaining yang ditentukan oleh bunyi rakyat. John Stuart Mill , salah seorang penggerak demokrasi , semenjak awal sudah menyatakan bahwa sistem politik demokrasi yaitu suatu sistem yang gampang retak (fragile).

Cermin ketak-legawa-an

Seorang pemimpin pemerintahan yang terpilih setrik demokratis melalui pemilu sanggup ditumbangkan  jika ada kekuatan senjata , bergabung dengan kekuatan mahasiswa , pemilik modal , dan buruh yang mengatasnamakan people power , mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Ini terjadi di Thailand ketika Perdana Menteri Yingluck Shinawatra—dan sebelumnya kakaknya , PM Thaksin Shinawatra—dipaksa mundur dari jabatannya jawaban adanya demonstrasi yang didukung militer. Juga terjadi di Mesir ketika presiden terpilih Mohammad Mursi Isa El-Ayyat digulingkan oleh militer pada 5 Juli 2013 , yang didahului oleh demonstrasi besar-besaran di Kairo.

Dalam perkara Indonesia , kita memang belum pernah mengalami perebutan kekuasaan pasca pemilu presiden pada kurun reformasi ini , walaupun kita juga pernah mengalami di mana seorang presiden yang dipilih oleh MPR pasca Pemilu 1999 , KH Abdurrahman Wahid , kemudian dimakzulkan oleh MPR , 1 ,5 tahun kemudian.

Namun , gejala bahwa kita sanggup menuju pada lingkar setan yang gres dari demokrasi menuju sistem adikara sudah mulai tampak. Contoh dari perubahan ini yaitu tidak legawanya pemimpin dan para pengikutnya yang kalah dalam pemilu presiden eksklusif 2014. Dengan banyak sekali trik , mereka berupaya membatalkan kemenangan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Untungnya , gerakan mereka masih sebatas yang diperbolehkan oleh konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Lebih jelek lagi , kekuatan yang kalah ini berupaya menguasai semua posisi strategis di DPR melalui revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dikenal juga sebagai UU MD3. Revisi UU MD3 ini menjadikan somasi ke Mahkamah Konstitusi dari banyak sekali pihak alasannya , antara lain , mengubah trik penentuan ketua DPR dari partai pemenang pemilu menjadi voting , meniadakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dan mengerdilkannya ke komisi-komisi , menawarkan imunitas kepada anggota dewan terhormat yang melaksanakan tindak pidana korupsi dengan trik mengharuskan pegawanegeri aturan untuk mendapatkan persetujuan dari Badan Kehormatan DPR sebelum menangkap koruptor di DPR tersebut.

Langkah lain yang menyeramkan , sebagian besar partai di DPR—tak terbatas pada partai-partai Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta—kini juga bersekongkol untuk meniadakan kedaulatan rakyat dalam RUU Pilkada. Sistem pilkada eksklusif yang telah berlangsung semenjak 2005 bakal menjadi pemilihan di DPRD. Pilkada eksklusif untuk menentukan gubernur dan bupati hanya didukung oleh PDI-P , Hanura , dan PKB , sementara pilkada eksklusif jabatan wali kota hanya didukung oleh PDI-P dan Hanura.

Alasan para pendukung pemilihan kepala tempat melalui DPRD yaitu problem biaya yang tinggi , banyaknya praktik money politics , dan munculnya perpecahan atau konflik dalam masyarakat. Jika kita menggunakan nalar sehat , problem biaya pilkada sanggup ditekan jikalau semua tempat mencontoh pilkada serempak yang dilakukan di Aceh semenjak 2006. Persoalan money politics seharusnya juga sanggup ditiadakan jikalau semua pemain film yang ikut pilkada tidak melaksanakan hal tersebut dan hukuman atas perbuatan itu amat berat.

Kita semua tahu bahwa pemilu kepala tempat melalui DPRD bukan saja mengembalikan praktik elitis dalam pemilihan kepala tempat , melainkan juga meniadakan kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpin tempat mereka. Sistem pemilihan kepala tempat melalui DPRD juga tak mungkin menihilkan praktik money politics. Bedanya yaitu jikalau dalam pilkada eksklusif mereka yang mendapatkan uang yaitu sebagian rakyat pemilih , sedangkan dalam pilkada melalui DPRD yaitu sebagian anggota DPRD.

Dalam sejarah Indonesia , ada perbedaan kepentingan politik antara elite politik dan rakyat. Kaum elite lebih mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya , sementara rakyat lebih mendahulukan kepentingan bersama dan mendambakan seorang pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan sosial. Elite politik sanggup bergabung dengan elite politik yang lain yang berbeda ideologinya , tetapi memiliki kepentingan politik dan ekonomi sesaat yang sama.

Tirani mayoritas

Satu sisi yang hilang dari dihapuskannya pilkada eksklusif ialah tiadanya kesempatan calon pemimpin yang inovatif , dedikatif , dan kapabel untuk terpilih menjadi kepala daerah. Apa yang berkembang belakangan ini bukan saja mengembalikan sistem politik kita menuju otoriterisme dan elitis , melainkan juga mengembalikan sistem demokrasi menuju tirani dominan pada tataran elite.

Kita dilarang tinggal membisu atas praktik elite politik di DPR yang semakin menjauh dari asas demokrasi. Jika ini kita diamkan , bukan hanya pilkada eksklusif yang mereka tiadakan , melainkan , lebih jelek lagi , mereka sanggup mengamandemen konstitusi negara dan mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR dan bukan eksklusif oleh rakyat.

Demokrasi substansial sudah mulai tampak dalam praktik demokrasi kita. Oleh alasannya itu , kita mustahil berputar balik ke kurun di mana elite politik menentukan segalanya , menyerupai pada kurun Orde Lama ataupun Orde Baru. Jika tidak , demokrasi kita bukan saja mengalami kemunduran , melainkan kita  kembali masuk ke lingkar setan dari demokrasi ke otoritarian.

Saat ini demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk. Tanpa usaha kita bersama , demokrasi kita benar-benar bakal dikuasai oleh kaum penjahat!

Ikrar Nusa Bhakti; Profesor Riset di LIPI

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demokrasi Di Ujung Tanduk"

Total Pageviews