Trias Kuncahyono
Dua perempuan—kira-kira berusia 50 tahun—duduk di bangku besi , persis di depan patung Ibn Khaldoun di taman yang diapit Jalan Habib Bourguiba , Tunis. Patung Ibn Khaldoun (1332-1406) memegang buku , bangun di ujung Jalan Habib Bourguiba. Jalan Habib Bourguiba , dari nama bapak kemerdekaan Tunisia , membujur dari timur ke barat membelah sentra kota Tunis , ibu kota Tunisia.
Ibn Khaldoun atau sering ditulis Ibn Khaldun dikenal sebagai sosiolog , sejarawan , ekonom , dan juga teolog Islam yang begitu kondang. Patung Ibn Khaldoun bangun tegak , kokoh , dan dengan pandangan yang tajam menatap ke timur , ke arah matahari terbit; ke arah cita-cita gres muncul. Seperti yang dibutuhkan oleh rakyat Tunisia ketika ini , sehabis tiga tahun diharu biru dan diaduk-aduk oleh pergulatan politik , pertarungan para elite politik untuk memperebutkan kekuasaan; kekuasaan yang ditinggalkan oleh Presiden Zine al-Abidine Ben Ali yang dipaksa turun oleh rakyatnya pada 2011.
Tidak terang apa yang dibitrikkan oleh kedua wanita tersebut , di tengah hiruk pikuk dan kebisingan kemudian lintas petang itu , ketika bulan hampir bundar menggantung di atas Tunis. Mereka kiranya tidak sedang membahas buku karya Ibn Khaldoun yang begitu terkenal: al-Muqadddimah atau The Muqaddimah atau yang dalam bahasa Yunani disebut Prolegomena , juga sering disebut Muqaddimah of Ibn Khaldun atau Pengantar Ibn Khaldun.
Sejumlah pemikir modern beropini bahwa buku ini merupakan karya pertama yang bekerjasama dengan filsafat sejarah atau ilmu sosial sosiologi , demografi , penulisan sejarah , sejarah kebudayaan , dan ekonomi. Buku ini juga terkait dengan teologi Islam dan teori politik.
Ibn Khaldoun mengatakan empat hal penting dalam studi dan analisis laporan sejarah: a) kaitan insiden satu dengan yang lain lewat alasannya yakni dan akibat; b) menarik analogi antara masa kemudian dan masa kini; c) mempertimbangkan efek lingkungan; serta d) mempertimbangkan efek kondisi yang diwarisi dan ekonomi.
Setelah menatap patung Ibn Khaldoun yang bangun persis di depan Katedral Vincent de Paul bermenara kembar dan Kedutaan Perancis , tebersit pertanyaan , gimana sejarah negeri kita tercinta ini? Sepakat bahwa masa kini kondisi negeri ini ada kaitannya dengan masa lalu. Bukankah sejarah selalu sambung sinambung , tidak terputus. Apa yang terjadi di masa kini ada hubungannya dengan masa lalu; demikian juga masa depan ada hubungannya dengan masa kini.
Rakyat Tunisia , memang , berusaha memutus sejarah mereka ketika mereka bahu-membahu bergerak menyingkirkan seorang penguasa yang melaksanakan praktik korupsi , kongkalikong , dan nepotisme serta otoritarian. Namun , yang muncul kini pun yakni elite-elite politik yang pada masa kemudian ikut berperan. Cerita yang sama terjadi di Mesir. Penguasa Mesir ketika ini juga bab dari masa lalu.
Ibn Khaldoun yakni masa kemudian negeri yang kini berjulukan Tunisia , tetapi juga bab Tunisia masa kini yang tengah berusaha menggenapi sejarahnya. Sama halnya Habib Bourguiba yakni bab dari masa kemudian Tunisia , tetapi namanya lebih infinit daripada Ben Ali , yang dibuang oleh rakyatnya. Kiranya nama Ibn Khaldoun bakal lebih infinit dibandingkan dengan Habib Bourguiba meski diabadikan sebagai nama jalan. Rakyat sebuah negeri bakal selalu mempertimbangkan , menilai , dan mengenang kontribusi seorang putra terbaiknya bila itu memang pantas dikenang dan diabadikan.
Trias Kuncahyono; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ibnu Khaldoun"