Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pajak Dan Kurun Depan Indonesia

Salahuddin Wahid

SAAT ini Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan publik dalam banyak hal: dari realisasi penerimaan pajak yang dipastikan tak bakal tercapai sampai lelang jabatan Dirjen Pajak. Di antara beberapa hal itu , pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak menarik dikupas lantaran Presiden memberi janji berupa sumbangan penuh terhadap pelaksanaan kiprah pengumpulan penerimaan negara melalui pajak. Presiden juga memberikan peningkatan sasaran penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 600 triliun.

Dukungan tersebut menggembirakan rakyat lantaran ketakadilan pajak atas warga negara kian parah. Faktanya , pengenaan dan penagihan pajak tajam ke rakyat kecil tumpul menghadapi konglomerat , orang kaya , dan pejabat negara. Ketakadilan itu bukan disebabkan kesalahan pegawai Pajak semata lantaran sesungguhnya pegawai Pajak hanya bertugas sesuai dengan aturan. Sayangnya , dalam pelaksanaan tugasnya , pegawai Pajak sering sanggup gangguan dari banyak pihak lantaran bersentuhan dengan kepentingan pihak tertentu.

Selama ini tak pernah ada proteksi dari negara saat pegawai Pajak melaksanakan tugas. Dengan sumbangan eksklusif Presiden , pegawai Pajak bisa dilindungi saat sedang melaksanakan kiprah sehingga bisa melaksanakan kiprah dengan benar tanpa takut lagi.

Mewujudkan dukungan

Pernyataan Presiden tidak cukup , harus segera ada implementasi nyatanya. Pada masa kemudian pernyataan Presiden kerap dituangkan dalam aba-aba presiden. Kaprikornus , yang seyogianya dilakukan Presiden ialah mengeluarkan aba-aba presiden untuk menerjemahkan proteksi terhadap pelaksanaan kiprah Ditjen Pajak , sekurang-kurangnya memuat beberapa hal berikut.

Pertama , melaksanakan penyusunan perppu atau UU untuk menempatkan Ditjen Pajak tubuh berdikari setrik struktural di bawah Presiden dan terpisah dari Kementerian Keuangan. Ini penting supaya Presiden sanggup mengintervensi eksklusif dan meminta pertanggungjawaban pemimpin institusi serta untuk membuat ruang komunikasi yang intensif dengan pemimpin otoritas pengumpul penerimaan pajak tanpa harus melalui birokrasi yang rumit dan berliku. Di sini Menteri Keuangan hanya sebagai koordinator , tetapi tetap mempertimbangkan kebijakan perpajakan yang bakal diambil.

Pembentukan tubuh perpajakan terpisah bekerjsama tak tidak mungkin dilakukan lantaran hanya ada satu institusi perpajakan di negeri ini sehingga wewenang , kiprah , dan fungsi Ditjen Pajak tak bakal tumpang tindih dengan forum lain. Ia seharusnya mempermudah melaksanakan perubahan struktur pada institusi perpajakan daripada saat pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan.

Pembentukan tubuh perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi birokrasi di institusi perpajakan setrik maksimal. Reformasi birokrasi di Ditjen Pajak sudah berlangsung semenjak 2002 dan merupakan salah satu aktivis reformasi birokrasi.

Kedua , Presiden mengawal perubahan UU Perpajakan , khususnya UU No 28/2007 wacana Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan , supaya sesuai kepentingan penerimaan negara. Presiden juga bisa memiliki instrumen perpajakan yang berwenang dalam penegakan hukum. Instrumen ini bisa mengatur penyelesaian sengketa perpajakan dan penegakan law enforcement terhadap pengemplang pajak. Ini penting lantaran posisi Presiden lebih berpengaruh daripada sekadar eksekutif jenderal sehingga saat bersentuhan dengan pihak-pihak tertentu , ada kekuatan politik yang sanggup menekan dan berkolaborasi dengan kemampuan kiprah dan institusi perpajakan.

Ketiga , Presiden segera menerbitkan peraturan berupa hukuman manajemen terhadap pemimpin forum pemerintah sentra dan tempat , BUMN , BUMD , tubuh swasta , dan individu yang menghambat dan/atau menolak permintaan data dari institusi perpajakan untuk kepentingan penggalian potensi , pengawasan , dan penegakan hukum. Data perpajakan merupakan alat utama pegawai Pajak melaksanakan kiprah sehingga seharusnya jumlah dan mutunya harus dijamin pemerintah , serta proses penggalian datanya pun seharusnya dilindungi pemerintah.

Keempat , membentuk divisi khusus di KPK untuk mengawasi pegawai Pajak. Penting mendukung dan melindungi petugas dari sisi ketahanan terhadap godaan korupsi lantaran nilai pemungutan pajak yang nominalnya luar biasa dan rentan dikorupsi. Diharapkan , kerja sama dengan KPK ini bakal meningkatkan sisi integritas para pegawai Pajak dan memaksimalkan pengawasan internal. Pembentukan tubuh perpajakan dan divisi KPK khusus pajak harus paralel sehingga berjalan seimbang dengan tujuan , memiliki kewenangan yang besar , tetapi juga maksimal diawasi.

Kelima , infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN atau APBD perlu mencantumkan klarifikasi bahwa infrastruktur itu dibangun dengan dana pajak yang dibayar rakyat Indonesia. Penting menumbuhkan pujian dan doktrin masyarakat supaya patuh membayar pajak sehingga mengurangi resistensi terhadap aturan perpajakan.

Peningkatan penerimaan

Berdasarkan data transformasi kelembagaan Ditjen Pajak ,  proyeksi penerimaan pajak menurut pertumbuhan alami: PDB (2015) Rp  11.128 triliun dan (2019) Rp 17.510 triliun. Rasio pajak (2015) 12 ,32 persen dan (2019) 12 ,42 persen sehingga penerimaan pajak pada 2015 Rp 1.371 triliun dan bakal meningkat pada 2019 Rp 2.175 triliun.

Proyeksi penerimaan pajak yang lebih tinggi sanggup dicapai dengan mengadakan sejumlah perbaikan yang dibutuhkan. Proyeksi optimistis itu pada 2019 bakal capai rasio pajak 16 persen yang menghasilkan penerimaan pajak Rp 2.802 triliun. Terlihat ada potensi penambahan penerimaan pajak Rp 627 triliun pada 2019 dibandingkan dengan pertumbuhan alami. Proyeksi itu bukan angan-angan. Kita bandingkan dengan banyak negara Eropa yang rasio pajaknya di atas 30 persen (tertinggi ialah Belgia sebesar 46 ,8 persen)

Peningkatan penerimaan pajak itu memerlukan prasyarat lain berupa peningkatan jumlah , mutu , kesejahteraan pegawai tubuh perpajakan , serta penambahan kewenangan dan syarat lain menyerupai diuraikan di atas. Jumlah pegawai Ditjen Pajak semenjak 2005 semakin meningkat dan mengalami titik balik pada 2012 yang berbalik menjadi menurun. Menurut asumsi , untuk memenuhi sasaran penerimaan pajak 2015 dibutuhkan penambahan 10.000 pegawai Ditjen Pajak sehingga total pegawai Pajak menjadi sekitar 41.000.

Ketika tangan midas Presiden menyentuh eksklusif sektor perpajakan , APBN dengan pembiayaan berdikari dari pajak bukan angan-angan belaka. Dengan dana melimpah , pembangunan Indonesia menuju negara maju suatu keniscayaan.

Dengan peningkatan penerimaan pajak itu , kita bisa membiayai kebutuhan kapal dan persenjataannya untuk mengawal kedaulatan bahari , membangun sistem radar , dan membeli pesawat tempur untuk menjaga wilayah udara kita , meningkatkan peralatan tempur Tentara Nasional Indonesia AD , meningkatkan kesejahteraan anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polri. Juga meningkatkan kesejahteraan pegawapemerintah penegak aturan supaya aturan betul-betul tegak dan menyejahterakan serta meningkatkan mutu para guru supaya kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga untuk membangun infrastruktur , termasuk tol bahari , membiayai penelitian untuk memajukan industri , memenuhi kebutuhan pendidikan , kesehatan , dan perumahan. Pajak ialah masa depan Indonesia.

Salahuddin Wahid; Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pajak Dan Kurun Depan Indonesia"

Total Pageviews