Mochtar Pabottingi
KONTESTASI Pilpres 2014 berlangsung seru pada medan politik yang amat keruh. Dalam kondisi ibarat itulah dua pasangan calon presiden-wakil presiden , yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla , berlomba. Belum pernah bangsa kita memasuki medan kontestasi politik dengan pengeruhan empat kali lipat.
Pertama , karna umumnya bertolak dari , memperjuangkan , dan mengatasnamakan hal-hal ultimat , usaha politik pada hakikatnya memang selalu merupakan atrik sarat kontestasi. Para pemikir politik , ibarat John Rawls , William Connolly , dan Michael Sandel , sangat menyadari hal ini.
Kedua , di kalangan para kontestan politik selalu ada yang terpengaruhi menghalalkan trik , bahkan memanipulasi fakta dan mengembangkan fitnah , demi merebut kemenangan. Skala dan intensitas manipulasi serta fitnah biasanya berbanding lurus dengan besarnya taruhan politik. Dan , pada negara-negara di mana prinsip Rechtsstaat—prinsip negara hukum—tidak dilaksanakan setrik tegar , pengeruhan akhir rangkaian penghalalan trik bakal berdampak luas dan parah , termasuk merisikokan konsekuensi tragis atas bangsa.
Ketiga , khusus dalam kasus Indonesia , terutama di sepanjang masa sehabis kemerdekaan , kontestasi atau evolusi politik berlangsung sebagian besar dalam aturan main yang bersifat ad hoc , berjangka pendek , dan berjalan sekenanya. Di sebagian besar masa kemerdekaan , yaitu semenjak demokrasi terpimpin , negara-bangsa kita berkiprah tanpa perangkat aturan main politik produk deliberasi yang matang dan yang ditopang oleh prinsip Rechtsstaat tadi–singkatnya , tanpa rasionalitas politik. Bangsa kita belum lepas penuh dari tudingan Clifford Geertz: tiada hentinya terombang-ambing di antara kegairahan pada demokrasi dan kerinduan pada otoritarianisme.
Keempat , kita memulai apa yang disebut masa reformasi , tanpa kebersihan pergantian rezim. Ia justru dimulai dengan implantasi penuh personalia Orde Baru (hanya minus Soeharto) pada bangunan awal reformasi. Pengeruhan dan sekaligus pengotoran reformasi serta berlakunya krisis multidimensi yang agaknya tak bertara di zaman modern merupakan akhir kontan dari laris evasif itu. Sementara kita semua mengetahui bahwa telah terjadi pengkhianatan atau penggadaian masif dan merata atas ideal-ideal kebangsaan kita oleh para pelaksana Rezim Orde Baru , tidak satu pun dari mereka—apalagi pemimpin tertingginya—yang diadili dan dieksekusi segimana mestinya.
Pengkhianatan Pancasila
Bisa disimpulkan bahwa Orde Baru telah memberi bangsa kita paling tidak dua kutukan: pengkhianatan besar-besaran atas sila kedua sampai sila kelima Pancasila dan pengaburan sejarah , terutama sepanjang 1965-2014. Dalam pengaburan sejarah itu , alangkah besar lengan berkuasa arus untuk membuat barisan dan pimpinan pengkhianat jadi pahlawan.
Dengan berjalannya waktu , impunitas raksasa ini membuat ujung akar kasus tambah sulit ditangkap orang banyak , apalagi oleh generasi muda yang tidak mengalami masa Orde Baru. Merekalah yang paling rawan salah pilih. Di sini ”yang salah” dan ”yang benar” sungguh kabur. Di medan keruh , posisi-posisi antagonis sama-sama berpeluang untuk serempak menjadi (atau dijadikan) ”benar” atau ”salah”.
Kian dalam bangsa kita terjebak ke dalam medan kontestasi politik yang keruh , kian gampang pula kita terbawa oleh aneka jalan pikiran yang keliru , bahkan sesat. Dari situ , kian gampang pula kita lupa untuk apa kita berdiri sebagai bangsa lewat timbunan pengorbanan tak terperi.
Juga lupa untuk kembali berteguh hati pada rumusan harapan luhur di atas mana kita memperjuangkan dan memancangkan kemerdekaan. Ibarat di tengah serbuan polusi bunyi dan jelaga hitam sekaligus , masyarakat kita pada hari-hari ini dipersulit untuk memusatkan perhatian dan memantapkan pijakan ke arah yang benar.
Untunglah bahwa setiap insan cerdik balig cukup akal dan terdidik dikaruniai kemampuan logika kecerdikan untuk melepaskan diri dari perangkap-perangkap momen/medan kontestasi politik yang keruh. Dan , semakin luas perhatiannya serta semakin dalam pemahamannya atas masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan , semakin sanggup pula mereka mengambil pilihan-pilihan yang sempurna meskipun dalam sungkup kekeruhan.
Taruhan politik raksasa
Dalam rubungan polusi bunyi dan jelaga hitam sekalipun , mereka bakal tetap sanggup menjatuhkan pilihan setrik cerdas dan bertanggung jawab. Begitu pula dalam Pilpres 2014 yang kontestasinya begitu riuh rendah pada hari-hari ini.
Di sini kita memperlihatkan sembilan kiat untuk menembus tebalnya polusi bunyi dan jelaga hitam kontestasi , di mana kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla berlomba dengan sengit sehingga kita sanggup menentukan setrik cerdas dan bertanggung jawab. Kesembilan kiat ini bersifat imperatif semata-mata alasannya , ibarat sudah disinggung , sengitnya kontestasi politik merupakan menunjukan gamblang bakal adanya taruhan-taruhan politik raksasa. Mari kita urai satu per satu.
Pertama , kita , utamanya tiap warganegara cerdas dan terdidik—termasuk generasi muda , dituntut menapis rekam jejak yang akurat dan yang bisa dipertanggungjawabkan , khususnya dari setiap pasangan calon. Capres-cawapres ideal haruslah memiliki rekam jejak bakti publik atau bakti bangsa yang substansial dan tak terbantahkan. Akan sangat istimewa kalau capres dan/atau cawapres memiliki bakti nasional dan/atau bakti berskala internasional yang juga tak terbantahkan.
Kedua , kita perlu menyimak setrik saksama gimana koalisi pada kedua kubu pasangan capres-cawapres terbentuk. Makin sedikit proses dagang sapi yang berlaku di dalam pembentukan tiap koalisi , makin baik. Koalisi kubu yang terbentuk dengan praktik dagang sapi yang kental sangat perlu dihindari alasannya itu merupakan menunjukan dini dari minimnya ketulusan bakti bangsa pada kubu tersebut. Itu juga merupakan indikasi konkret betapa kuatnya probabilitas laris dagang sapi selanjutnya untuk menggarong dana-dana publik kalau nanti pasangan calon presiden-wakil presidennya terpilih.
Ketiga , kita harus meragukan capres yang rekam jejaknya menimbulkan kontrkelewat / oversi laten , luas , dan tajam di tengah-tengah masyarakat , apalagi yang tidak memperlihatkan kesegeraan (promptness) untuk menuntaskan model sikap keji Orde Baru setrik akuntabel dan transparan. Jika capres demikian terpilih , bakal sangat sulit baginya untuk menegakkan stabilitas politik dalam pemerintahan semata-mata karna luasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadapnya.
Keempat—sejalan dengan butir kedua—kita harus bisa menangkap sinergi , kesejalanan , dan kesamaan arah serta langgam kerja setiap pasangan capres-cawapres. Setiap pasangan capres-cawapres itu sendiri sudah merupakan inti (kernel) dari koalisi. Makin besar kadarnya terbentuk di atas landasan ketulusan untuk bekerja sama demi bakti bangsa dan bukan atas dasar dagang sapi , makin baik.
Kelima dan bersambung dengan butir ketiga , kita wajib mengamati kecenderungan pasangan capres-cawapres untuk mengutamakan pencitraan dan retorika vis-a-vis gereget konkret untuk menuntaskan rangkaian kasus pada bangsa kita setrik sistemik.
Keenam , kita perlu meragukan kalau ada kecenderungan pada satu atau kedua pasangan capres-cawapres untuk berlaku bacar dengan janji-janji besar tanpa pengetahuan bakal rincian operasional dan fisibilitasnya. Setiap pemilih yang bertanggung jawab wajib menjauhi sikap terlalu gampang percaya (gullible) pada janji-janji muluk.
Ketujuh , kita pun perlu memastikan apakah setiap pasangan capres-cawapres memiliki sifat ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi aneka kasus bangsa yang tingkat urgensi dan kerumitannya berbeda-beda dan terus meloncat-loncat tiada habisnya dari kasus yang satu ke kasus lainnya. Kecenderungan absolut atau adab penaik darah pada capres niscaya bukanlah modal yang baik untuk memimpin suatu bangsa.
Kedelapan , tak kurang pentingnya , kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab perlu menyeleksi kriteria-kriteria yang relevan untuk menentukan pasangan capres-cawapres. Setiap kriteria yang relevansinya dalam kiprah kepresidenan tidak signifikan sebaiknya ditanggalkan saja. Lalu , himpunan kriteria yang sudah kita menetapkan perlu diurut berdasarkan tingkat urgensinya. Sebagai salah satu kriterium , aksara terpuji dengan kompetensi dan integritas terperinci menduduki hierarki yang jauh di atas wajah gagah.
Kesembilan , berhadapan dengan realitas gencarnya kampanye hitam yang menyerang kedua pasangan capres-cawapres dan miskinnya tanggung jawab pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengatasinya mengingat tajamnya kegentingan dan tingginya taruhan politik yang ada , satu-satunya sikap arif yang bisa kita ambil yakni menghitung setrik kredibel frekuensi dan prevalensi serangan kampanye hitam terhadap setiap pasangan capres-cawapres.
Dari situ , demi keadilan dan demi menghindari naivitas , kita sebaiknya tidak menentukan pasangan capres-cawapres yang kubunya paling diuntungkan oleh serangan kampanye hitam terhadap lawannya.
Semoga dengan kesembilan kiat ini , di tengah kekeruhan puncak pada momen dan medan Pilpres 2014 , kita—sekali lagi terutama generasi muda—bisa tetap menentukan setrik cerdas dan bertanggung jawab demi menyelamatkan bangsa kita dari risiko malapetaka besar akhir salah pilih pada Pilpres 2014 ini.
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menentukan Di Medan Keruh"