Yudi Latif
KEBAIKAN itu tidak tiba dari niat buruk. Politik memang bekerja atas dasar kepentingan. Namun , dalam politik beradab , kepentingan itu harus diletakkan sesuai dengan makna politik itu sendiri; penyelesaian problem melalui praktik-praktik etis deliberasi dan argumentasi demi kebajikan hidup bersama.
Demokrasi Pancasila bekerja dalam kerangka etis cita kerakyatan , cita permusyawaratan , dan cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan hendak menghormati bunyi rakyat; dengan memperlihatkan jalan bagi peranan dan efek besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang sanggup mengatasi paham perseorangan dan golongan , dengan mengakui ”kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis bahwa ”kerakyatan” yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari bunyi terbanyak semata , melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas , kearifan konsensual , dan janji keadilan yang menghadirkan sintesis terbaik.
Rambu-rambu etis demokrasi Pancasila itu tidak diindahkan dalam keputusan dramatis menyangkut Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Jebolnya semangat kekeluargaan membuat pembelahan politik yang saling menafikan: apakah bersama saya atau bersama mereka; tanpa menyisakan ruang bagi kemungkinan sintesis terbaik.
Dalam semangat saling menafikan , yang pertama kali dimatikan ialah penalaran. Di negara demokratis di dunia , pilkada sanggup dilakukan eksklusif atau tidak langsung. Keduanya sama-sama demokratisnya meski kecenderungan global kian mengarah ke pilkada langsung. Yang harus dilakukan ialah memahami setrik baik prinsip-prinsip penerapan kedua model pemilihan itu serta plus-minus penerapan kedua model pilkada tersebut dalam pengalaman Indonesia.
Di kebanyakan negara Eropa , pilkada dilakukan tidak langsung. Dengan ketentuan , partai pemenang diberikan kesempatan untuk membentuk pemerintahan. Penghormatan kepada partai pemenang ini penting alasannya ialah mencerminkan arus kehendak di akar rumput. Apabila partai pemenang tidak berhasil membentuk pemerintahan , barulah partai pemenang kedua diberi kesempatan , dan seterusnya menurut urutan.
Di pecahan dunia lain , beberapa negara , ibarat Amerika Serikat , Kanada , Jepang , dan Filipina , melaksanakan pilkada langsung. Negara dengan tingkat pluralitas masyarakat yang tinggi , di luar negara komunis (bekas komunis) , cenderung ke pilkada langsung.
Yang harus dilakukan Indonesia ialah menentukan sistem yang sesuai dan efektif dalam konteks sosiokultural bangsa ini. Harus ditekankan bahwa Pancasila tidak memihak pilkada eksklusif atau tak langsung. Kepedulian Pancasila hanya ingin memastikan sistem apa pun harus menghasilkan pemerintahan yang menghormati daulat rakyat dengan mengakibatkan warga sebagai subyek berdaulat , bukan obyek tindasan dan manipulasi tirani oligarki penguasa atau pemodal.
Indonesia punya pengalaman menerapkan pilkada tidak eksklusif dan langsung. Keduanya tidak berujung pada penghormatan daulat rakyat. Dalam sistem pertama , aspirasi rakyat dibajak oligarki elite partai; kedua , dibajak oligarki pemodal. Kita harus mengevaluasi sumber-sumber distortif dari kedua sistem itu dan menemukan sistem mana yang lebih cocok diterapkan dengan segala perbaikannya.
Menerapkan pilkada tidak eksklusif mengandaikan bahwa anggota-anggota Dewan ialah orang-orang dengan moralitas dan akuntabilitas publik yang sanggup diandalkan sehingga sanggup menentukan pemimpin cita-cita publik. Apakah prasyarat itu sanggup dipenuhi DPRD kita yang merupakan produk biaya politik yang mahal? Dalam pilkada tak eksklusif , konvensinya ialah pemberian kesempatan kepada partai pemenang untuk membentuk pemerintahan. Masalahnya , dalam sistem multipartai yang begitu kompleks , pembentukan koalisi selalu rumit dan tidak ada jaminan partai pemenang sanggup gampang meraih sumbangan mayoritas. Sistem ini juga mempersempit saluran masuk kandidat-kandidat alternatif. Dengan demikian , gelombang aspirasi rakyat gampang terdistorsi oleh persekongkolan kepentingan elitis.
Menerapkan pilkada eksklusif menggelembungkan biaya politik , baik untuk penyelenggaraan maupun kampanye. Situasi inilah yang menjadi pintu masuk bagi korupsi dan penetrasi pemodal dalam penguasaan sumber daya di daerah. Sistem ini juga rawan bagi manipulasi politik identitas di akar rumput. Namun , sistem ini lebih membuka ruang partisipasi dan sanggup menghindari pembajakan aspirasi rakyat oleh persekongkolan elite partai. Sistem ini juga menjadi solusi atas kesulitan partai pemenang membentuk pemerintahan dalam sistem multipartai yang kompleks.
Oleh alasannya ialah itu , sistem pilkada eksklusif sanggup menjadi pilihan ketika ini , dengan sejumlah perbaikan yang sanggup mengatasi mahalnya biaya politik dan politisasi identitas. Proposal perbaikan ini sebenarnya telah diajukan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayang ajuan ini setengah hati; terkesan sebagai perjuangan menohok dengan trik menghindar. Sebagai presiden , SBY semestinya sudah harus memasukkan ajuan perbaikan ini dalam RUU yang diajukan pemerintah. Partainya juga sanggup beraliansi dengan kekuatan pro pilkada eksklusif sebagai kerikil lompatan menuju ajuan perbaikan. Mengetahui problem tanpa berusaha memperjuangkannya ialah menandakan kepengecutan.
Pilihan lainnya ialah mengombinasikan pilkada eksklusif dan tak langsung. Pilkada eksklusif sanggup diterapkan untuk kabupaten/kota. Pilkada tak eksklusif untuk provinsi. Di luar itu , apabila kita tiba dengan visi otonomi asimetris , soal pilkada ini sebenarnya sanggup saja diserahkan kepada tempat masing-masing untuk menentukan pilihan terbaik sesuai konteks lokal. Alhasil , banyak pilihan yang sanggup didiskusikan sebelum ketuk palu. Namun , dalam politik tanpa hikmat-kebijaksanaan , budi budi sudah dimatikan oleh kepentingan dan kesumat.
Yudi Latif; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demokrasi Tanpa Hikmat-Kebijaksanaan"