Mochtar Pabottingi
Di balik segala dakuan perihal melembaga dan berjalannya rangkaian kegiatan demokrasi semenjak 1998 , terakhir Pemilu Presiden 2014 , tahun ini demokrasi kita bergotong-royong merapuh di sana-sini. Kendati ia sudah dua kali melewati persyaratan two-turnkelewat / over test dari Samuel Huntington (karna kita sudah empat kali selamat melaksanakan pilpres) , dengan perkembangan mutakhirnya harus dinyatakan bahwa kerikil uji demokrasi Huntington itu belumlah memadai bagi kita.
Demokrasi kita justru sedang berada dalam kondisi rawan. Lenyapnya toleransi (toleration) bukan hanya dari lebih banyak didominasi kepada minoritas , melainkan juga antarkelompok , partai , dan terutama kubu politik tak berhenti saat Pilpres 2014 usai. Iklim fitnah dan hujatan masih terus berlangsung di media sosial. Ini juga terkuak pada penolakan DPRD Jakarta terhadap peresmian Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur yang definitif sah. Begitu pula laris kuasa-kuasaan kerdil di DPR atau di parpol.
Kita lupa pesan Bung Hatta di awal 1920-an bahwa nondiskriminasi yaitu syarat mutlak persatuan dan persatuan syarat mutlak kemerdekaan. Alangkah banyak di kalangan masyarakat kita yang saking pandir tak kunjung menyadari bahwa hanya dengan persatuan bangsa kita dapat bertahan tetap merdeka.
Sumber kerawanan
Besarnya ancaman regresi politik 2014 tak berhenti pada memudarnya kesalingpercayaan antarwarga bangsa , meluasnya sinisme dan permusuhan , dirisikaukannya laris ”tirani mayoritas” , dan berlakunya barbarisme bahkan di parlemen. Jika tak waspada , kita dapat kembali terjerumus ke dalam keadaan darurat resmi. Sudah kerap kita dengar selentingan supaya parpol-parpol dan belakangan ini juga DPR dibubarkan. Kita dibayangi deja vu—tergiring ke sinyalemen Geertz (1973) wacana sifat state manque dari negara kita: bolak-balik somnambulistik tiada henti antara demokrasi dan otoritarianisme tanpa pernah genah pada pilihan yang benar.
Kini demokrasi kita ditandai oleh tiga sumber kerawanan: rapuhnya solidaritas sebangsa; miskinnya ketercerahan politik; dan tak terkendalikannya hawa nafsu picik kekuasaan. Demokrasi memang tak terpisahkan dari persenyawaan simbiosisnya dengan kolektivitas bangsa , persandaran rasionalnya pada ketercerahan politik (baca: rasionalitas demokrasi) , serta pengutamaannya atas adat (integritas dan moralitas) , serta daypikir (otoritas dan kompetensi). Memang semenjak awal reformasi , demokrasi kita lebih erat pada pemahaman Schumpeter atau Robert Michels atas demokrasi daripada pemahaman John Stuart Mill dan Peter Bachrach.
Tiga perkembangan membuat kita patut prihatin. Pertama , partai-partai politik selama masa kampanye Pilpres 2014 telah menjerumuskan masyarakat kita ke dalam pandangan dan sikap politik pokoke yang ”hitam-putih” , miskin nalar , dan rabun sejarah bangsa. Inilah yang membangkitkan monster primordialisme , fanatisme agama , sebaran fitnah yang melampaui akal-sehat dan kepatutan , serta prasangka-prasangka stereotip yang semuanya bertentangan dengan adat dan budi budi.
Kedua yaitu laris pengabaian reformasi (the abandonment of political reform) justru oleh partai pelopornya sendiri dalam perlombaan pilpres itu. Partai Amanat Nasional (PAN) telah dibawa para tokohnya ke jalan yang menyimpang dihitung dari sisi perjuangannya semula. Setelah gagal bergabung dengan kubu Joko Widodo dan gagal mengajukan pasangan calon presiden sendiri , PAN merapat ke kubu Prabowo Subianto , sesuatu yang pasti disambut kubu ini sebagai pucuk dicinta ulam tiba. Kita tahu Prabowo menggalang kantong-kantong , para pendukung , dan simpatisan Orde Baru. Dan tokoh-tokoh PAN sama sekali tak merasa jengah dengan kenyataan itu , termasuk bahwa sosok Prabowo masih diliputi polemik tajam menyangkut pelanggaran HAM berat. Sulit dibantah , di sini berlaku lagi adagium konyol itu: ”Dalam politik tiada mitra abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi”.
Ketiga , laris kuasa-kuasaan , termasuk tipu budi kancil bernafsu di DPR dalam sidang-sidang penetapan UU MD3 , UU Pilkada 2014 , dan pimpinan serta alat kelengkapan DPR. Itu tidak hanya bersifat culas-rampok , tetapi juga setrik barbar melanggar kaidah-kaidah rasionalitas demokrasi , terutama berkenaan dengan tuntutan harkat forum perwakilan rakyat (ataupun sebutan sebagai ”wakil rakyat”) berikut pakem demokrasi menyangkut mekanisme penerjemahan hasil pemilu legislatif di parlemen. Dari seluruh regresi politik , inilah yang terparah dan kalau tak segera dikoreksi , dapat merusak sistem demokrasi sampai jauh ke depan.
Langgar rasionalitas politik
Parlemen terang-terangan melanggar setidaknya empat rasionalitas politik. Pertama , demokrasi selalu dituntut memenuhi prinsip keabsahan prosedural dan keabsahan substansial demi menjunjung kemuliaan politik dan sekaligus mengindahkan salah satu aturan besi politik: setrik historis-universal , komitmen sejati tak dapat lebih didasarkan melulu pada might (kuasa politik) , tetapi lebih pada right (kebajikan politik). Hanya dengan keabsahan trik dan keabsahan tujuan sekaligus might jadi right. Michael Walzer menegaskan , kedua sisi keabsahan itu sama pasti dan bobotnya (Ihwal might-right ini mengingatkan kita pada gimana Tjokroaminoto memahami volksvertegenwoordiging dalam kontrkelewat / oversi Indie Weerbaar dan mengapa Soewardi Soerjaningrat menulis Als ik eens Nederlander was–dua-duanya tahun 1913).
Rasionalitas politik kedua berlaku dalam prinsip pergiliran pemerintahan. Konvensi utama untuk menegakkan prinsip ini tak lain yaitu pilpres , yang transparan , adil , dan jujur. Di sini pemenang di ranah direktur mestilah sportif dihormati dan diberi kesempatan penuh melaksanakan semua kiprah , kerja , dan sasaran kebijakannya. Parlemen tak dapat disalahgunakan untuk setrik sistematis mempersulit kelantrikn kinerja pemerintahan.
Di semua negara demokrasi maju , perlombaan dalam pilpres yang transparan , adil , dan jujur tak pernah diperpanjang di DPR semata demi mempersulit ruang gerak partai pendukung pemerintah , apalagi dengan aturan-aturan main hasil pura-pura bulus mendadak dan bersifat rampok. Kubu yang melakukannya di DPR kita lupa bahwa mereka bekerja dalam DPR Republik Indonesia—untuk menghormati pilihan rakyat , pemilik utama Republik. Melecehkan tuntutan sportivitas untuk mengakui pilihan rakyat demi pergiliran pemerintahan berarti membatalkan hasil pemilu legislatif sehingga merisikokan aturan rimba.
Rasionalitas politik ketiga yaitu prinsip perwakilan dalam DPR yang dilaksanakan dalam dua kiat konvensional: sistem majoritarian yang umumnya ditandai persaingan dua partai besar (dan salah satunya mencapai status mayoritas) dan sistem proporsional yang umumnya ditandai partai-partai politik kecil (yang jauh dari status mayoritas). Demi efektivitas pemerintahan dan sekaligus penegasan sistem majoritarian , di sini lazim dilakukan kiat penggelembungan bobot kekuasaan partai pemenang pluralitas dalam pemilu legislatif. Itulah sebabnya Douglas Rae menyebut kiat ini manufactured majorities. Namun , kiat ini disepakati bersama dalam undang-undang dan disusun jauh hari sebelumnya.
Lain halnya dengan sistem proporsional menyerupai yang kita anut selama ini. Di sini rasionalitas politik ditekankan pada terjaganya kohesi DPR , yaitu dengan memastikan supaya proporsionalitas perolehan bunyi dalam pemilu legislatif benar-benar diterjemahkan ke dalam proporsionalitas bobotnya di parlemen. Tak satu pun negara demokrasi pelaksana sistem proporsional yang menjungkirbalikkan proporsionalitas perolehan bunyi partai-partai dalam pemilu setrik manufactured majority alasannya yaitu itu terperinci melanggar rasionalitas demokrasi , termasuk mengingkari hasil pemilu legislatif. Dan laris tak patut inilah yang dilakukan salah satu kubu dalam DPR kita.
Rasionalitas politik keempat sudah gamblang , yaitu pengakuan kesetaraan harkat setiap warga negara , terutama dan terpenting di depan hukum. UU MD3 yang sengaja mempersulit pelacakan laris korupsi ”berjemaah” serta transparansi penganggaran di badan DPR melanggar diktum rasionalitas ini dalam dua hitungan. Pertama , ia melanggarnya dalam hitungan tuntutan universal demokrasi: di mana pun dan dalam keadaan apa pun pada yurisdiksi negara , prinsip kesetaraan di depan aturan ini mesti terus dijunjung. Kedua , ia menafikan kenyataan partikuler bahwa semenjak Orde Baru sampai sekarang korupsi masih terus ramai dilakukan para pejabat negara kita , terutama di DPR reformasi dengan besaran yang berbanding lurus dengan kekuasaan yang mereka miliki—umumnya dengan impunitas.
Kita tahu , sudah belasan tahun DPR kita merupakan episentrum korupsi. Setrik pribadi dengan UU MD3 dan setrik tak pribadi dengan UU Pilkada 2014 , sebagian anggota DPR hendak membentengi diri dari keniscayaan kesamaan di depan aturan dengan jalan menutup waskat transparansi dan akuntabilitas , dengan menembok diri dari keniscayaan probity atas laris korupsi , sikap jelek , dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan mereka. Mereka hendak menggerakkan pendulum politik balik ke model Orde Baru—menuju kekuasaan sewenang-wenang demi korupsi atau penyelewengan sewenang-wenang pula.
Menyikapi regresi politik
Dalam menyikapi masifnya regresi politik yang sekarang melanda bangsa kita , dua hal patut dijadikan kegiatan pokok bangsa kita. Pertama yaitu pentingnya terus menanamkan kesadaran bahwa demokrasi tegak di atas seperangkat falsafah luhur yang setrik arif menawarkan gimana semestinya setiap individu dan kolektivitas ditempatkan setrik berharkat vis-a-vis kekuasaan. Biang dari seluruh regresi politik kita tak lain dari penghalalan trik , tentu termasuk pengabaian reformasi. Dalam masyarakat , puncak penghalalan trik yaitu penyebaran fitnah keji atau kepicikan primordialisme pada perlombaan demokrasi. Dalam negara , puncak penghalalan trik yaitu pemaksaan berlakunya undang-undang yang mencampakkan keniscayaan kedua sisi keabsahan di atas. Bentuk-bentuk penghalalan trik demikian inilah yang menginjak-injak solidaritas kebangsaan , ketercerahan politik , dan etika-akal budi.
Kedua , dalam rangka mengatasi ancaman regresi politik , fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) sangat krusial. Sebab , dari seluruh regresi politik yang kita alami , yang paling celaka dan berdampak paling jauh yaitu regresi di bidang perundang-undangan. Bertugas sebagai pengawal konstitusi , MK dituntut untuk memperluas cakrawalanya , bukan hanya di ranah aturan formal dan/atau yurisprudensi , melainkan juga di ranah rasionalitas , falsafah , dan sejarah politik.
Jika kita membatasi diri di ranah aturan formal/yurisprudensi , cakrawala kita bakal cenderung terpenjara pada teks/makna undang-undang yang diuji dan/atau pada padanan/preseden hukumnya. Kita tak boleh lupa bahwa kendati tiada atau belum ada undang-undang untuk membuat undang-undang , dengan cakrawala rasionalitas politik MK bakal gampang memilih apakah suatu undang-undang dibentuk setrik jujur , bajik , dan bermartabat atau setrik culas , nista , dan rampok. Perlu disadari bahwa sebagai syarat mutlak suatu bangsa untuk merdeka , konstitusi pada mulanya yaitu paket politik tertinggi yang pokok-pokoknya disusun dengan tingkat nalar prima. Baru segera sehabis itu ia dijadikan patokan aturan tertinggi. Singkatnya , konstitusi yaitu monumen politik dan aturan sekaligus dan kedua-duanya mutlak perlu diindahkan.
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Solusi Regresi Politik"