Ignas Kleden
HITUNG cepat sudah menjadi suatu praktik penelitian sosial-politik , yang diperkenalkan oleh LP3ES semenjak Pemilihan Presiden Indonesia 2004.
Sejak ketika itu praktik ini sudah meluas dan diterapkan oleh forum penelitian lainnya dalam pemilihan presiden , gubernur , dan pemilihan lain , tanpa menjadikan kontrkelewat / oversi. Sebab , hasil hitung cepat dan hasil hitungan manual oleh panitia pemilihan tidak banyak bedanya.
Kontrkelewat / oversi muncul pertama kali dalam Pemilihan Presiden 2014 lantaran adanya dua kelompok forum penelitian yang mengumumkan hasil hitung cepat berbeda. Perbedaan hasil ini kemudian menerima amplifikasi politis yang luas lantaran kelompok yang satu memperlihatkan keunggulan perolehan bunyi bagi pasangan Jokowi-Jusuf Kalla , sedangkan kelompok lain memperlihatkan keunggulan pasangan Prabowo-Hatta dalam perolehan bunyi mereka.
Dampak politis dari perbedaan hasil hitung cepat dua kelompok forum penelitian ini sudah dibahas oleh beberapa penulis lain. Tulisan ini bakal difokuskan pada dampak ilmiah dari kontrkelewat / oversi itu dan gimana kontrkelewat / oversi itu seyogianya diselesaikan berdasarkan konvensi yang berlaku dalam komunitas akademis.
Legitimasi ilmiah
Dalam arti tertentu seseorang menjadi ilmuwan lantaran ia diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh khalayak ramai , tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian dalam bidang ilmu yang digeluti.
Dalam istilah sosiologi-pengetahuan , legitimasi seorang ilmuwan bukanlah legitimacy by the people (seperti halnya seorang politikus) , melainkan legitimacy by peers , yaitu legitimasi yang diberikan oleh rekan-rekan sejawat. Kalau seorang dokter atau peneliti di laboratorium medis sekali kelak menemukan obat untuk penyakit kanker atau HIV-AIDS , keabsahan temuan obat itu bakal diuji dan ditetapkan oleh rekan-rekan dokter atau para peneliti di laboratorium medis , dan bukan oleh besar kecilnya pinjaman khalayak ramai atau massa yang dikerahkan untuk memaksakan penerimaan terhadap temuan tersebut. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara legitimasi politik dan legitimasi ilmiah.
Dalam praktik politik , presiden , gubernur , bupati , atau wali kota menerima mandat melalui bunyi terbanyak yang menentukan dia. Ukuran legitimasi dalam politik ialah besar-kecilnya pinjaman rakyat melalui bunyi yang diberikan dalam pemilihan , di mana para pemilih tidak harus mengemukakan alasan bagi pilihan yang dilakukannya. Sebaliknya , legitimasi suatu temuan ilmiah atau pendapat ilmiah tidak ditetapkan berdasarkan besar-kecilnya pinjaman dari anggota masyarakat , tetapi berdasarkan apakah temuan atau pendapat itu sanggup dipertahankan dengan argumen dan bukti-bukti terbaik yang meyakinkan anggota komunitas akademis atau komunitas profesional.
Jadi , sekalipun temuan atau pendapat itu dipertahankan oleh beberapa orang saja , bahkan hanya oleh satu orang , keabsahan ilmiah layak diberikan. Ketika Albert Einstein mengumumkan teori relativitasnya , ia tidak mengerahkan jumlah besar jago fisika untuk mendukung teori gres tersebut , tetapi membuktikan validnya teori itu melalui perhitungan matematis , yang kemudian diterima dan diakui oleh ahli-ahli fisika lainnya. Filsuf Jerman , Juergen Habermas , menulis bahwa hal yang menentukan dalam duskursus ilmiah ialah the criterion of the better argument , yaitu argumen yang lebih baik , yang harus diperlakukan sebagai kriterium untuk mendapatkan suatu pendapat , konsep , atau teori.
Sampai di sini kita sanggup bertanya , apakah quick count atau hitung cepat merupakan suatu praktik politik atau praktik ilmiah? Jawabannya terang sekali: hitung cepat ialah suatu praktik ilmiah (dalam kelompok ilmu-ilmu sosial) dan bukan suatu praktik politik meskipun apa yang dihasilkan oleh praktik ilmiah ini sanggup membawa jawaban politik.
Dikatakan praktik ilmiah lantaran hakikat hitung cepat bukanlah untuk memperoleh kekuasaan (yang menjadi tujuan setiap tindakan politik) , melainkan memperoleh keterangan perihal suatu realitas sosial dan politik ibarat perolehan bunyi dalam pemilihan. Yang dicari ialah pengetahuan , bukan kekuasaan. Bahwa keterangan , gosip , dan pengetahuan yang dihasilkan oleh hitung cepat sanggup dimanfaatkan setrik politik , ini soal lain yang masuk dalam bidang pemanfaatan pengetahuan dan gosip atau the use of knowledge. Tugas hitung cepat , ibarat kiprah semua penelitian ilmiah lainnya , ialah menghasilkan pengetahuan atau the production of knowledge.
Dalam kerja memproduksi pengetahuan , seorang ilmuwan atau peneliti mengusahakan lahirnya pengetahuan gres berupa temuan dan hasil penelitian. Akan tetapi , ilmu pengetahuan mempersyaratkan juga bahwa pengetahuan gres yang dihasilkan bukan merupakan pengetahuan yang diperoleh setrik untung-untungan—berdasarkan tebakan atau lantaran kebetulan—melainkan melalui suatu proses yang sanggup ditelusuri tahapan-tahapannya. Inilah sebabnya , mekanisme yang ditempuh dalam menghasilkan pengetahuan dianggap sama pentingnya dengan pengetahuan yang dihasilkan. Prosedur ini menjadi penting lantaran di sini , dalam mekanisme ini , anggota komunitas ilmuwan dan peneliti sanggup melihat gimana pengetahuan gres itu diperoleh , metode dan teknik penelitian mana yang dipakai , dan gimana mengetes validitas pengetahuan tersebut.
Sosiolog Amerika , RK Merton , menyatakan bahwa mekanisme keilmuan ini merupakan dasar bagi berlakunya asas komunalitas (communality) dalam ilmu pengetahuan , yang mewajibkan setiap temuan ilmiah untuk diumumkan dalam publikasi dan jurnal-jurnal ilmiah , supaya para ilmuwan lain menjadi tahu perihal temuan gres itu dan memperlihatkan pendapat mereka tentangnya. Tindakan itu sekalian untuk mengecek seberapa jauh temuan gres itu diperoleh melalui mekanisme yang berlaku umum dalam penelitian ilmiah , dan apakah temuan itu benar-benar merupakan hal gres dalam body of knowledge yang ada sampai ketika itu.
Dari sinilah muncul slogan publish or perish , yang menyatakan bahwa seorang ilmuwan yang tidak memublikasikan temuan-temuan penelitiannya bakal hilang eksistensinya sebagai seorang ilmuwan. Sebab , ia bakal menjadi non-faktor yang tidak dibitrikkan dalam komunitas akademis dan karyanya tidak pernah dirujuk oleh rekan-rekan ilmuwan lainnya.
Kewajiban ilmiah
Hitung cepat hasil Pemilihan Presiden 2014 oleh dua kelompok forum penelitian memiliki dua hasil yang berbeda. Berdasarkan asas komunalitas dalam ilmu pengetahuan , perbedaan hasil ini harus diklarifikasikan melalui pertemuan dan diskusi di antara para peneliti dari dua kelompok forum penelitian yang melaksanakan hitung cepat. Klarifikasi itu menyangkut pertanyaan mengapa terdapat hasil yang berbeda , mekanisme penelitian mana saja yang ditempuh oleh setiap kelompok peneliti , dan sejauh mana ada faktor-faktor eksternal (seperti dana atau tekanan politik) yang memengaruhi hasil hitung cepat?
Kontrkelewat / oversi mengenai perbedaan hasil ini tidak sanggup diselesaikan dengan mengerahkan massa untuk mendukung hasil hitung cepat dari kelompok peneliti yang satu atau kelompok yang lain. Kalau ini dilakukan , keadaannya lebih kurang sama dengan mengerahkan massa untuk mendukung suatu temuan di sebuah laboratorium medis menyangkut obat kanker atau HIV-AIDS , padahal massa yang dikerahkan itu mudah buta karakter perihal seluk-beluk penyakit kanker dan HIV-AIDS dan kemungkinan pengobatannya.
Sangat disayangkan bahwa pertemuan dan diskusi untuk mengklarifikasi perbedaan hasil hitung cepat ini tidak terealisasi lantaran lembaga-lembaga penelitian yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dalam hasil hitung cepat mereka tidak tiba ke pertemuan yang direncanakan. Empat forum penelitian ini , yaitu Puskaptis , JSI (Jaringan Suara Indonesia) , LSN (Lembaga Survei Nasional) , dan IRC (Indonesia Research Centre) , hanya menyatakan bersedia membuka data mereka sehabis dilaksanakan pengumuman hasil penghitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum , 22 Juli 2014.
Keberatan ini bukan merupakan alasan yang berpengaruh lantaran pengumuman KPU pada 22 Juli besok tidak bakal mengubah hasil hitung cepat yang sudah diumumkan oleh kedua kelompok forum penelitian. Membuka data hitung cepat dalam kontrkelewat / oversi ini bukanlah tindakan gagah-gagahan atau mengambarkan ekshibisionisme politik. Akan tetapi , lebih merupakan suatu kewajiban ilmiah kedua kelompok forum penelitian untuk menjernihkan kontrkelewat / oversi mengenai perbedaan hasil hitung cepat berdasarkan konvensi ilmiah yang baku , untuk menemukan sebab-musabab terjadinya perbedaan hasil hitung cepat , dan apakah mekanisme penelitian yang diterapkan ialah mekanisme yang sama atau mekanisme yang berbeda , dan mengapa dipakai mekanisme yang berbeda dari yang sudah baku dalam pelaksanaan hitung cepat.
Kesediaan untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam penelitian bakal menjamin dapat dipercaya sebuah forum penelitian. Sebaliknya , keengganan untuk bersikap transparan dan akuntabel bakal merugikan dapat dipercaya suatu forum penelitian dan bahkan menghilangkan kepercayaan publik terhadap forum bersangkutan. Tawaran untuk menunggu pengumuman KPU , dan tantangan supaya forum yang hasil hitung cepatnya tidak sesuai dengan hasil penghitungan manual KPU harus membubarkan diri , tidak ada relevansinya setrik ilmiah , lantaran dengan membubarkan diri , forum bersangkutan terbebas dari kewajiban mempertanggungjawabkan hasil hitung cepat yang dilakukannya.
Pada alhasil hitung cepat ialah suatu praktik ilmiah dan bukan suatu praktik politik. Kontrkelewat / oversi mengenai hitung cepat harus diselesaikan setrik ilmiah dan bukan setrik politik. Ibaratnya , meja makan yang kotor lantaran sisa masakan yang bertebaran harus dibersihkan dengan lap berair atau kering , dan bukannya dengan menghantam permukaan meja dengan martil pembelah batu.
Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ilmu Dan Politik Di Hitung Cepat"