Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Membuka Selubung Ilusi

Trisno S Sutanto

SETIAP kali masa Paskah tiba , aku selalu teringat pada dongeng perjalanan dua murid ke Emaus yang dituturkan dengan indah oleh Alkitab Lukas. Dalam narasi pendek dan memikat khas Lukas itu–karna tidak ditemukan di serpihan Alkitab lain , entah itu Markus , Matius , ataupun Yohanes–seluruh misteri Paskah menemukan bentuknya yang utuh.

Tak perlu mencari tahu , atau berdebat sengit , apakah perjalanan ke Emaus itu sungguh- sungguh sebuah laporan. Alkitab tidak (hanya) ditulis sebagai laporan jurnalistik mengenai apa yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan Yesus. Apalagi sebagai ”biografi” Yesus.

Gagasan perihal biografi atau laporan obyektif jurnalistik ialah konsep-konsep yang berkembang dalam dunia modern dan bakal sangat anakronistis–serta mengakibatkan kesulitan yang tak perlu–jika diterapkan pada karya klasik ibarat Alkitab , atau epos-epos Homeros , atau dialog-dialog Platon.

Ambillah satu contoh. Biasanya orang melihat Alkitab sebagai semacam biografi Yesus. Itu salah. Sebab , kalau memang biografi , mengapa catatan-catatan Alkitab tidak memberi info apa pun mengenai masa sampaumur Yesus , dikala ia mencapai pubertas. Atau mengapa tidak ada info apa pun perihal proses sosialisasi awal Yesus dalam keluarga? Padahal , dua fase itu–sosialisasi dalam keluarga dan masa pubertas–biasanya bakal sangat membantu pembaca guna memahami tokoh yang riwayatnya sedang ditulis.

Jawabannya sederhana: alasannya ialah Alkitab memang ditulis bukan sebagai biografi Yesus , melainkan mau menuturkan yang lain. Para penulis Alkitab , atau setidaknya mereka yang mengumpulkan dan menyunting catatan-catatan lepas perihal Yesus , memang mengolah hidup dan karya Yesus sekaligus menyingkapkan dimensi-dimensi lain bagi para pembaca. Kaprikornus , di situ ada aspek-aspek historis-konkret perihal figur Yesus , tetapi sekaligus dimensi lain: pengalaman ”penyingkapan” misteri , disclosure event , perihal figur itu yang dialami dan mengubah orang- orang yang berjumpa dengannya.

Mesias yang menderita

Persis pada titik itu , pada disclosure event perihal figur Yesus , dongeng pendek Lukas mengenai perjalanan dua murid ke Emaus jadi sarat makna. Dalam narasi yang pendek , Lukas seperti memadatkan seluruh pengalaman Paskah bagi umat beriman di masa gereja perdana.

Ceritanya sederhana. Dua orang murid kecewa alasannya ialah Yesus yang mereka elu-elukan dan diperlukan menjadi Sang Mesias justru mati di kayu salib sebagai orang hina , baik di hadapan orang Yahudi maupun Romawi. Bagi agama Yahudi , mati tergantung di salib berarti kutukan dari Allah sendiri; sementara bagi penjajah Romawi , salib merupakan eksekusi bagi para penjahat maupun pemberontak.

Pengalaman itu terlalu mengguncang kedua murid tadi. Selama ini mereka telah mengikuti Yesus , berjalan dari satu daerah ke daerah lain untuk mengabarkan bahwa ”kerajaan Allah sudah dekat” , dan mungkin melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang dibuatnya. Diam-diam dalam hati mereka berharap , inilah Sang Mesias yang dinanti-nantikan kedatangannya untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajah Romawi , kemudian menegakkan takhta Daud di Yerusalem untuk selamanya , ibarat disebut para nabi.

Akan tetapi , mereka kecewa. Gambaran perihal Sang Mesias yang digdaya penuh keagungan justru luluh lantak oleh bencana penyaliban Yesus. Karena itu , mereka pergi meninggalkan Yerusalem dengan hati yang hancur untuk menguburkan harapan. Namun , di tengah jalan , seseorang bergabung dengan mereka , mengajarkan bahwa jalan yang harus ditempuh Mesias memang jalan penderitaan. Mesias harus turun ke daerah paling bawah , mengosongkan diri , dan menjadi hamba sehingga insan kembali menemukan wajah kemanusiaannya lewat sesamanya yang menderita.

Pemahaman gres ini membuat hati mereka bergetar dan cita-cita kembali bernyala. Namun , orang abnormal itu menghilang , dikala roti dipecahkan dan anggur dituangkan. Keduanya menjadi sadar , orang itu Yesus. Yang terang , disclosure event itu mengubah mereka sehingga mereka pun kembali ke Yerusalem membawa cita-cita Paskah.

Dari delusi ke doa
                               
Kisah pendek Lukas ialah dongeng perihal perjalanan kita , Anda dan saya. Selama ini mungkin tanpa kita sadari , rahasia kita membangun delusi perihal sosok seseorang yang diperlukan sanggup menuntaskan segala persoalan. Seseorang yang kita anggap sebagai Sang Mesias (’dia yang dinantikan’) atau Satrio Piningit , atau lainnya.

Masa Paskah–apa yang dalam liturgi gereja disebut pekan suci , dan dimulai oleh Minggu Palmarum–justru merupakan perjalanan di mana selubung ilusi-ilusi itu dikoyak satu demi satu. Kerumunan orang banyak yang bersorak-sorai melambaikan daun palma dan menyambut masuknya Yesus ke Yerusalem ialah mereka yang tiga-empat hari kemudian berteriak untuk menyalibkannya.

Bahkan , pada lingkar paling dalam , para murid Yesus sendiri satu demi satu ditelanjangi ilusinya. Ada yang mengkhianati dan menjual Yesus , ada yang bersumpah setia tetapi justru menyangkalinya di final , dan ada yang melarikan diri tetapi jadinya kembali dengan cita-cita baru.

Pada setiap bencana itu , dengan triknya sendiri-sendiri , Alkitab melukiskan disclosure event yang mengubah kehidupan. Setiap orang pada jadinya ditantang melucuti ilusi-ilusi yang dibangun , kemudian mengambil tanggung jawab sebagai pribadi.

Di situ , meminjam istilah Henri Nouwen , delusi diubah menjadi doa. Bahkan , Yesus pun harus mengalaminya , tetapi kemudian menyadari apa yang harus ia tanggung: ”Bukan kehendakku (yang ilusif itu , Pen) , tetapi kehendak-Mu yang jadi.”

Itulah Paskah. Pengalaman disclosure event yang melucuti selubung ilusi-ilusi kita , yakni keterarahan pada diri sendiri , dan mengubahnya jadi doa: kepasrahan untuk meniti jalan Sang Mesias , walau harus menderita.

Selamat Paskah.

Trisno S Sutanto , Koordinator Penelitian , Biro Penelitian dan Komunikasi (Litkom) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) , Jakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Membuka Selubung Ilusi"

Total Pageviews