Trisno S Sutanto
Tak perlu mencari tahu , atau berdebat sengit , apakah perjalanan ke Emaus itu sungguh- sungguh sebuah laporan. Alkitab tidak (hanya) ditulis sebagai laporan jurnalistik mengenai apa yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan Yesus. Apalagi sebagai ”biografi” Yesus.
Gagasan perihal biografi atau laporan obyektif jurnalistik ialah konsep-konsep yang berkembang dalam dunia modern dan bakal sangat anakronistis–serta mengakibatkan kesulitan yang tak perlu–jika diterapkan pada karya klasik ibarat Alkitab , atau epos-epos Homeros , atau dialog-dialog Platon.
Ambillah satu contoh. Biasanya orang melihat Alkitab sebagai semacam biografi Yesus. Itu salah. Sebab , kalau memang biografi , mengapa catatan-catatan Alkitab tidak memberi info apa pun mengenai masa sampaumur Yesus , dikala ia mencapai pubertas. Atau mengapa tidak ada info apa pun perihal proses sosialisasi awal Yesus dalam keluarga? Padahal , dua fase itu–sosialisasi dalam keluarga dan masa pubertas–biasanya bakal sangat membantu pembaca guna memahami tokoh yang riwayatnya sedang ditulis.
Jawabannya sederhana: alasannya ialah Alkitab memang ditulis bukan sebagai biografi Yesus , melainkan mau menuturkan yang lain. Para penulis Alkitab , atau setidaknya mereka yang mengumpulkan dan menyunting catatan-catatan lepas perihal Yesus , memang mengolah hidup dan karya Yesus sekaligus menyingkapkan dimensi-dimensi lain bagi para pembaca. Kaprikornus , di situ ada aspek-aspek historis-konkret perihal figur Yesus , tetapi sekaligus dimensi lain: pengalaman ”penyingkapan” misteri , disclosure event , perihal figur itu yang dialami dan mengubah orang- orang yang berjumpa dengannya.
Mesias yang menderita
Persis pada titik itu , pada disclosure event perihal figur Yesus , dongeng pendek Lukas mengenai perjalanan dua murid ke Emaus jadi sarat makna. Dalam narasi yang pendek , Lukas seperti memadatkan seluruh pengalaman Paskah bagi umat beriman di masa gereja perdana.
Ceritanya sederhana. Dua orang murid kecewa alasannya ialah Yesus yang mereka elu-elukan dan diperlukan menjadi Sang Mesias justru mati di kayu salib sebagai orang hina , baik di hadapan orang Yahudi maupun Romawi. Bagi agama Yahudi , mati tergantung di salib berarti kutukan dari Allah sendiri; sementara bagi penjajah Romawi , salib merupakan eksekusi bagi para penjahat maupun pemberontak.
Pengalaman itu terlalu mengguncang kedua murid tadi. Selama ini mereka telah mengikuti Yesus , berjalan dari satu daerah ke daerah lain untuk mengabarkan bahwa ”kerajaan Allah sudah dekat” , dan mungkin melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang dibuatnya. Diam-diam dalam hati mereka berharap , inilah Sang Mesias yang dinanti-nantikan kedatangannya untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajah Romawi , kemudian menegakkan takhta Daud di Yerusalem untuk selamanya , ibarat disebut para nabi.
Akan tetapi , mereka kecewa. Gambaran perihal Sang Mesias yang digdaya penuh keagungan justru luluh lantak oleh bencana penyaliban Yesus. Karena itu , mereka pergi meninggalkan Yerusalem dengan hati yang hancur untuk menguburkan harapan. Namun , di tengah jalan , seseorang bergabung dengan mereka , mengajarkan bahwa jalan yang harus ditempuh Mesias memang jalan penderitaan. Mesias harus turun ke daerah paling bawah , mengosongkan diri , dan menjadi hamba sehingga insan kembali menemukan wajah kemanusiaannya lewat sesamanya yang menderita.
Pemahaman gres ini membuat hati mereka bergetar dan cita-cita kembali bernyala. Namun , orang abnormal itu menghilang , dikala roti dipecahkan dan anggur dituangkan. Keduanya menjadi sadar , orang itu Yesus. Yang terang , disclosure event itu mengubah mereka sehingga mereka pun kembali ke Yerusalem membawa cita-cita Paskah.
Dari delusi ke doa
Kisah pendek Lukas ialah dongeng perihal perjalanan kita , Anda dan saya. Selama ini mungkin tanpa kita sadari , rahasia kita membangun delusi perihal sosok seseorang yang diperlukan sanggup menuntaskan segala persoalan. Seseorang yang kita anggap sebagai Sang Mesias (’dia yang dinantikan’) atau Satrio Piningit , atau lainnya.
Masa Paskah–apa yang dalam liturgi gereja disebut pekan suci , dan dimulai oleh Minggu Palmarum–justru merupakan perjalanan di mana selubung ilusi-ilusi itu dikoyak satu demi satu. Kerumunan orang banyak yang bersorak-sorai melambaikan daun palma dan menyambut masuknya Yesus ke Yerusalem ialah mereka yang tiga-empat hari kemudian berteriak untuk menyalibkannya.
Bahkan , pada lingkar paling dalam , para murid Yesus sendiri satu demi satu ditelanjangi ilusinya. Ada yang mengkhianati dan menjual Yesus , ada yang bersumpah setia tetapi justru menyangkalinya di final , dan ada yang melarikan diri tetapi jadinya kembali dengan cita-cita baru.
Pada setiap bencana itu , dengan triknya sendiri-sendiri , Alkitab melukiskan disclosure event yang mengubah kehidupan. Setiap orang pada jadinya ditantang melucuti ilusi-ilusi yang dibangun , kemudian mengambil tanggung jawab sebagai pribadi.
Di situ , meminjam istilah Henri Nouwen , delusi diubah menjadi doa. Bahkan , Yesus pun harus mengalaminya , tetapi kemudian menyadari apa yang harus ia tanggung: ”Bukan kehendakku (yang ilusif itu , Pen) , tetapi kehendak-Mu yang jadi.”
Itulah Paskah. Pengalaman disclosure event yang melucuti selubung ilusi-ilusi kita , yakni keterarahan pada diri sendiri , dan mengubahnya jadi doa: kepasrahan untuk meniti jalan Sang Mesias , walau harus menderita.
Selamat Paskah.
Akan tetapi , mereka kecewa. Gambaran perihal Sang Mesias yang digdaya penuh keagungan justru luluh lantak oleh bencana penyaliban Yesus. Karena itu , mereka pergi meninggalkan Yerusalem dengan hati yang hancur untuk menguburkan harapan. Namun , di tengah jalan , seseorang bergabung dengan mereka , mengajarkan bahwa jalan yang harus ditempuh Mesias memang jalan penderitaan. Mesias harus turun ke daerah paling bawah , mengosongkan diri , dan menjadi hamba sehingga insan kembali menemukan wajah kemanusiaannya lewat sesamanya yang menderita.
Pemahaman gres ini membuat hati mereka bergetar dan cita-cita kembali bernyala. Namun , orang abnormal itu menghilang , dikala roti dipecahkan dan anggur dituangkan. Keduanya menjadi sadar , orang itu Yesus. Yang terang , disclosure event itu mengubah mereka sehingga mereka pun kembali ke Yerusalem membawa cita-cita Paskah.
Dari delusi ke doa
Kisah pendek Lukas ialah dongeng perihal perjalanan kita , Anda dan saya. Selama ini mungkin tanpa kita sadari , rahasia kita membangun delusi perihal sosok seseorang yang diperlukan sanggup menuntaskan segala persoalan. Seseorang yang kita anggap sebagai Sang Mesias (’dia yang dinantikan’) atau Satrio Piningit , atau lainnya.
Masa Paskah–apa yang dalam liturgi gereja disebut pekan suci , dan dimulai oleh Minggu Palmarum–justru merupakan perjalanan di mana selubung ilusi-ilusi itu dikoyak satu demi satu. Kerumunan orang banyak yang bersorak-sorai melambaikan daun palma dan menyambut masuknya Yesus ke Yerusalem ialah mereka yang tiga-empat hari kemudian berteriak untuk menyalibkannya.
Bahkan , pada lingkar paling dalam , para murid Yesus sendiri satu demi satu ditelanjangi ilusinya. Ada yang mengkhianati dan menjual Yesus , ada yang bersumpah setia tetapi justru menyangkalinya di final , dan ada yang melarikan diri tetapi jadinya kembali dengan cita-cita baru.
Pada setiap bencana itu , dengan triknya sendiri-sendiri , Alkitab melukiskan disclosure event yang mengubah kehidupan. Setiap orang pada jadinya ditantang melucuti ilusi-ilusi yang dibangun , kemudian mengambil tanggung jawab sebagai pribadi.
Di situ , meminjam istilah Henri Nouwen , delusi diubah menjadi doa. Bahkan , Yesus pun harus mengalaminya , tetapi kemudian menyadari apa yang harus ia tanggung: ”Bukan kehendakku (yang ilusif itu , Pen) , tetapi kehendak-Mu yang jadi.”
Itulah Paskah. Pengalaman disclosure event yang melucuti selubung ilusi-ilusi kita , yakni keterarahan pada diri sendiri , dan mengubahnya jadi doa: kepasrahan untuk meniti jalan Sang Mesias , walau harus menderita.
Selamat Paskah.
Trisno S Sutanto , Koordinator Penelitian , Biro Penelitian dan Komunikasi (Litkom) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Membuka Selubung Ilusi"