Acep Iwan Saidi
SECARA etimologis , kata bunyi berasal dari bahasa Sanskerta , swara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , bunyi diartikan sebagai bunyi yang keluar dari lisan insan , hewan , perkakas , dan sebagainya.
Di samping itu , bunyi sanggup bersifat filosofis. John Cage , seorang musisi kontemporer , menyebut keheningan sebagai musik , sebagai suara. Jauh sebelum Cage , insan sebetulnya sudah meyakini adanya sebuah bunyi lain yang subtil di dalam diri , yakni bunyi hati , bunyi sunyi.
Mengacu kepada semiotika Charles Sanders Peirce (dalam T L Short , 2007) , bunyi sanggup disebut tanda yang mengirim pesan tertentu. Setrik spesifik , di sini bunyi sanggup terkategori sebagai indeks , yakni tanda yang menunjuk pada referen tertentu.
Pintu yang dibanting , contohnya , sanggup merupakan indeks kemarahan seseorang yang membantingnya. Berdasarkan taksonominya , mula-mula bunyi pintu yang dibanting dengan pesan demikian disebut qualisign , yakni tanda pada tahap dugaan (belum terwujud). Saat didekati , ketika terlihat seorang pria muncul dengan wajah ketus dari balik pintu tadi , kemarahan sebagai pesan tanda jadi sinsign (peristiwa sebagai proses mewujudkan). Terakhir , dikala kita masuk ke dalam ruangan , mendapati seorang wanita menangis , dan menyampaikan ia gres saja bertengkar dengan suaminya , bunyi pintu dibanting sebagai tanda kemarahan menjadi legisign (terwujud , definitif).
Sejarah suara
Usia bunyi sebagai tanda sudah sangat renta , semenjak insan pertama diciptakan. Mekanisme pengenalan dunia yang diajarkan Tuhan kepada Adam bukankah juga melalui suara. Adam mengeja benda-benda yang diperlihatkan Tuhan kepadanya.
Firman Tuhan itu sendiri pada mulanya yaitu suara. Jibril tak membawa wahyu Tuhan kepada Muhammad dalam bentuk tertulis (kitab) , tetapi dengan bunyi (lisan) meski isi pesannya perintah untuk membaca.
Walter J Ong , dalam Orality and Literacy (1982) , menjelaskan , sebelum mengenal goresan pena , yakni ketika masih dalam tradisi lisan primer , insan hidup dalam suara. Jika kepada insan lisan primer disampaikan kata politik , contohnya , tidak bakal pernah muncul dalam imajinasi mereka rangkaian karakter p-o-l-i-t-i-k. Yang bakal mereka bayangkan yaitu sikap insan yang sering dengan segala trik merebut kekuasaan—jika fenomena politiknya menyerupai di Indonesia. Politik yaitu medan liar bagi mata pencaharian.
Dengan kata lain , bagi masyarakat lisan primer , bunyi yaitu fenomena atau insiden itu sendiri. Suara yaitu energi kehidupan.
Khusus dalam bidang politik , bunyi sebagai energi sedemikian kasatmata , masih terus bertahan hingga kini. Demokrasi , yang mendalilkan rakyat sebagai rohnya , sebetulnya bukan rakyat dalam pengertian ’tubuh yang berjiwa’ , melainkan sebagai bahasa. Dengan kata lain , yang diambil dari ”tubuh rakyat” yaitu bahasanya , suaranya. Putusan simpulan demokrasi yaitu bunyi terbanyak.
Karena itu , yang diperebutkan dalam demokrasi yaitu suara. Siapa menerima bunyi terbanyak dari rakyat , dialah pemenangnya. Kekuatan bunyi dalam demokrasi yaitu jumlah (kuantitas). Ia tidak ditentukan oleh sumber (subyek) pemberi bunyi (kualitas). Kalkulasi bunyi terbanyak rakyat sedemikian lantas dimistifikasi—jika tidak mau disebut dipolitisasi—sebagai bunyi Tuhan (vox populi vox dei). Mistifikasi ini kemudian berlanjut pada pendefinisian partai politik sebagai representasi rakyat. Tak pelak bunyi partai politik dianggap sebagai bunyi Tuhan.
Kini kita sedang masuk dalam siklus lima tahunan perebutan bunyi setrik eksplisit , yakni kampanye pemilu. Sebagai kompetisi perebutan bunyi , kampanye selalu identik kegaduhan. Karena intinya rakyat tak suka situasi ini , perjuangan meredam kampanye pun dilakukan , antara lain dengan hukum pembatasan waktu , ruang , dan penjadwalan untuk setiap kontestan.
Selain itu , melalui bahasa , yakni dengan banyak sekali penamaan , menyerupai kampanye hening , kampanye berintegritas , dan kampanye berkualitas. Namun , sebab obyek kampanye yaitu bunyi , kebisingan dus keliaran tidak pernah terhindarkan. Inilah pesta demokrasi: pesta suara.
Matinya suara
Lantas , kapan bunyi itu mereda? Dalam sejarah peradaban insan , bunyi mulai mengendur ketika insan mulai mengenal tulisan. Apa yang diproduksi lisan berpindah ke tangan dan alat tulis. Pemindahan ini juga diajarkan di forum pendidikan. Di SD , pelajaran menulis dibarengi fatwa membaca dalam hati. Kelas dilarang bising. Siswa harus fokus urusan masing-masing. Suara kelompok (kelas) diredam atau teredam jadi bunyi individu. Tidak ada kepentingan kelompok , yang tersisa yaitu kepentingan individu.
Sejarah itu kiranya berbanding lurus dengan alur silsilah bunyi dalam demokrasi kita. Suara rakyat hilang ketika telah dikalkulasi di atas kertas. Hal ini dimulai ketika rakyat mencoblos gambar di kawasan pemilihan suara. Sejatinya pemilu yaitu proses mengakibatkan bunyi rakyat jadi bunyi Tuhan. Namun , sesudah pemilu dan kalkulasi bunyi selesai dilaksanakan , terjadi pembalikan alur. Suara rakyat yang telah dijumlahkan sehingga jadi bunyi Tuhan itu justru mencair jadi bunyi partai sebagai institusi , bahkan tidak jarang menjadi bunyi individu di dalam partai.
Jika sudah begitu—dan kita bersaksi sejauh ini memang selalu begitu—rakyat dan Tuhan hanya bakal diposisikan menjadi penonton yang berada di luar panggung. Sebagai penonton , rakyat dan Tuhan hanyalah pemilik bunyi , yang berteriak-teriak , yang bising , yang sebab itu tidak perlu didengar.
Tentu ke depan hal demikian dilarang lagi terjadi. Karena itu , kita harus mengawal bunyi yang bakal diberikan pada 9 April nanti , minimal hingga lima tahun berikutnya. Jangan hingga subyek rakyat lenyap sempurna ketika ia menyelinap ke bilik suara. Jangan hingga pemilu kali ini kembali menjadi ajang penghilangan bunyi , menjadi pesta perpisahan dengan rakyat dan Tuhan!
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan , ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Suara"