Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Jabatan Negara Dan Jabatan Politik

Miftah Thoha

TIGA jabatan ini (jabatan karier birokrasi , jabatan negara , jabatan politik) di dalam sistem manajemen negara kita semenjak periode reformasi tidak pernah diklarifikasikan setrik tuntas. Oleh alasannya yakni itu , tata hubungan di antara ketiganya tidak jelas. Pemimpin partai politik yang dipilih rakyat atau ditunjuk oleh yang terpilih menjadi pejabat negara tak terang seberapa jauh hubungannya dengan partai politiknya. Apalagi terkait seberapa jauh pula hubungannya dengan penggunaan fasilitas negara , termasuk anggaran dan pegawainya yang menyertai jabatan itu.

Diagarkan mengambang

Formulasi tata hubungan ini hingga ketika ini diagarkan mengambang tanpa kejelasan. Bahkan , dicari alasan pembenarannya kalau pejabat negara itu menggunakan fasilitas negara. Lebih-lebih kalau jabatan negara itu dijabat oleh presiden (kepala negara/kepala pemerintahan) yang merangkap pimpinan partai politik yang sedang kampanye untuk partai yang ia pimpin.

Di zaman pemerintahan Orde Baru , hanya dikenal dua macam jabatan , yakni jabatan negara , pejabatnya disebut pejabat negara , dan jabatan karier birokrasi , pejabatnya disebut PNS atau pejabat eselon. Sebenarnya jabatan politik sudah ada dalam pemerintahan Orde Baru alasannya yakni waktu itu sudah ada dua partai politik dan satu golongan. Namun , Presiden Soeharto tidak suka di dalam pemerintahannya dibantu partai politik dan yang membantu pemerintahannya yakni kekuatan politik yang disebut golongan kekaryaan (Golkar). Maka , semua jabatan politik yang diduduki Golongan Karya ini dinamakan pejabat negara. Jabatan rangkap menyerupai ini disamarkan semenjak Orde Baru.

Di dalam literatur ilmu politik disebutkan , parpol merupakan suatu organisasi sosial yang distingtif yang tujuan utamanya yakni menempatkan calon-calon pemimpinnya pada jabatan pemerintahan. Syarat minimal dari suatu partai—dilihat dari aspek peranan politiknya—adalah merancang calon-calon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam pemerintahan dan yang kedua mendulang bunyi yang mendukungnya (Encyclopedia Americana , 1995).

Dari perspektif ini , kehadiran pejabat politik dalam tatanan manajemen pemerintahan tak dapat dihindari. Bahkan , berdasarkan Guy Peters dan Jon Pierre , editor dari buku hasil penelitiannya pada simpulan tahun 1999 , Politicization of the Civil Service , beberapa dasawarsa terakhir ini sektor pemerintahan telah menjadi arena yang dikuasai politisi. Hal ini berarti bahwa para pejabat dan pegawai pemerintahan harus memperlihatkan perhatian yang lebih besar sebagai pelayan-pelayan politik kepada jabatan-jabatan politik yang memimpinnya.

Setelah pejabat politik itu masuk dalam sistem birokrasi pemerintahan , di dalamnya sudah ada sistem yang mapan ,  yang dikenal dengan jabatan-jabatan karier. Mereka (pejabat politik) membawa aspirasi politik berupa visi dan kemauan partainya.

Masuknya aspirasi politik melalui jabatan yang dipegang oleh orang partai dalam sistem pemerintahan demokrasi inilah yang seharusnya ditata sehingga melahirkan tata pemerintahan demokratis yang etis. Pejabat karier ini pejabat yang menjalankan kebijakan yang dibentuk oleh pejabat politik tanpa harus diintervensi kepentingan politik dari pejabat politik tersebut.

Ihwal rangkap jabatan antara jabatan pimpinan parpol dan pejabat negara (pejabat politik) telah usang dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—etika , manajemen , sosial , politik , ekonomi , apalagi tuntunan agama—kurang patut. Selain kurang patut dan etis , rangkap jabatan berpotensi untuk berbuat menyimpang ataupun berkecamuknya konflik kepentingan.

Penggunaan fasilitas negara tak mungkin dapat dihindarkan oleh pejabat tersebut , baik besar maupun kecil , disadari atau tidak , ketika ia beraktivitas. Seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa , sore hari membuka rapat kerja partainya , bisakah menteri tersebut membedakan tiket dan biaya perjalanan serta kemudahan yang dipergunakan yang didanai negara dan yang didanai partainya? Belum lagi kalau itu pejabat negara yang dijabat oleh presiden yang merangkap ketua umum partai politik sedang kampanye untuk partainya.

Ini gres soal tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya besar , menyerupai menggunakan pesawat yang disewa negara , dijaga keamanannya oleh pengawal kepresidenan , diiringi para tangan kanan , menggunakan hotel yang didanai negara , dan fasilitasnya besar? Bukankah ini kanal penyimpangan yang seharusnya disadari oleh langsung pejabat negara tersebut.

Sistem dari suatu perbuatan yang tidak etis ini seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa reformasi ini. Sebab , tanda-tanda ini sudah usang berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita: semenjak Orde Lama , Orde Baru , dan masih terjadi hingga hari ini.

Sejak sistem demokrasi di periode reformasi diterapkan , kita mulai mengenal jabatan dan pejabat politik. Sebutan jabatan dan pejabat negara memang anggun alasannya yakni semua itu untuk kepentingan negara meski sejatinya ia juga pejabat politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan milik golongan politik yang memerintah.

Tampaknya bencana semacam ini luput dari perhatian pemerintah sehingga rangkap jabatan itu sengaja diagarkan berlarut-larut tanpa penataan hubungannya yang jelas. Banyaknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat politik yang memerintah birokrasi—mulai dari menteri , gubernur , bupati/wali kota , bahkan anggota Dewan—tidak dapat dimungkiri lagi akhir rangkap jabatan itu.

Kejadian menyerupai ini bergotong-royong dapat diakhiri kalau pemerintah jeli memperhatikan masalah ini dan pimpinan partai menyadarinya. Dalam literatur ilmu politik dengan gamblang dijelaskan , kalau pimpinan partai menjadi pejabat negara , maka harus selesai hubungan politik dengan partainya. Kesadaran ini merupakan pengendalian diri untuk membedakan antara milik negara dan milik partai politik.

Jika nanti jabatan negaranya selesai , ia dapat kembali ke jabatan partainya lagi. Semua itu dapat terwujud kalau semua UU , mulai dari UU Partai Politik , UU Pemilu , UU Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah , UU Aparatur Sipil Negara , dan UU Pemerintahan Daerah , menetapkan setrik tegas larangan rangkap jabatan.

Istillah jabatan negara itu sendiri sangat anggun dipertahankan untuk digunakan mengganti istilah jabatan politik. Apalagi UU yang berlaku hingga kini masih menggunakan istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan dalam UU yang ada. Walaupun sejatinya orangnya dapat saja dari partai politik , sehabis menjabat jabatan negara ia tidak ada lagi kaitannya dengan partainya.

Sayangnya , perubahan sistem politik yang terjadi selama pemerintahan reformasi ini tidak cepat direspons oleh pemerintah sekarang. Akibatnya , tatanan birokrasi kita tidak terang mengatur hubungan dan mekanisme kerja yang harus dijalankan mengenai jabatan politik , jabatan negara , dan jabatan karier birokrasi pemerintah.

Jabatan karier

Selain rangkap jabatan , penjelasan jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah harus jelas. Benarkah panglima Tentara Nasional Indonesia , kepala kepolisian republik indonesia , jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakan oleh dewan perwakilan rakyat sebagai forum politik?

Menurut kelaziman di dalam negara demokrasi , panglima Tentara Nasional Indonesia yakni jabatan karier di bidang militer. Demikian pula kepala kepolisian republik indonesia yakni jabatan karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier menyerupai sebutan untuk PNS. Perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena politik yang setrik melembaga diwakili oleh DPR. Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah , yakni presiden , bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundangan atau politik.

Panglima Tentara Nasional Indonesia dan kepala kepolisian republik indonesia yakni pembantu presiden , baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Oleh alasannya yakni itu , seharusnya pengangkatan dan promosinya berada didalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji kelayakannya oleh DPR.

Kedua jabatan ini , baik panglima Tentara Nasional Indonesia maupun kepala kepolisian republik indonesia , sama dengan jabatan karier: dibatasi dengan usia pensiun , kalau telah hingga umur pensiun diganti. Justru yang seharusnya diuji kelayakan oleh dewan perwakilan rakyat yakni pejabat politik menyerupai para menteri. Sebelum dilantik oleh presiden , mereka dimintakan persetujuan politik oleh dewan perwakilan rakyat menyerupai halnya di negara-negara parlementer.

Jabatan politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun , kecuali ada UU yang mengatur batasan usia pensiunnya. Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan , tetapi dapat dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk membuat tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Sekarang semua itu telah luput dari perhatian reformasi. Kaprikornus , kita tunggu apakah pemerintah gres nanti memerhatikan kejanggalan atau anomali menyerupai ini atau tidak.

Miftah Thoha , Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jabatan Negara Dan Jabatan Politik"

Total Pageviews