Rene L Pattiradjawane
Belum pernah sejarah hubungan internasional di daerah Asia menjadi sangat tegang , bergema riuh rendah dalam ”perang diplomasi” semenjak dimulainya Perang Dingin ibarat pada dekade 1950-an. Menghadapi ”Abad Asia” , semua negara-bangsa berebut dampak , menekan bahaya yang dihadapi negara-negara Asia ke titik konflik terbuka melalui wilayah-wilayah klaim tumpang tindih kedaulatan.
Sejumlah negara mulai memaksakan perubahan situasi geopolitik , menghadapi ”kebangkitan Tiongkok” sebagai bahaya yang berpotensi mengganggu kesinambungan stabilitas dan perdamaian kawasan. Perubahan geopolitik daerah Asia , termasuk Asia Tenggara , menjadi berubah dikala banyak negara , terutama Amerika Serikat menjelang kunjungan Presiden Barack Obama , melihat sikap Beijing sebagai kuat terhadap ”destabilisasi” kawasan.
Ini dilihat oleh Tokyo , Manila , dan Canberra dikala Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengadakan kunjungan bilateral ke Jepang. Walaupun Abbott dan PM Jepang Shinzo Abe tidak setrik khusus mengacu pada perubahan sikap diplomasi megafon yang dilakukan Beijing akhir-akhir ini , kesepakatan peningkatan pertahanan yang dicapai keduanya berpotensi mengubah struktur geopolitik daerah Asia.
Yang mengejutkan dari kunjungan Abbott di Tokyo yaitu kesediaan Jepang untuk mengurangi beberapa tarif produk pertanian yang selama ini dilindungi setrik ketat oleh siapa pun yang memerintah di Tokyo. Untuk pertama kalinya , muncul dalam perjanjian perdagangan bebas Australia-Jepang pekan kemudian , Abe setuju mengurangi tarif daging beku menjadi 19 ,5 persen dari 38 ,5 persen dan tarif daging mentah menjadi 23 persen dari 38 ,5 persen untuk waktu 15 tahun mendatang.
Sebaliknya , dari kesepakatan ini , Abbott oke menghilangkan tarif otomotif asal Jepang. Sampai kini tak ada yang mengetahui apa yang mendorong perubahan sikap Jepang , yang selama ini bersikeras tak membuka pasaran pertanian mereka. Ada spekulasi bahwa kesepakatan Australia-Jepang bakal menjadi pintu percobaan mendorong Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) buatan AS yang tak melibatkan Tiongkok , yang terbentur proteksi dalam negeri Jepang yang sangat ketat.
Rentankan ASEAN
Tidak hanya persaingan dalam wujud perlombaan senjata antarnegara Asia yang kuat pada negara-negara anggota ASEAN. Persaingan ekonomi juga bakal berdampak luas , termasuk pada Indonesia.
Persoalan yang kita hadapi kini yaitu , apakah ”kebangkitan Tiongkok” memang sebagai bahaya bagi Asia dan berpotensi menimbulkan terjadinya destabilisasi daerah , yang menikmati stabilitas keamanan dan perdamaian selama kurun 30 tahun terakhir ini?
Pertanyaan ini memiliki konsekuensi panjang , setidaknya dalam dua hal. Pertama , daerah Asia—dengan peradaban panjang , kemampuan menawarkan kepiawaian membangun kekuatan ekonomi , dan memiliki ketahanan menghadapi rentannya sistem ekonomi globalisasi yang terguncang oleh krisis keuangan AS dan krisis euro—bakal terseret dalam kancah geopolitik ala Perang Dingin melalui perlombaan senjata negara-negara Asia.
Kedua , politik poros AS sebagai perimbangan ulang mempertahankan kepentingan pada dasarnya di Asia tidak bisa mencapai momentum dan proteksi memadai (khususnya dari ASEAN). AS mulai menjalankan seni administrasi merentankan kohesi kolaborasi Asia di banyak sekali bidang akhir merosotnya kemampuan geopolitik AS mengimbangi politik global Rusia atas Suriah dan Crimea , dan berpotensi menjadi preseden di Asia melalui ”kebangkitan Tiongkok”.
Ini tidak hanya terwujud dalam perlombaan senjata yang terjadi beberapa tahun terakhir ini , tetapi juga dalam bentuk positif banyak sekali perjanjian kolaborasi penempatan pasukan Marinir AS (seperti di Darwin , Australia) , atau penyediaan akomodasi militer dengan Filipina memperluas cakupan ”wilayah perang” AS di sisi timur Asia.
Melalui sisi bahaya militer , seakan-bakal potensi konflik bakal terjadi pada perebutan klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Timur dan Laut Selatan , dari Kepulauan Diaoyu (Senkaku) ke Kepulauan Spratly dan Paracel. Di sisi ekonomi , para perancang seni administrasi Jepang di tengah upaya ke luar dari sifat pasifis , kehilangan iktikad kohesi dan ketahanan ekonomi Asia , ibarat tecermin dalam prosedur ASEAN+3 (Tiongkok , Jepang , dan Korea Selatan).
Abad Asia
Harus dipahami bahwa perlombaan senjata di negara-negara Asia dipicu oleh AS sendiri melalui ”kebijakan pivot” sebagai pengejawantahan seni administrasi global AS yang hanya mengenal kebijakan ”memperkuat aliansi”. Ini yang mendorong Abe membuka interpretasi ulang konstitusi pasifis Jepang semoga bisa memainkan tugas ”pertahanan kolektif”.
Ini juga yang mendorong Presiden Filipina Benigno Aquino III mengikat perjanjian kolaborasi pertahanan ”on-demand access” ke bekas pangkalan angkatan bahari Subic dan pangkalan udara Clark untuk memperoleh perangkat militer AS. Hal ini dengan mengabaikan kemungkinan perlunya bekas kedua pangkalan itu diawaki militer AS.
Hal sama terjadi di bidang ekonomi , ibarat persaingan antara TPP dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) buatan ASEAN , mengacu pemecahbelahan kekuatan ekonomi kawasan. Termasuk juga gagasan Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi (ECFA) tahun 2010 antara Tiongkok dan Taiwan , yang membuka peluang luas dalam perdagangan jasa , dan bakal mendorong perubahan dalam ”kebijakan satu Tiongkok” banyak negara Asia.
Sejak usang , Indonesia tidak percaya pada kekuatan hegemoni daerah , militer , maupun ekonomi , dan menjadi dasar pedoman Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa perihal kesetimbangan dinamis dalam reposisi kekuatan-kekuatan negara besar di kawasan. Sejak krisis keuangan Asia 1997 , diyakini Abad Asia menjadi mimpi bersama , menimbulkan ketahanan regional paling solid di tengah ketimpangan dominasi sistem internasional di bidang politik , militer , ekonomi , dan keuangan.
Strategi perdamaian dan stabilitas Asia bakal selamanya ditentukan oleh negara-bangsa Asia , bukan melalui persaingan Tiongkok-AS yang mengarah pada blok aliansi yang merentankan ketahanan regional setrik menyeluruh. Dan , perspektif seni administrasi kita bakal selalu dibuat mengikuti dinamika keseimbangan banyak sekali kekuatan di dalam dan luar daerah Asia.
Ini yaitu inti Abad Asia dikala Asianisasi bisa menghadirkan kekuatan kolaborasi intra-Asia memperkuat globalisasi masa ke-21. Tatanan dunia gres Abad Asia ini dirumuskan dalam banyak sekali faktor oleh banyak sekali negara. Mulai dari pertumbuhan regional yang dinamis , kehadiran kelas menengah di daerah , demokratisasi setrik sedikit demi sedikit , regionalisme terbuka , percaya diri , sampai optimisme yang sehat mendukung ketahanan Asia.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Asianisasi Menuju Tata Dunia Baru"