Gustav F Papanek
Dengan angkatan kerja pada 2013 yang berjumlah 118 juta , penciptaan 70 juta lapangan kerja gres yang bermutu ialah sasaran yang ambisius. Pada 2013 sudah ada 45 juta lapangan pekerjaan formal di bidang manufaktur , konstruksi , dan sebagainya (M Purnagunawan , 2013). Lapangan pekerjaan di bidang-bidang tersebut tentu saja sanggup dianggap sebagai pekerjaan bermutu.
Beberapa pekerjaan yang tergolong informal juga pada umumnya sanggup dianggap bermutu , antara lain mahir komputer , pelukis ternama , dan konsultan mandiri. Mereka semua termasuk aktivitas ekonomi informal.
Memindahkan 70 juta pekerja sisanya dari sektor tidak formal bukanlah sasaran yang realistis dalam 5-10 tahun ke depan , sesuai sasaran waktu yang saya tentukan dalam kertas kerja saya.
Kebutuhan yang mendesak dalam pandangan saya ialah 15 juta lapangan kerja bermutu dalam lima tahun ke depan bagi pekerja berlebih (surplus worker) yang produktivitas dan pendapatannya sangat rendah dan yang penghasilannya tidak pasti. Pekerja berlebih meliputi:
Pertama , 6-8 juta pekerja di pertanian. Dari periode 1989/1991 sampai 1995/1997 jumlah pekerja di sektor pertanian turun sebesar 5 juta lantaran mereka menemukan pekerjaan yang lebih baik di bidang manufaktur dan sektor lainnya. Tetapi , lantaran krisis moneter 1997 , alih-alih mengurangi , sektor pertanian justru menambah pekerja. Para pekerja ini menjadi pekerja berlebih bagi pertanian , turut serta dalam ”pembagian kerja dan pendapatan” lantaran mereka tidak sanggup menemukan pekerjaan yang lebih baik.
Kedua , komplemen pengangguran semenjak tahun 1997 sebesar 1-3 juta.
Ketiga , tenaga kerja berlebih dalam pemerintahan , perdagangan , dan jasa setrik berangasan sanggup diperkirakan berjumlah 2 ,5 juta. Ada banyak bukti kasus yang menyampaikan adanya kelebihan tenaga kerja dalam pemerintahan. Dengan berakhirnya lonjakan harga-harga komoditas (commodity boom) jumlah pekerja jasa informal meningkat sebesar 2 ,6 juta. Sebagian besar peningkatan tersebut kemungkinan akhir dari perembesan tenaga kerja berlebih pada kegiatan-kegiatan yang sanggup diramaikan oleh pekerja tambahan.
Keempat , para pekerja migran diperkirakan telah meningkat sebesar 3-5 juta semenjak tahun 1997. Banyak yang mungkin menentukan pekerjaan manufaktur di Indonesia daripada menjadi pekerja rumah tangga atau pekerjaan buruh konstruksi di luar negeri.
Pertumbuhan dan lapangan kerja
Apakah kita perlu pertumbuhan untuk membuat lapangan kerja?
Gagasan Profesor Yustika ialah bahwa ”bukannya meningkatkan kesejahteraan , pertumbuhan justru membuat banyak penyakit sosio-ekonomi kronis”. Dalam pandangannya , penciptaan lapangan kerja itu baik , tetapi pertumbuhan itu buruk. Memiliki pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja di beberapa industri itu dimungkinkan kalau pertumbuhan ialah semata-mata untuk peningkatan harga-harga atau berupa pertumbuhan padat modal dan sumber daya.
Dari ketiga alasan tersebut , ternyata pertumbuhan selama boom komoditas hanya membuat sedikit lapangan kerja. Jumlah lapangan kerja yang terbatas selama periode ini disebabkan oleh sumber pertumbuhan , bukan lantaran pertumbuhan itu jelek bagi lapangan kerja segimana disiratkan oleh Profesor Yustika. Pertumbuhan di Tiongkok menghasilkan begitu banyak komplemen lapangan kerja sampai sejumlah pemberi kerja ketika ini tidak sanggup mengisi semua kekosongan pekerjaan.
Tidak mungkin membuat 15 juta pekerjaan bermutu dengan pertumbuhan yang rendah. Perkiraan saya ialah bahwa peningkatan lapangan kerja di bidang manufaktur sebesar 11 ,2 juta setrik eksklusif dan tidak eksklusif bakal meningkatkan pendapatan nasional sebesar 11 persen selama lima tahun.
Jadi pertumbuhan dan lapangan kerja berjalan beriringan (dan tidak saling bertolak belakang).
Lapangan kerja , investasi , dan disparitas pendapatan
Penekanan dalam penelitian saya ialah pada pertumbuhan padat karya. Tujuannya ialah untuk membuat undangan tenaga kerja dan terutama undangan untuk tenaga kerja tidak terampil dan semi-terampil , yaitu undangan untuk tenaga kerja bagi 40 persen masyarakat termiskin.
Saat ini pemberi kerja di Indonesia membutuhkan 0 ,8 juta tenaga kerja per tahun , tetapi jumlah angkatan kerja mencapai 2 juta. Ketika undangan meningkat kurang dari pasokan , harga tenaga kerja , yaitu upah , biasanya turun. Itulah mengapa upah riil pekerja pertanian turun.
Upah untuk pekerja industri , didorong oleh upah minimum dan tekanan serikat pekerja , meningkat. Namun , dari 1997-2013 peningkatan rata-rata tersebut hanya 2 ,4 persen per tahun lantaran ”pasokan cadangan pengangguran” yang siap untuk mengambil posisi para pekerja menekan upah turun.
Jadi , tujuan kita ialah mendorong undangan kerja meningkat lebih cepat dari pasokan sehingga upah juga meningkat lebih cepat. Dengan demikian bakal lebih banyak anggota keluarga memiliki pekerjaan bermutu dan daya tawar pekerja pun bakal meningkat.
Pertumbuhan yang mendorong penciptaan lapangan kerja ialah pertumbuhan yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih adil.
Gustav F Papanek , Bekerja di Fakultas Ekonomi Universitas Harvard Selama 21 Tahun dan Universitas Boston Selama 18 Tahun; Mulai Berkiprah di Bidang Ekonomi Indonesia Tahun 1962 , Sebagian Besar sebagai Penasihat Lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Lapangan Kerja Dan Pertumbuhan"