Ikrar Nusa Bhakti
”Jika rakyat pergi. Ketika penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa/Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik bisik. Ketika membitrikkan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan berguru mendengar/ Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran niscaya terancam/ Apabila ajakan ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik tidak boleh tanpa alasan. Dituduh subversi dan menggangu keamanan. Maka hanya satu kata : LAWAN! (Solo: 1986)
Puisi karya Wiji Thukul berjudul ”Peringatan” itu begitu memukau para pengunjung ketika dibacakan oleh Sosiawan Leak , penyair asal Solo , pada pembukaan ASEAN Literary Festival di Taman Ismail Marzuki , Jakarta , 21 Maret 2014.
Wiji Thukul , penyair dan pencetus sosial , yaitu satu dari belasan pencetus pro demokrasi yang diculik oleh oknum-oknum ”Tim Mawar” dari satuan khusus militer pada 1997/1998. Meski balasannya komandan satuan khusus itu diberhentikan dari ketentaraan lewat putusan Dewan Kehormatan Perwira , tetapi hingga sekarang nasib belasan pencetus pro demokrasi itu belum diketahui rimbanya. Inilah salah satu sejarah kelam rezim Orde Baru , selain pembunuhan , penghilangan paksa , dan pemenjaraan orang tanpa pengadilan.
Kini , Partai Golkar berkampanye bahwa kurun Soeharto yaitu ”Zaman Normal”: harga-harga murah , stabilitas politik terjaga , dan politik amat hening tanpa kegaduhan. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) tak aib ataupun takut untuk mengutip slogan di banyak sekali kaus bergambar Soeharto: ”Piye kabare? Luwih penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya , lebih yummy zamanku , kan?). Kampanye politik semacam ini memang hak politik Partai Golkar walau sungguh menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsa alasannya yaitu tidak menggambarkan kondisi pada kurun Orde Baru setrik utuh.
Padahal , pada awal reformasi , Golkar di bawah Akbar Tandjung berupaya menarik garis dengan Orde Baru melalui slogan ”Golkar Baru” semoga Golkar tetap eksis di kurun reformasi. Zaman memang sudah berubah semenjak jatuhnya rezim Soeharto , 16 tahun lalu. Mereka yang dulu bab dari rezim sekarang tak takut unjuk gigi alasannya yaitu ketika ini memang masa simpulan yang tersedia bagi mereka untuk meraih kejayaan kembali.
Kampanye hitam
Kampanye pada Pemilu 2014 juga penuh dengan kampanye hitam untuk menghancurkan nama baik orang dan/ atau partai yang bakal berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Salah seorang yang terkena kampanye hitam tersebut yaitu ARB , bakal capres dari Partai Golkar. Entah dari mana asalnya , sekarang beredar video dan foto-foto ARB dan dua abang beradik (artis) ketika mereka berlibur ke Maladewa. Di negara mirip Inggris dan AS , problem yang masuk kategori privat bisa menjadi urusan publik. Namun , di Australia , kalau penulis tidak salah , ada pemisahan antara kehidupan pribadi seseorang dan atrik politiknya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak luput dari kampanye hitam yang menggambarkan foto mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq , di depannya ada foto gadis berpakaian amat tak seronok dan di belakangnya ada foto sapi. Ini terkait dengan kasus korupsi sapi impor asal Australia yang sempat menggemparkan politik Indonesia pada 2013. Prabowo Subianto juga mendapat serangan andal dari para pedagang asongan yang berjualan di Gelora Bung Karno (GBK) alasannya yaitu mereka , katanya , dijanjikan dibayar lunas makanan dan minumannya ketika Partai Gerindra berkampanye di GBK pada 23 Maret 2014. Ternyata , kata para pedagang asongan , mereka hanya dibayar Rp 100.000 dan rugi besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga , katanya , mendapat kampanye hitam dari Anas Urbaningrum.
Bakal calon presiden dari PDI-P , Joko Widodo (Jokowi) , yaitu orang yang paling banyak mendapat serangan dari kampanye hitam yang berlangsung selama ini. Badannya yang kerempeng dan wajahnya yang terbelakang (orang desa) mengakibatkan salah seorang tokoh PKS menyebutnya orang yang tidak memiliki tampang untuk menjadi presiden. Ada juga kampanye negatif yang menyebutkan Jokowi didukung oleh kelompok agama minoritas dan ras minoritas , suatu kampanye yang bukan saja tidak bermartabat , melainkan juga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa Indonesia merdeka , yang dibangun oleh para pendiri bangsa , bukan negara agama atau negara suku/ras , melainkan negara kebangsaan.
Satu hal yang menarik , kalau semasa awal menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi menyerupai media darling , semenjak Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDI-P pada 14 Maret 2014 , sepertinya jadi media enemy dari jaringan media pers milik para tokoh politik yang juga bakal maju sebagai capres atau cawapres atau yang partai barunya berupaya masuk parlemen. Bahkan , ada televisi yang mengampanyekan Jokowi sebagai public enemy (musuh publik) tanpa menjelaskan publik yang mana di Jakarta yang memusuhinya dan apakah yang mengatasnamakan publik itu benar-benar mewakili warga Jakarta.
Ada juga seorang ilmuwan politik yang menyebut Jokowi ”kutu loncat” alasannya yaitu berpindah-pindah dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta , dan sekarang jadi capres dari PDI-P , tanpa menuntaskan masa tugasnya. ”Kutu loncat” dalam terminologi politik yaitu politisi yang berpindah-pindah partai dan ideologi atau berpindah kawasan dari oposisi ke pemerintah dan sebaliknya. Pengamat ini tak menjelaskan bahwa Ahmad Heryawan juga tidak menuntaskan tugasnya sebagai pimpinan DPRD di DKI Jakarta ketika ia maju sebagai cagub Jawa Barat. Irwan Prayitno juga meninggalkan posisinya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat ketika ia maju pertama kali sebagai calon gubernur Sumatera Barat. Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin juga hanya cuti dan tidak mundur dari jabatannya ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta pada 2012 dari Golkar.
Ada juga pengamat yang mengibaratkan Jokowi belum menuntaskan kuliah tetapi sudah bakal mengambil titel kesarjanaan yang lebih tinggi. Pengamat ini lupa bahwa sistem di sekolah negeri atau swasta di Indonesia , seorang murid yang kepandaiannya istimewa bisa naik kelas tanpa harus menuntaskan sekolah hingga simpulan tahun. Seorang mahasiswa atrik master by research di Australia bisa dinaikkan (upgrade) ke atrik doktor kalau tawaran penelitiannya sangat baik. Namun , juga bisa diturunkan (downgrade) dari atrik doktor ke master atau dari master ke diploma sarjana kalau ia dianggap tak bisa menuntaskan kuliahnya.
Kampanye bermartabat
Sudah 16 tahun kita menikmati kurun demokrasi dan 10 tahun memiliki presiden yang dipilih setrik langsung. Pada masa ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah naik kelas dari transisi demokrasi ke konsolidasi demokrasi atau bahkan ke kedewasaan demokrasi. Pada Pemilu 2014 ini pula seharusnya kampanye-kampanye politiknya benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermartabat.
Bentuk-bentuk kampanye negatif seharusnya sudah digantikan dengan kampanye yang berkelahi program. Kita juga tak perlu menghina kalau ada seorang yang berwajah desa dan tidak memiliki presidential look maju sebagai calon presiden. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi capres atau terpilih sebagai Presiden RI. Itulah esensi yang hakiki dari demokrasi.
Ikrar Nusa Bhakti , Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kampanye Yang Mencerdaskan"