W Riawan Tjandra
Menurut MK , dalam satu butir pertimbangan putusan tersebut , penyelenggaraan pilpres harus menghindari terjadinya perundingan dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat. Hal itu dinilai tidak bisa menjadi sarana transformasi perubahan sosial. Selain itu , berkaca pada Pemilu 2004 dan 2009 , pilpres yang dilaksanakan sehabis pemilu legislatif tidak bisa menawarkan penguatan atas sistem presidensialisme yang diamanatkan konstitusi.
Namun , sayangnya , sifat putusan MK mengenai UU Pilpres tersebut bersifat inkonstitusional bersyarat , yang pelaksanaannya harus menunggu 2019. Dengan dualisme nilai (in)konstitusionalitas putusan MK atas UU Pilpres tersebut , tentu kembali membuka ruang bagi partai pemenang pemilu yang tak berhasil memenuhi ambang batas pencalonan capres dalam UU Pilpres untuk melaksanakan koalisi antarpartai. Hal ini terutama dalam pencalonan pasangan capres semoga syarat ambang batas pencalonan terpenuhi , tetapi dengan segala konsekuensi politiknya.
Kartel politik
Meski konstitusionalitas hasil pilpres dijamin oleh putusan MK No 14/PUU-XII/2013 , praktik ketatanegaraan tak bisa beranjak untuk mempertegas aksara presidensialisme sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Negosiasi dan kompromi dalam proses koalisi antarpartai dalam pencalonan capres dikhawatirkan bakal tetap ”memasung” presiden terpilih. Yang niscaya bakal membuat kalkulasi-kalkulasi politik semenjak pembentukan kabinet hingga pada implementasi program-program kerja kabinet sehabis terpilih.
Apalagi sistem kepartaian di negeri ini selama satu dekade ini justru cenderung menunjukkan dianutnya kartel politik. Akibatnya , peran fraksi-fraksi di dewan perwakilan rakyat cenderung menunjukkan peta politik yang mencerminkan teladan kartel politik tersebut. Alhasil , presiden balasannya harus banyak berlapang dada untuk melaksanakan sederet kompromi dan perundingan politik dikala harus melaksanakan kegiatan kerja kabinet.
Di sisi lain , praktik ketatanegaraan semacam itu sejatinya justru mencabut representativitas parlemen dari akar konstituensinya dan menggeser dingklik para wakil rakyat tersebut menjadi dingklik (kepentingan) partai. Tesis kartel tersebut jadi sarana untuk menjelaskan inkonsistensi peta persaingan yang berlangsung semenjak dari arena pemilihan hingga arena legislatif di negeri ini.
Tanpa ada keberanian dari partai pemenang pemilu legislatif untuk melaksanakan terobosan dalam menyikapi peta persaingan pencalonan capres kali ini , gotong royong teladan kebuntuan praktik ketatanegaraan dalam presidensialisme multipartai yang terjadi dalam dua pemilu sebelumnya bisa berulang kembali. Akibatnya , impian publik yang sangat besar untuk terjadinya perubahan melalui pileg dan pilpres kali ini pun bisa kandas.
Kompromi politik yang dibangun dalam praktik ketatanegaraan , yang cenderung mencerminkan aksara semi presidensialisme , tak urung membuka pintu lebar untuk terjadinya kongkalikong kepentingan antarpartai. Di titik inilah gotong royong hasil pemilu , baik legislatif maupun presiden , dipertanyakan kesahihannya setrik substantif untuk sungguh-sungguh bisa berpihak pada kepentingan rakyat pemilih. Harapan publik yang sangat besar terhadap hasil pilpres jangan hingga kembali pudar sebab pemilu hanya melahirkan pemimpin yang menjadi tawanan (kepentingan) partai.
W Riawan Tjandra , Pengajar Bidang Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tantangan Presidensialisme Multipartai"