Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Bangkitnya Kapitalisme Negara

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

PENGHITUNGAN  suara Pemilu Legislatif 2014 memang belum usai. Akan tetapi , dari aneka macam hitung cepat dan aneka macam pertemuan politik yang mulai marak sepekan terakhir , banyak yang memprediksi kontestan Pilpres 2014 bakal mengerucut ke tiga partai dengan jumlah bunyi paling signifikan: PDI-P , Golkar , dan Gerindra.

Beberapa pembitrikan soal koalisi sudah mengerucut pada capres PDI-P , Joko Widodo (Jokowi) , dan capres Gerindra , Prabowo Subianto. Dua hal menarik dari peta ini. Pertama , menguatnya retorika nasionalisme dengan aneka macam verbal politik. Retorika nasionalis ini sanggup dilacak pada jargon ”Indonesia Hebat” ala PDI-P dan ”Ekonomi Kerakyatan” yang dibawa Prabowo.

Ide wacana kedaulatan terutama banyak terlontar dari pernyataan Prabowo (Kompas , 27/3) dan Jokowi (Kompas , 13/4). Gesture dan penampilan keduanya di mata publik juga menyiratkan figur yang merakyat (baju kotak-kotak Jokowi) dan nasionalis (seragam dan peci Prabowo) serta kuatnya wacana nasionalisme yang membentuk identitas politik keduanya. Pertarungan yang menarik.

Kedua , siapa pun yang terpilih , kegiatan ekonomi mereka harus berhadapan dengan tren ekonomi-politik di tingkat global. Rene L Pattiradjawane di Kompas (9/4) mencatat bahwa ada kecenderungan perubahan wacana politik di beberapa negara Asia dengan menguatnya nasionalisme.

Thailand , contohnya , mengalami krisis demokrasi yang membuat sentimen nasionalisme kembali menguat setahun terakhir. Di India , kemunculan kaum ultranasionalis yang percaya pada Model Gujarat juga meref- leksikan adanya impian kembali pada nasionalisme dengan membawa sentimen kerakyatan pada kebijakan publik yang mereka tawarkan.

Hal serupa terjadi di Kamboja , Laos , Myanmar , dan Vietnam yang semenjak awal mengambil halu- an kapitalisme negara ala Tiongkok. Ini semenjak usang sudah terjadi di Malaysia dengan kebijakan pro Melayu.

Peta di Asia Tenggara

Ada semacam nationalist turn dalam politik global. Tentu saja ini tak boleh dilupakan begitu saja. Menguatnya nasionalisme sanggup jadi bakal mengubah peta kolaborasi ekonomi di tingkat regional dan global , terutama di Asia Tenggara.

Setidaknya tiga konsekuensi penting dari menguatnya wacana nasionalisme di negara Asia Tenggara. Pertama , menguatnya tugas negara dalam perekonomian. Kita bakal melihat posisi negara yang kembali sentral dalam mendefinisikan kepentingan nasional dan gimana perekonomian diatur. Ada pergeseran paradigma.

Kedua , bergesernya paradigma kapitalisme yang berbasis ”pasar bebas”—dengan posisi negara sebagai regulator untuk menjaga kepentingan pasar— menjadi lebih terencana. Dengan menguatnya negara , tugas teknokratis dan perencanaan menjadi penting. Semua kepentingan ekonomi bakal dinegosiasikan dengan perencanaan birokratis yang sanggup menyuburkan oligarki dengan sistem lebih tertutup

Ketiga , munculnya ”kapitalisme negara”. Dengan model yang lebih nasionalis dan state-centrist , bukan berarti kapitalisme bakal lenyap. Berkaca pada model ekonomi Tiongkok dan Rusia , ”nasionalisme” justru menyuburkan kapitalisme dengan memindahkan wilayah kerjanya pada basis negara. Semua kepentingan ekonomi bakal bernegosiasi dengan negara dan melestarikan akumulasi kapital yang selama ini jadi denyut nadi kapitalisme.

Dengan demikian , krisis ekonomi global tak serta-merta meruntuhkan kapitalisme setrik keseluruhan. Justru dengan perkembangan politik mutakhir , ada kecenderungan transformasi kapitalisme dari neoliberalisme menjadi kapitalisme negara. Ini makin mempertegas tesis Poulantzas (1972) dan Alavi (1972) bahwa negara intinya punya otonomi relatif terhadap akumulasi kapital.

Munculnya kapitalisme negara ini perlu menerima perhatian serius. Dari tiga partai dengan bunyi terbanyak (PDI-P , Golkar , dan Gerindra) , hampir tak ada yang meng-address pertentangan kapitalisme dalam kegiatan dan visi-misi mereka. Alih-alih bitrik soal kapitalisme , mereka lebih banyak bitrik soal nasionalisasi dan kedaulatan.

Wacana wacana nasionalisasi tanpa dibarengi diskusi kritis wacana kapitalisme global hanya bakal menggiring kita pada perubahan modus akumulasi kapital dari modal absurd menjadi modal pribumi dengan modus eksploitasi dan akumulasi kapital yang tak jauh berbeda. Ini yang kerap dilupakan dalam analisis belakangan ini.

Apa arti kecenderungan menguatnya nasionalisme bagi regionalisme di Asia Tenggara? Kajian Helen Nesadurai (2003) wacana pembentukan AFTA mengingatkan kita bahwa intinya konfigurasi regionalisme ASEAN tak terlepas dari tarik ulur kepentingan di level domestik. Ide wacana Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) pada 2003 dan cetak biru yang menyertainya (2009) tak lepas dari fasilitas negara ASEAN dengan ilham pasar bebas yang memang arus besar pascakrisis Asia.

Rapuh

Maka , proyek ekonomi regional yang cukup ambisius (seperti KEA) bersifat ringkih dan sangat bergantung pada kontestasi di level domestik. Kesepakatan itu bakal sangat bergantung pada apa yang terjadi pada anggotanya. Kita sanggup melihatnya pada desain KEA. Cetak birunya memberi empat pilar ekonomi ASEAN: pasar tunggal dan basis produksi; daerah ekonomi berdaya saing tinggi; daerah dengan pembangunan ekonomi merata; serta daerah terintegrasi penuh dengan ekonomi global.

Dengan munculnya ”kapitalisme negara” , sanggup jadi ASEAN tetap dipertahankan sebab posisinya penting sebagai akumulasi kapital. Namun , interpretasi bakal sangat berbeda. Di bawah kapitalisme negara , sanggup jadi KEA bakal jadi sarana mengukuhkan oligarki yang terbentuk sebab posisi sentral negara mengatur kebijakan ekonominya.

Siapa pun presiden terpilih , kita harus waspada dengan kecenderungan semacam ini. Wacana nasionalis dan pro rakyat sangat menarik hati dalam hiruk-pikuk krisis ekonomi global. Bisa jadi wacana itu didorong untuk mengukuhkan kembali oligarki ekonomi-politik melalui kapitalisme negara. Maka , berhati-hatilah pada koalisi transaksional. Mari menentukan dengan cerdas!

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar; Peneliti ASEAN Studies Center UGM

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bangkitnya Kapitalisme Negara"

Total Pageviews