Trias Kuncahyono
Orang Turki memberi nama Galata Köprüsü atau Jembatan Galata. Jembatan itu membentang di atas Golden Horn , sungai besar adonan antara Sungai Alibeykoy dan Kagithane , yang berbentuk tanduk. Itulah sebabnya disebut ”Golden Horn”. Aliran Golden Horn masuk ke ujung Selat Bosphorus sebelum bertemu dengan Laut Marmara. Hilir pulang kampung bahtera dan kapal melintasi Golden Horn mengingatkan pemandangan serupa di Sungai Nil , Kairo , Mesir.
Jembatan dua tingkat di Istanbul , Turki , ini—tingkat pertama untuk rumah makan dan tingkat kedua untuk jalan raya , dengan tiga jalur kendaraan beroda empat untuk setiap arahnya , satu jalur rel trem , dan di kedua sisinya dibentuk jalan untuk para pejalan kaki—mula pertama dibangun oleh Kaisar Justinianus Agung yang berkuasa pada masa ke-6. Jembatan itu terus diperbaiki , hingga kesannya dibangun ulang menjadi menyerupai kini ini pada 1990-an.
Saat berdiri sempurna di tengah Galata Köprüsü sambil menyaksikan sejumlah pemancing mengadu nasib dalam terpaan angin hambar , ingatan kembali ke masa kemudian wacana kisah kota Istanbul. Inilah kota dengan dua wajah: Asia dan Eropa. Dan , Galata Köprüsü menghubungkan dua wajah itu , Asia dan Eropa (selain Galata Köprüsü , ada pula Atartürk Köprüsü yang juga membentang di atas Golden Horn). Barangkali , memang sudah digariskan bahwa Istanbul—yang dulu berjulukan Konstantinopel lantaran didirikan oleh Kaisar Konstantin , penguasa Imperium Romanum Timur , Kekaisaran Romawi Timur—menjadi daerah perjumpaan; perjumpaan antara Timur dan Barat.
Di kota inilah Imperium Romanum Timur berpusat dan menjadi besar sesudah runtuhnya Imperium Romanum Barat yang berpusat di Roma. Istanbul menjadi saksi sejarah bertemunya peradaban Kristiani (Byzantium , kemudian Konstantinopel) dengan Muslim (Ottoman atau Utsmaniyah). Coba lihat Hagia Sophia dengan kubahnya yang begitu megah , karya arsitektur Byzantium , dengan empat menaranya yang menjulang ke langit , perhiasan di zaman Ottoman. Jangan lupa , masuklah ke Hagia Sophia—dibangun tahun 537 hingga 1453—dan di dalam sana kita bakal dibawa ke masa kemudian yang agung.
Di Istanbul , masa kemudian selalu bercerita. Bukan hanya Hagia Sophia yang bercerita. Ada juga Masjid Biru , dibangun 1609 hingga 1616 , yang berdiri megah persis di seberang Hagia Sophia. Istana Topkapi , istana para Sultan Ottoman selama sekitar 400 tahun (1465-1856) , dan masih banyak lagi. Istanbul menyerupai Roma , Kairo , atau Athena , di sana masa kemudian menceritakan dirinya. Namun , kelebihan Istanbul yaitu perjumpaan antara masa kemudian Timur dan Barat.
Sekarang , memang , dunia telah menjadi satu; disatukan oleh teknologi komunikasi , disatukan oleh kepentingan ekonomi , kepentingan pasar , dan politik. Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia (2011) menulis , ”Dulu bangkitnya Barat mengubah dunia. Bangkitnya Asia kini bakal membawa perubahan signifikan yang serupa. Kebangkitan Asia bakal berbuah baik bagi dunia.”
Cerita wacana kebangkitan Asia ini sudah usang didengungkan. Dan , dongeng itu , wacana kebangkitan dua kekuatan besar di Timur , Tiongkok dan India. Kedua raksasa dari Timur ini berkembang demikian cepat dan mahir meski tak berarti tanpa tantangan dan hambatan. Namun , toh , kedua raksasa Asia masa ke-21 ini menandai pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur.
Perubahan itu tak terelakkan. Juga tidak dapat dielakkan oleh Indonesia. Di sini tidak lagi dongeng masa kemudian menyerupai di Istanbul , tetapi wacana masa depan. Dalam konteks politik luar negeri Indonesia , pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur itu menjadi sangat penting artinya. Itu berarti lingkungan strategis Indonesia—mulai dari tataran global hingga lingkungan terdekat di Asia Timur—terus mengalami perubahan penting. Perubahan itu bakal memilih relevansi , posisi , dan tugas internasional Indonesia.
Akhirnya harus disadari bahwa masa kemudian memiliki keagungannya sendiri , tetapi kini tak dapat kembali. Dan , masa depan ada di depan sana yang harus ditentukan di masa kini. Itu berarti kita jadi semacam ”Galata Köprüsü” yang menghubungkan masa kemudian dan masa depan. ”Itulah hidup , c’est la vie ,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam perbincangan ringan di Kompas jelang tutup tahun lalu.
Trias Kuncahyono; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Galata Köprüsü"