Trias Kuncahyono
Di Eropa , kurun pertengahan , hidup pandangan bahwa diplomat pertama di dunia ini yaitu malaikat. Malaikat diutus Tuhan ke dunia untuk menemui manusia. Cerita yang sama dapat kita baca dari dongeng para nabi. Namun , tentu , tidak setiap hari malaikat turun ke bumi.
Kata ”diplomat” berasal dari bahasa Yunani , yakni diplõmátes , yang berarti ’pemegang surat keterangan , ijazah’. Dalam hal ini bukan berarti selembar akta , melainkan surat ratifikasi diplomat yang memungkinkan beliau melakukan tugasnya atas nama pemerintah atau institusi dalam yurisdiksi negara atau institusi lain.
Zaman dahulu , suku-suku merundingkan perkawinan serta hukum perdagangan dan perburuhan. Untuk merundingkan masalah-masalah itu , ada orang yang ditunjuk dan diberi tanda , dapat berupa emblem atau lambang , atau tongkat , dan yang lalu hari berbentuk sepucuk surat. Itulah yang lalu disebut letters of credence , surat kepercayaan dari kepala negara daerah asal sang utusan yang diserahkan kepada kepala negara di mana utusan ditempatkan. Dengan membawa surat itu , seorang utusan , duta , mewakili negara dan pemerintahnya.
Sejarah mengungkapkan , ada bukti-bukti bahwa pengetahuan perihal diplomasi berasal dari Timur Tengah , Mediterania , Tiongkok , dan India. Catatan-catatan perihal diplomasi antarnegara kota di zaman Mesopotamia bertarik 2850 SM. Itulah sebabnya , bahasa Akkadian atau Babilonia menjadi bahasa diplomatik pertama yang dipakai di Timur Tengah hingga digantikan bahasa Aramaik. Dari Mesir , ditemukan bukti-bukti bertanda kurun ke-14 SM yang mengungkapkan perihal praktik diplomasi.
Dari dahulu hingga sekarang , prinsipnya nyaris tidak berubah: seorang duta tiba ke negara lain mewakili pemerintah dan negaranya untuk meraih kepentingan nasional dalam panggung internasional. Makara , kepentingan nasional itulah yang mutlak harus diperjuangkan oleh seorang diplomat. Karena itu , kadang terjadi bentrokan kepentingan. Maka , menyerupai dikatakan Lord Palmerston (1784-1865) , ”Tidak ada mitra lawan yang abadi , kecuali kepentingan.”
Kepentingan nasional suatu negara bermacam-macam: dapat kepentingan ekonomi ataupun politik. Namun , yang tidak kalah penting yaitu prestise. Yang perlu dicatat , prestise ini yaitu nilai yang harus diperjuangkan lantaran prestise menyangkut kedudukan negara di panggung politik internasional. Diplomasi dapat dikatakan ujung tombak untuk meraih dan mewujudkan kepentingan nasional di panggung internasional. Itu berarti seorang diplomat , seorang duta besar , berada di paling ujung dari ujung tombak itu.
Dalam konteks ini , gimana kita melihat kekerabatan Indonesia-Brasil? Hubungan kedua negara dibangun atas dasar prinsip kesetaraan lantaran kesetaraan yaitu salah satu prinsip utama dalam kekerabatan antarbangsa. Tidak ada bangsa dan negara yang lebih unggul daripada bangsa dan negara lain.
Dengan demikian , kekerabatan antarnegara mengarah ke persahabatan. Sikap dekat harus dijawab dengan dekat pula. Cerita Meng Chi , utusan Kaisar Dinasti Yuan Kubilai Khan di Tiongkok , yang dikirim ke Singosari , dapat menjadi contoh. Ketika Meng Chi menyampaikan bahwa Singosari harus tunduk kepada Tiongkok , marahlah Raja Kertanegara. Kalau Tiongkok mau dekat , tentu diterima dengan bahagia hati. Namun , ketika minta Singosari tunduk , sebagai kesudahannya , wajah Meng Chi dirusak dan telinganya dipotong.
Artinya , perilaku permusuhan harus pula dijawab dengan perilaku tegas , terang , dan tetap menurut prinsip norma internasional kekerabatan antarbangsa. Kalau perilaku kita tidak terang , tegas , dan berprinsip , kita bakal direndahkan.
Menjawab tindakan Pemerintah Brasil terhadap calon Duta Besar RI Toto Riyanto , yang mendadak pada ketika simpulan diberi tahu bahwa penyerahan surat kepercayaan kepada Presiden Dilma Rousseff ditunda , Presiden Jokowi menyampaikan , ”Ini persoalan kehormatan dan martabat kita sebagai bangsa.”
Karena itu , apakah cukup dengan menarik Dubes Toto? Memanggil Dubes Brasil ke Kementerian Luar Negeri? Mengirim nota diplomatik , protes keras? Hans Joachim Morgenthau (1904-1980) , hebat dalam studi kekerabatan internasional , dalam salah satu bukunya , Politics Among Nations , kira-kira mengingatkan , apabila suatu negara tidak tegas dan terang dalam merespons serta menyikapi tantangan dari luar , taruhannya yaitu gambaran dan status negara.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memang sudah menyampaikan , ”Indonesia bakal menilai kembali semua aspek kekerabatan bilateral dengan Brasil.” Namun , apakah kita tidak perlu menurunkan tingkat kekerabatan diplomatik jikalau Pemerintah Brasil tidak berubah sikap?
Trias Kuncahyono; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Diplomat"