Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menerapkan Revolusi Mental

Ignas Kleden

TATKALA Joko Widodo sebagai calon presiden melansir pemikirannya wacana revolusi mental , mungkin banyak orang belum menyadari bahwa gagasan itu bakal dikembangkan menjadi suatu teori pembangunan kalau ia terpilih sebagai Presiden Indonesia.

Revolusi mental segera menarik perhatian alasannya pemikiran itu merupakan suatu kejutan di tengah maraknya pragmatisme politik selama masa reformasi. Lagi pula , persoalan mental banyak diremehkan tatkala konsep perubahan struktural merebut perhatian utama sebagai mode dalam wacana pembangunan di Indonesia. Karena itu , kita dikejutkan oleh beberapa pertanyaan. Mengapa persoalan mental menjadi sentral dalam pemikiran seorang pemimpin politik? Apakah dimungkinkan suatu revolusi dalam bidang mental , yang sanggup mendorong perubahan institusional?

Pemikiran ini bertolak dari pengamatan. Pertama , pembangunan yang hanya mengandalkan sumber daya alam (SDA) bakal sulit dipertahankan keberlanjutannya alasannya SDA , khususnya SDA yang tak terbarukan , cepat atau lambat bakal habis. Minyak bumi , gas , batubara , logam , dan banyak sekali kekayaan mineral tak mungkin ditambang terus-menerus alasannya bakal terkuras habis pada suatu saat. Tanpa ada pengembangan kemampuan pengolahan di dalam negeri yang memberi nilai tambah , segala SDA hanya diekspor dalam bentuk materi mentah dan diimpor kembali ke Indonesia dalam bentuk banyak sekali komoditas dengan harga tinggi.

Hal ini tak perlu terjadi kalau kita sendiri sanggup memprosesnya dengan teknologi untuk memberi nilai tambah dan menghemat penambangannya alasannya memperhitungkan suplai untuk masa depan. Orang tak perlu menjadi Marxis untuk mengerti bahwa harga barang ditentukan oleh kerja , keahlian , dan teknologi yang diinvestasikan dalam pengadaannya. Maka , berbitrik wacana keahlian yaitu merujuk kepada insan sebagai sumber daya.

Kedua , banyak sekali aktivitas pembangunan telah menghasilkan banyak barang dan jasa , tetapi sebagian besar hasil pembangunan itu tak membawa akumulasi modal setrik nasional alasannya disedot kembali oleh sikap menyimpang dalam ekonomi. Kita berhadapan dengan ketidakmampuan menahan diri dari godaan menggunakan dana publik untuk kenikmatan langsung atau kelompok melalui trik-trik ilegal yang tak pernah transparan , kecuali kalau KPK mengungkapkannya setrik publik dan memprosesnya setrik pidana.

Asketisme yang jadi tabiat para captain of industry pada kapitalisme awal di Eropa Barat dan Amerika Utara tak dihargai di Indonesia alasannya orang terhanyut merayakan masa kini dalam ekstravaganza gaya hidup , yang mempersetankan kewajaran , proporsionalitas , dan akuntabilitas. Ironis sekali , daya tahan setrik budaya (cultural resilience) bangsa kita dalam menghadapi penindasan , kemiskinan , dan bahkan penghinaan dalam banyak sekali wujud terbukti teguh dalam melewati abad-abad penjajahan dan tahun-tahun awal kemerdekaan. Namun , daya tahan setrik adab (moral resilience) menghadapi kemakmuran dan kekayaan terbukti sangat rendah dan labil. Pada titik ekstremnya , kita ternyata tahan miskin dan berpengaruh menderita , tetapi tidak tahan kaya dan sulit mengelola kemerdekaan.

Dua pengamatan itu menempatkan insan kembali sebagai faktor yang sentral. Pengetahuan , kerja , dan keahlian amat dibutuhkan untuk membuat nilai tambah dalam ekonomi , sementara huruf , etos , dan kesanggupan menahan diri bakal memilih , apakah nilai tambah sanggup membuat akumulasi modal atau bakal karam dalam shadow economy yang gelap gulita dan serba konsumtif.

Dapat dipahami mengapa bagi Jokowi insan Indonesia harus dijadikan sumber daya terpenting asal saja dalam diri insan itu tergabung dua keunggulan yang saling menguatkan , yaitu pengetahuan dan keahlian di satu pihak serta huruf dan moralitas di pihak lain. Pengetahuan dan keahlian memungkinkan orang Indonesia sanggup mengamankan SDA dan mencegah eksploitasi yang adikara , sambil meningkatkan nilai tambah melalui penguasaan tahap-tahap processing. Selanjutnya , adab dan huruf diperlukan meningkatkan kemampuan menahan diri dari godaan pemborosan dan penyelewengan dana publik serta mencegah sikap yang memperlemah penegakan aturan dalam membuat tata tertib dan keadilan. Kepandaian dan keahlian tanpa huruf bakal membawa orang kepada egoisme individual atau kolektif , sementara huruf tanpa keahlian hanya menghasilkan moralisme tanpa kemampuan produktif.

Karakter dan kepribadian

Istilah huruf tidak begitu terkenal dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan istilah kepribadian atau personality. Kita mengenal istilah kepribadian bangsa (contohnya , dalam konsep Trisakti Bung Karno) , tetapi kita tidak memiliki istilah huruf nasional. Psikolog Amerika , Gordon W Allport , dalam studinya yang klasik , Pattern and Growth in Personality , menyatakan bahwa istilah huruf lebih banyak dipakai oleh para psikolog Eropa , sedangkan istilah personality atau kepribadian lebih terkenal di kalangan psikolog Amerika. Istilah huruf berasal dari kata Yunani charassein yang berarti menggurat , mengukir , atau memahat. Sementara istilah personality berasal dari kata Latin persona yang berarti topeng. Dalam pemakaian kini , istilah personality lebih memperlihatkan tampilan atau tingkah laris yang kelihatan , sedangkan istilah huruf merujuk pada struktur nilai dalam diri seseorang.

Kalau kita menyampaikan ”dia seorang yang berkarakter” , yang ditonjolkan ialah adanya nilai etis yang ditegakkan dalam diri seseorang. Sebaliknya , kalau kita berkata ”dia memiliki kepribadian yang baik” , maknanya ialah orang bersangkutan tak banyak mengakibatkan kesulitan dalam komunikasi dan interaksi sosial. Namun , Allport juga menyadari kepribadian atau personality tak hanya meliputi aspek-aspek eksternal , tetapi juga mengandung hal-hal yang intrinsik. Karena itu , berdasarkan ia , kepribadian yaitu organisasi dinamis dalam diri seorang individu (yang mengatur) sistem-sistem psikofisis serta memilih sikap dan pikiran yang karakteristik.

Di pihak lain , psikolog Jerman ibarat Philipp Lersch menekankan dalam bukunya , Aufbau der Person , bahwa huruf bukan sekadar suatu satuan psikologis , melainkan juga satuan etis. Makna nilai etis itu sanggup ditemui pada orang-orang yang kehendak dan kesadarannya terorganisasi dengan tertib sehingga memperlihatkan dua sifat mendasar , yaitu tanggung jawab penuh untuk tindakan yang dilakukan serta konsistensi dalam sikap , yang memungkinkan tingkah laris seseorang sanggup diramalkan dan gampang diantisipasi. Ini berarti , dalam banyak sekali situasi yang berubah-ubah , senantiasa ada sesuatu yang sama dalam reaksi seseorang. Disposisi kejiwaan ini yang bakal mengakibatkan bahwa dalam menghadapi kegagalan , ada orang yang menjadi lebih tertantang untuk mengerahkan tenaga dan berusaha semakin keras , sementara orang lain menjadi murung , murung , dan bahkan melemah kepercayaan dirinya.

Apa pun soalnya , baik kepribadian maupun huruf , selalu merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Kepribadian memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang dicerna setrik selektif dalam diri seseorang , sedangkan seleksi itu terjadi berdasarkan huruf yang ada dalam diri orang bersangkutan. Kaprikornus , kepribadian memperlihatkan gerak dari luar ke dalam , sementara huruf memperlihatkan gerak dari dalam ke luar , yaitu gimana seorang individu mengelola banyak sekali dampak yang setrik khas membentuk kepribadian orang itu.

Dalam keadaan yang tidak ideal , seseorang sanggup memperlihatkan kepribadian yang matang dan seimbang dalam melaksanakan penyesuaian sosial , tetapi tidak memiliki basis huruf yang kuat. Ini sanggup terjadi kalau muncul dilema di antara perlunya komunikasi dan penyesuaian diri di satu pihak dan keharusan untuk mempertahankan seperangkat nilai yang penting di pihak lain. Seorang dengan kepribadian yang luwes bisa mengorbankan beberapa nilai etis yang diyakininya untuk tetap menjaga korelasi baik dengan orang lain dalam lingkungannya. Di sini , huruf dikorbankan demi kepribadian. Sebaliknya , seorang dengan huruf yang teguh bakal tetap mempertahankan nilai-nilainya yang prinsipiil meskipun sikapnya itu bakal mengakibatkan kesulitan dalam korelasi sosialnya.

Di sini timbul pertanyaan: mengapa orang bisa lebih mengutamakan kepribadian dan melupakan karakter? Mengapa nilai-nilai adab kurang terkenal dibandingkan dengan keterampilan psikologis dan adaptabilitas sosial? Kita tahu , dalam setiap masyarakat dengan orientasi yang kapitalistis , selalu dibutuhkan banyak sekali kemampuan yang dijanjikan oleh psikologi kepribadian , ibarat kemahiran berkomunikasi , kesanggupan menarik perhatian , gaya bitrik yang persuasif , teknik-teknik menuntaskan konflik dan membuat kepercayaan , serta trik-trik untuk mengakibatkan kesan yang baik dalam pertemuan. Semua keterampilan ini selalu dibutuhkan dalam ekonomi kapitalis , baik untuk mendukung proses produksi supaya tidak mengalami kendala maupun untuk memperluas pemasaran bagi produk-produk yang dihasilkan.

Diharapkan bahwa keterampilan-keterampilan psikologis dan sosial dalam ekonomi pasar sanggup diimbangi oleh adanya huruf dengan struktur nilai yang kokoh dalam politik yang demokratis. Dalam demokrasi liberal dibuka kemungkinan untuk dua hal tersebut , yaitu ekonomi pasar yang relatif bebas nilai dan demokrasi yang berdiri di atas nilai-nilai yang mendasar , ibarat kebebasan , persamaan , keadilan , dan hak asasi manusia.

Pendidikan huruf pada era pasar bebas

Para pencetus demokrasi liberal bertolak dari keyakinan bahwa sifat ekonomi pasar yang bebas nilai dan dikendalikan oleh prosedur seruan dan penawaran bakal menerima kontrol yang sepadan dalam nilai-nilai demokrasi. Kebebasan dalam persaingan pasar yang mengakibatkan munculnya jurang perbedaan antara pihak yang berhasil dan yang gagal serta antara yang kaya dan yang miskin bakal dikontrol oleh nilai-nilai persamaan dan keadilan dalam demokrasi.

Kenyataan ekonomi-politik tidak selalu sesuai dengan harapan. Setelah Perang Dunia Kedua , ada perjuangan untuk membuat suatu rezim ekonomi internasional yang menjaga keseimbangan antara kebijakan ekonomi nasional dan aturan main dalam perdagangan global yang sudah diliberalisasikan. Ini diusahakan melalui kesepakatan Bretton Woods yang menetapkan sistem nilai tukar yang fixed. Kesepakatan ini ditinggalkan pada awal 1970-an bersamaan dengan munculnya sistem liberalisme transnasional dengan sifat yang lain sama sekali.

Pasar global dengan cepat mendesak otonomi setiap negara , sementara perusahaan-perusahaan multinasional tampil sebagai tentangan negara-bangsa. Perimbangan internasional semakin sedikit ditentukan oleh intervensi kekuasaan politik dan semakin banyak dikendalikan oleh kekuatan modal. Masalahnya yaitu , mengikuti sinyalemen filsuf Juergen Habermas , kekuasaan bisa didemokratisasikan , tetapi uang tidak.

Soal simpel adalah: apakah nilai-nilai dalam demokrasi yang dikelola melalui keputusan politik dalam suatu negara masih sanggup mengawasi kebebasan pasar dalam ekonomi yang semakin global? Ataukah kita harus mendapatkan kenyataan bahwa prosedur pasar global yang ”tidak bisa didemokratisasikan” menjadi demikian berpengaruh sehingga membuat nilai-nilai demokrasi menjadi tak berdaya? Apakah tuntutan bakal sifat-sifat kepribadian dalam pengembangan pasar sanggup diimbangi oleh huruf pemimpin-pemimpin politik yang sanggup menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan mempertahankan nilai-nilai yang memilih martabat manusia?

Pada titik ini , pendidikan huruf yang diimpikan Jokowi bakal menemui ujian berat. Memang semenjak usang ada persoalan dalam kurikulum sekolah yang mengabaikan pendidikan huruf dan memperlihatkan perhatian utama kepada pengajaran ilmu dan teknologi. Jokowi ingin membalikkan kecenderungan ini dengan memperlihatkan porsi terbesar kepada pendidikan huruf di tingkat pendidikan dasar dan menengah serta memperlihatkan porsi besar kepada pengajaran ilmu dan teknologi di tingkat pendidikan tinggi.

Meski demikian , tidaklah tidak mungkin bahwa pragmatisme dalam dunia pendidikan yaitu akhir dampak pragmatisme dalam pembangunan. Sampai tingkat tertentu pendidikan mereproduksi suasana umum dalam ekonomi dan politik , sekalipun pendidikan selalu diperlukan melaksanakan koreksi terhadap suasana umum yang tak dikehendaki. Pengutamaan huruf dalam pendidikan barulah bakal mencapai hasil yang diperlukan apabila ekonomi-politik juga mengalami reorientasi yang semakin memberi daerah yang terhormat kepada huruf yang berpengaruh pada manusia. Hal ini tidak sanggup dilakukan hanya melalui banyak sekali isyarat dalam kelas , tetapi juga melalui revisi dan terobosan gres dalam pengadaan bentuk-bentuk insentif yang lebih kaya dari sekadar insentif materiil dalam ekonomi. Perlu diciptakan insentif sosial , politik , dan kebudayaan , sambil mengintegrasikan insentif-insentif gres ini dengan insentif ekonomi. Di tingkat makro ini artinya mencari perimbangan optimal antara ekonomi pasar dan nilai-nilai demokrasi , dengan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi komponen dalam pertumbuhan insan menuju martabatnya.

Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menerapkan Revolusi Mental"

Total Pageviews