Komaruddin Hidayat
Pada level atas , para elite partai politik (parpol) sedang galau memosisikan diri. Dengan modal dan saham dingklik di Senayan yang dimiliki , mau dengan siapa dan ke mana berkoalisi. Mencari teman koalisi ini ternyata tidak cukup bermodal jumlah dingklik semata , tetapi ada faktor lain menyerupai kecocokan ideologis , agenda besar yang diperjuangkan , serta kesesuaian chemistry antar-tokohnya.
Kegaduhan itu ada yang mencuat ke permukaan menyerupai yang terjadi dengan Partai Persatuan Pembangunan , tetapi ada pula yang berhasil diredam dalam rumah tangga internal parpol. Baik kegaduhan pada level atas maupun bawah , sumber utamanya yakni seputar kudeta dan laba finansial.
Idealisme versus positivisme
Dalam pandangan kaum idealis , kekuasaan itu harus direbut sebagai sarana untuk memperjuangkan kebajikan dan kebenaran. Semulia dan sehebat apa pun sebuah gagasan wacana masyarakat dan negara , tanpa kekuatan bakal sulit diwujudkan. Itulah sebabnya agama selalu dibawa ke ranah politik dengan alasan untuk memperbaiki kondisi bangsa dan masyarakat.
Berbeda dari mazhab idealisme , peringatan dari mazhab positivisme menarik didengarkan , menyerupai Marx , Nietzsche , dan Freud. Menurut Marx , apa pun kemasan dan retorika yang dibangun , ujung dari semua pergulatan politik yakni untuk meraih laba ekonomi. Status dan agenda ekonomi seseorang bakal menentukan sikap dan manuver politiknya.
Semuanya dilandasi kalkulasi untung-rugi setrik materi. Adapun pandangan Nietzsche , seseorang berjuang dengan segala trik dan usaha dalam politik yakni untuk meraih kekuasaan (the will to power). Kekuasaan itu menggiurkan dan menjanjikan self-glory. Meski seseorang setrik bahan sudah kaya raya , belum merasa puas dan sukses hidupnya kalau belum menggenggam kekuasaan politik untuk mencicipi nikmatnya berkuasa dan memerintah orang lain.
Kalau sudah berkuasa dan memiliki uang banyak , kemudian untuk apa? Para pejuang moralis-idealis tentu jawabnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan demi menyejahterakan orang banyak. Tetapi , berdasarkan Freud , dalam bawah sadar setiap orang selalu tersimpan agenda libido yang menuntut pemenuhan. Oleh karnanya , berdasarkan ia , kekuasaan dan uang selalu berkaitan dengan petualangan seksual. Kedengarannya memang seram.
Tetapi , itulah beberapa perkiraan dasar sikap insan berdasarkan tiga pemikir positivistik itu. Meskipun tidak semuanya benar , fenomena kekerabatan dialektis antara kekuasaan , uang , dan seks tidak sulit ditemukan dalam sejarah kekuasaan dari zaman ke zaman.
Serendah itukah motif dasar yang menggerakkan dinamika politik dan kehidupan pada umumnya? Jika Victor Frankl ditanya , maka jawabnya sangat berbeda. Setiap orang gotong royong mengejar semoga hidupnya bermakna (the will to meaning). Berbagai usaha dan penderitaan yang terjadi dibutuhkan membuat diri seseorang bermakna bagi orang-orang terdekat yang dicintainya. Siapa pun tidak ingin hidupnya sia-sia dan jerih payahnya tak bermakna apa-apa.
Dalam konteks ini , banyak penguasa yang mau melaksanakan apa saja semoga dirinya menjadi jagoan bagi keluarganya. Atau sanggup juga bangsanya. Jika ditarik ke wilayah keyakinan usaha agama , ada yang rela berkurban nyawa semoga dirinya dicatat sebagai pembela Tuhan dan nanti diganjar surga.
Manuver koalisi
Kembali pada tema koalisi. Koalisi yakni sebuah kontrak atau perjanjian kolaborasi yang sifatnya temporer. Dalam konteks penyusunan kabinet , dibutuhkan koalisi berlangsung minimal lima tahun. Yang dikhawatirkan seputar wacana dan manuver koalisi akhir-akhir ini yakni semata hanya untuk memenuhi syarat semoga parpol-parpol yang lolos ambang batas perolehan dingklik ke Senayan memperoleh tiket naik ring pertandingan dalam pemilu.
Mereka bergabung bagaikan arisan mengumpulkan saham politik semoga nantinya kebagian dingklik menteri atau jabatan tinggi lain. Jika ini yang terjadi , prediksi Marx , Nietzsche , dan Freud bakal menjadi kenyataan. Setrik lahiriah-formal , pemerintahan Indonesia mengikuti falsafah Pancasila yang bersifat religius , humanis , dan idealis , tetapi aktor-aktor politiknya terjebak dalam perburuan kesenangan fisik dan material (physical and material pleasure).
Yang juga mesti kita cermati dan kawal yakni apa pun akhirnya , pemilu legislatif dan pemilu presiden yakni hajat rakyat. Mereka telah memberikan aspirasinya yang mesti dihargai dan dikawal dengan jujur dan transparan. Kalaupun ada anggapan rakyat belum cukup paham dan terdidik wacana demokrasi dan gimana menggunakan hak-haknya dengan benar , jangan kebodohan dan kekurangan mereka kemudian dimanfaatkan atau ditelikung oleh para politisi untuk kepentingan parpolnya.
Sangat menyedihkan mendengar gosip yang beredar. Betapa kekuatan uang telah merusak dan mengkhianati kepercayaan rakyat saat mereka menentukan wakil-wakilnya. Suaranya hilang dicuri dan dijualbelikan. Lebih menyedihkan lagi saat bunyi hasil manipulasi itu telah terkumpul , kemudian dijadikan saham politik oleh jajaran elitenya untuk manuver koalisi ”dagang sapi”. Sampai-sampai banyak pengamat menilai , ini yakni pemilu legislatif terburuk sepanjang sejarah. Rakyat menentukan wakil rakyat semata mempertimbangkan uang yang diterima , bukannya evaluasi kualitas orang-orangnya.
Jika betul evaluasi itu , jangan hingga hal ini terjadi lagi pada pemilihan presiden mendatang. Jangan hingga pasangan capres-cawapres yang menang hanya lantaran pengaruh kekuatan uang guna mengelabui rakyat yang miskin dan kurang pendidikan. Koalisi dan kabinet yang dibuat mesti koalisi yang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat , bukannya kesejahteraan jajaran elite parpol.
Komaruddin Hidayat , Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Koalisi Untuk Rakyat"