Ignas Kleden
DALAM penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sering terdengar kritik perihal terbatasnya realisasi demokrasi hanya pada tingkat prosedural saja. Demokrasi diwujudkan hanya melalui pembentukan lembaga-lembaga dan pelaksanaan mekanisme dan tata trik , tetapi belum menunjukkan hasil yang dijanjikan olehnya sebagai sistem politik. Ada Dewan Perwakilan Rakyat , tetapi para anggotanya lebih sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak banyak berperan sebagai wakil yang menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang mereka wakili dan yang telah menentukan mereka alasannya banyak sekali kesepakatan dan keinginan masa depan yang ditawarkan.
Ada pemilihan umum , tetapi hasilnya masih sering dipertanyakan apakah hasil itu benar-benar menawarkan bunyi rakyat , atau menjadi gema gencarnya serangan fajar , atau cerminan disiplin penghitungan bunyi yang mengundang pertanyaan dan keraguan. Demikian pula ada forum peradilan , tetapi pencari keadilan masih kebingungan , ke mana mereka mencari keadilan dan sanggup menemukannya. Ada pemerintah dengan banyak sekali kementerian , tetapi cukup banyak keluarga yang tetap meringkuk di bawah garis kemiskinan , dengan kondisi yang tak banyak berubah dari rezim pemerintahan yang satu ke rezim yang lain.
Semua ini lambat laun menimbulkan anggapan bahwa demokrasi hanyalah suatu formalitas , yang tidak membawa perbaikan substantif untuk rakyat berupa kesejahteraan yang lebih merata , keadilan yang lebih niscaya , dan proteksi hak-hak rakyat yang merasa kondusif di bawah naungan undang-undang. Sementara itu , kita tahu , baik substansi demokrasi maupun prosedurnya , merupakan dua hal yang sama pentingnya , menyerupai dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Substansi demokrasi dan psikologi politik
Dapatlah dibayangkan rakyat bakal bersorak-sorai kalau suatu pemerintah memberi perhatian utama pada pembagian pendapatan nasional setrik lebih merata. Meski demikian , pemerintah tak sanggup melaksanakan pemerataan pendapatan ini dengan melanggar hak milik perorangan seorang warga negara , dan mengambil begitu saja tanah , rumah , dan penghasilan seorang kaya dan membagikannya kepada kelompok yang tak berpunya. Atau orang-orang yang diduga melaksanakan korupsi ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan.
Dalam dua referensi tersebut , substansi demokrasi dicoba diwujudkan (yaitu kesejahteraan dan keadilan) , tetapi dengan trik yang melanggar asas demokrasi yang melindungi kepemilikan pribadi dan menegakkan praduga tak bersalah di pengadilan.
Pada titik itulah terlihat bahwa mekanisme demokrasi sangat penting dalam menjamin bahwa tujuan-tujuan substantif demokrasi hanya boleh dicapai dan diwujudkan melalui trik-trik demokratis , dan bukannya dengan sembarang trik , sekalipun trik-trik itu mungkin lebih efektif. Ini artinya , baik demokrasi prosedural maupun demokrasi substansial sama-sama mengandung risiko kalau dua kepentingan itu tidak diambil setrik bersama , tetapi setrik terpisah satu dari yang lainnya.
Sementara itu , sering kita alami bahwa dalam psikologi politik , pendapat umum sanggup dengan gampang berubah dan cepat bergerak dari ujung yang satu ke ujung yang lain meskipun kedua ujung tersebut merupakan titik ekstrem yang tidak mengandung seluruh kebenaran dan kebaikan. Setelah Presiden Soekarno mencanangkan dan melaksanakan agenda nation building , pemerintahannya dianggap terlalu ideologis dan kurang memberi perhatian pada perbaikan ekonomi.
Kemudian , tatkala Presiden Soeharto memegang kekuasaan , beliau memperkenalkan agenda pembangunan ekonomi yang diterima setrik luas , sekalipun dengan membatasi beberapa hak politik dan hak sipil.
Di negara maju yang lain , kita melihat Presiden Bush senior (presiden ke-41 AS) menekankan pentingnya suatu politik luar negeri yang relatif berhasil meredam ketegangan Perang Dingin. Dalam kampanye pemilihannya yang kedua , presiden ini rupanya tidak menyadari adanya suatu peralihan generasi di AS. Semenjak Franklin D Roosevelt , presiden-presiden AS semua pernah terlibat dalam Perang Dunia II , entah sebagai anggota militer atau sebagai Panglima Tertinggi (commander in chief) yang menjadi wewenang dan tanggung jawab presiden AS.
Pada tahun 1992 tatkala Presiden Bush senior berjuang untuk dipilih kembali , generasi baby boomer dan mereka yang lebih muda merupakan belahan cukup besar dari para pemilih yang memiliki keinginan dan keinginan lain. Gubernur Bill Clinton dari Arkansas , yang lebih muda 22 tahun , melihat pergeseran generasi ini. Dengan cerdas , beliau memasuki kampanye dengan menggeser perhatian Amerika dari politik luar negeri yang menjadi kekuatan pendahulunya , dan berusaha menjawab kecemasan yang semakin meluas perihal keadaan ekonomi. Dia mencanangkan slogan kampanyenya , ”It’s the economy , stupid!” (masalah kita yaitu ekonomi , tolol!) , dan memenangi pemilihan sebagai presiden ke-42 AS.
Tak sanggup disangkal , dalam menyongsong Pemilu Presiden RI 9 Juli 2014 nanti , masih ada nostalgia ke masa pemerintahan Presiden Soeharto dalam perbandingan dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rupanya ini psikologi yang biasa. Berhadapan dengan kesulitan masa kini , orang enggan memaksa diri mencari penyelesaian , tetapi kembali ke masa silam yang dibayangkan kondusif sentosa dan merasa tenteram di sana.
Dianggap keamanan di masa lampau lebih terjamin , sambil lupa bahwa tokoh-tokoh nasional yang dianggap melaksanakan provokasi politik dijebloskan begitu saja ke dalam penjara tanpa proses pengadilan segimana yang berlaku dalam negara aturan , sementara para pencopet , penggarong , dan penodong dibunuh setrik misterius dan ditinggalkan di pinggir jalan sesudah dikarungkan.
Dibayangkan pemilu di masa kemudian lebih mulus dan tanpa banyak pergolakan dan konflik , sambil diabaikan bahwa ada paksaan di masa kemudian untuk memenangkan satu partai saja dengan dominan mutlak , sambil hak politik rakyat untuk membentuk partai politik lain dibatasi dengan ketat. Dikira kehidupan di masa kemudian lebih tenteram , sementara kritik diawasi , oposisi dihentikan , dan pemimpin redaksi surat kabar sanggup ditelepon setiap ketika untuk membatalkan publikasi gosip atau isu tertentu yang tak disenangi pemerintah.
Memang , masa lampau , khususnya masa lampau yang erat , seakan selalu bermuka dua. Dalam kesulitan menghadapi masalah-masalah di masa kini , masa lampau tampak lebih indah dari aslinya , dan seakan menjadi daerah pelarian yang aman.
Sebaliknya , kalau ada kesulitan di masa kini yang muncul akhir tindakan , kelalaian , dan pelanggaran di masa lampau , kesulitan di masa kini dicoba dihilangkan dengan melupakan masa lampau.
Pendulum politik
Pemilihan presiden RI yang segera berlangsung dalam waktu erat bakal menjadi sebuah tes perihal pandangan dan penghayatan kita di Indonesia perihal masa lampau dan masa sekarang. Juga tes perihal pendulum dalam psikologi politik , apakah menjadi kecenderungan yang sanggup dikontrol atau selalu kebablasan. Istilah-istilah ini seakan menunjuk pada sesuatu yang aneh sekali , sementara dalam praktik politik semua ini menjadi positif dan sanggup diamati.
Apakah mungkin terjadi bahwa kejenuhan orang dengan proseduralisme dalam demokrasi menyerupai yang terjadi kini bakal menerima hasilnya dalam pemberian penuh kepada seorang calon presiden yang sanggup meyakinkan kita perihal agenda politik yang mewujudkan tujuan-tujuan substantif demokrasi menyerupai kesempatan kerja yang lebih luas , pendidikan yang lebih baik , dan pemerintahan yang lebih higienis , tetapi dengan jaminan yang masih sanggup diragukan perihal komitmennya untuk tetap menghormati mekanisme demokrasi?
Hal ini bakal semakin sulit di tengah pemberian besar dari para pengikut yang sudah usang mendambakan realisasi demokrasi dalam substansinya , dan mungkin sekali bakal bersikap permisif terhadap pelanggaran prosedur-prosedur demokrasi yang baku , menyerupai keharusan mencari penyelesaian problem dengan trik tanpa kekerasan atau non-violent problem-solving.
Demikian pula masa lampau setiap calon presiden kita seyogianya diperjelas sebagai rujukan perihal sikap pemimpin Indonesia yang sejalan dengan tuntutan demokrasi. Dengan mengakui kemungkinan perubahan sikap tiap orang dalam perjalanan waktu , tidak ada salahnya mengingat dan mengingat kembali bahwa kekuasaan presiden yang demikian besar hendaknya menjadi api obor yang menerangi perjalanan bangsa Indonesia melalui liku-liku kesulitan dan tantangan menuju masa depan yang lebih baik , dan bukannya menjadi api yang memperabukan hutan dan mengirim panas dan asapnya ke banyak sekali penjuru negeri.
Great men make great mistakes , orang-orang besar membuat kesalahan-kesalahan besar , begitu pesan filsuf Austria-Inggris , Karl R Popper. Seluruh bangsa Indonesia sepatutnya menjaga supaya kekuasaan besar membuat kebajikan besar dan mencegah peristiwa besar.
Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Risiko Demokrasi"