Ivan Hadar
PRESIDEN terpilih Joko Widodo menyampaikan keinginannya menghemat uang negara ketika menolak pembelian kendaraan beroda empat gres yang diproses Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Jokowi menentukan mewariskan kendaraan beroda empat bekas bagi para petinggi pemerintahan , termasuk untuk dirinya.
Keteladanan ini membawa harapan. Menjelang 2010 , tiap pejabat negara setingkat menteri serta pemimpin forum tinggi negara pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono diberi kendaraan beroda empat glamor Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc. Menurut Sudi , penggantian kendaraan beroda empat dinas seharga Rp 1 ,3 miliar per unit itu dianggarkan dalam APBN 2009 sesuai dengan aktivitas pemerintah yang disetujui dewan perwakilan rakyat periode lalu. Ada dugaan , anggaran itu diambil dari dana subsidi pemerintah bagi rakyat miskin.
Belajar dari mancanegara
Menjelang Pemilu Presiden 2014 , Jokowi-JK menjanjikan 9 Program Nyata kepada masyarakat. Selain meningkatkan profesionalisme dengan menaikkan honor dan kesejahteraan pekerja , aktivitas pada dasarnya memberantas kemiskinan dengan memberi subsidi orang miskin sepanjang ekonomi bertumbuh lebih dari 7 persen. Selain keteladanan , dibutuhkan banyak sekali kebijakan dan aktivitas yang berpihak kepada orang miskin. Brasil jadi contoh.
Sewaktu jadi Presiden Brasil , Luiz InÁcio Lula da Silva menjanjikan bahwa pada final masa jabatannya setiap warga Brasilia memperoleh makan pagi , siang , dan malam berkecukupan. Meski pada mulanya banyak yang mencurigai , komitmen itu dibuktikan sebelum masa jabatan keduanya berakhir tahun lalu. Studi ihwal Who’s Really Fighting Hunger? (2009) oleh forum independen ActionAid di 29 negara berkembang menempatkan Brasil di peringkat teratas , diikuti Tiongkok , Ghana , dan Vietnam.
Brasil unggul alasannya yakni memiliki persentase anak balita bergizi jelek yang relatif rendah: di bawah 5 persen. Negeri ini di peringkat pertama terkait indikator sosial: pangan untuk anak , gratis masakan di sekolah , upah minimum yang relatif tinggi , kecukupan nutrisi bagi ibu , serta dana pensiun memadai. Terkait tunjangan UU , Brasil paling progresif.
Sejak diluncurkan enam tahun kemudian , aktivitas Fome Zero (bebas dari lapar) telah menyediakan banyak sekali layanan publik , ibarat pemberian materi pokok dan dapur umum serta masakan gratis untuk murid sekolah. Berkat masakan gratis , murid dari kalangan miskin rajin ke sekolah. Terjadi peningkatan prestasi.
Studi ActionAid itu juga berisi analisis lengkap ihwal Bolsa Familia , aktivitas yang disebut sebagai aktivitas distribusi pendapatan terkomplet di dunia. Pada 2008 , contohnya , sekitar 47 juta (atau 25 persen) warga Brasil menikmati aktivitas ini. Jumlah itu meningkat menjadi 55 juta jiwa (2009) dan sekitar 65 juta dikala ini. Dampaknya , kesenjangan turun 6 ,3 persen.
Diakui , termasuk oleh penerusnya , Presiden Dilma Rouseff , bahwa kemiskinan jadi problem utama Brasil. Namun , Brasil telah menyampaikan bahwa berbasis perangkat dan kemauan politik yang berpengaruh , keberhasilan sanggup digapai dalam waktu singkat.
Terkait pengamanan pangan bagi rakyat miskin , pada 2006 diberlakukan UU Keamanan Pangan (LOSAN) dan menjadi basis bagi aktivitas pemberantasan kelaparan. Kegiatan aktivitas pada gilirannya diamankan lewat Dewan Penasihat untuk Keamanan Pangan (CONCEA) yang terdiri dari 19 menteri dan 38 perwakilan masyarakat sipil.
Inovasi menarik yakni keterlibatan aktif dan cukup menentukan masyarakat sipil dalam pelaksanaan program. Dalam setiap desa/kelurahan , dipilih sembilan orang sebagai komite pengelola. Tiga permintaan pemerintah dan enam mewakili serikat pekerja dan paguyuban warga. Saat ini semua orang miskin Brasil beroleh manfaat dari Fome Zero.
Bagaimana dengan kita?
Strategi SBY-Boediono berangkat dari moto pro poor , pro job , pro growth. Namun , data terbaru (BPS , Maret 2014) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia 28 ,28 juta orang , sekitar 11 ,25 persen. Koefisien Gini , yang mengukur ketimpangan konsumsi , meningkat dari 0 ,30 pada 2000 menjadi 0 ,41 pada 2013.
Saat yang sama dilaporkan , 25 persen anak balita masih menderita kekurangan gizi. Kematian ibu pun , meski dilansir turun drastis dari 307 jadi 226/100.000 kelahiran , sempat diragukan forum internasional yang malah menyampaikan meningkat.
Sebenarnya , selain banyak sekali hal teknis , ibarat koordinasi dan sinergi , aktivitas pemberantasan kemiskinan memerlukan dua hal mendasar: kemauan politik yang berpengaruh dan pilihan paradigma yang pas. Terdapat dua paradigma yang berseberangan ihwal trik pencapaiannya. Pertama , perkiraan bahwa pertumbuhan ekonomi yakni resep terbaik pemberantasan kemiskinan alasannya yakni bakal menyerap tenaga kerja meski kenyataan empiris sepenuhnya menyampaikan hal berbeda. Penyebabnya , terutama maraknya trik berproduksi industri padat modal dan hemat tenaga kerja.
Berseberangan dengan paradigma itu yakni keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu memperoleh penghasilan. Menurut Erhard Berner (2005) , bagi pembangunan , yang lebih penting daripada investasi produktif’ yakni investasi bagi human capital masyarakat miskin , terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Tanpa itu , berlaku bundar setan. Peningkatan tenaga kerja murah bakal menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan (anak-anak) mereka sehat dan pintar.
Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton (2000) , kesenjangan ekstrem yakni penyebab utama terganjalnya pertumbuhan. Investasi untuk orang miskin yakni solusi keluar dari stagnasi ekonomi. Kesuksesan Brasil berupa pemenuhan komitmen presidennya membenarkan analisis Lipton. Dalam pemberantasan kemiskinan , Jokowi diharapkan sanggup mencar ilmu dari kesuksesan di mancanegara , termasuk Brasil.
Ivan Hadar; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Akad Presiden"