Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Keluar Dari Jebakan Involusi

Ignas Kleden

Setiap bangsa mengalami bahwa tidak ada perkembangan sosial yang bersifat unilinear , bagaikan jalan lurus ke depan dengan gerak maju yang serba mulus. Selalu ada faktor-faktor obyektif yang sanggup menghambat.

Sekalipun demikian , kemajuan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor obyektif , tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya , Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa krisis politik ialah hal gres dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi "perang suksesi".

Memang , konflik horizontal masih muncul di sana-sini , dan beberapa agresi teroris masih terjadi , demikian pula ketegangan sektarian antarkelompok. Meski demikian , pemerintahan berjalan tanpa krisis politik. Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat , sementara pers Indonesia tak lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya , dunia menaruh hormat yang tinggi lantaran rakyat Indonesia sanggup menentukan pemimpin dan wakil-wakil rakyat setrik pribadi , mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan anggota dewan perwakilan rakyat sampai tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.

Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla , apakah pemilihan kepala tempat masih perlu diteruskan setrik pribadi atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya , pemilihan pribadi banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan serta gampang menimbulkan konflik horizontal , di samping membutuhkan biaya amat besar. Pemilihan tak pribadi oleh DPRD bakal menghemat triliunan rupiah. Jokowi menjawab , hal terpenting dalam pemilihan pribadi ialah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal ialah duduk perkara teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.

Jangan salahkan rakyat

Dengan argumen-argumen yang solid , banyak penulis telah membantah keberatan terhadap pemilihan kepala tempat setrik langsung. Tulisan ini menentukan untuk memberi perhatian khusus kepada alam pikiran atau visi soal perkembangan sosial. Pada titik inilah dipertaruhkan subyektivitas dalam menghadapi kemajuan. Rakyat kita sering dipersalahkan dalam banyak hal , tetapi rakyat tidak bisa dipersalahkan lantaran meluasnya praktik politik uang di Indonesia. Siapa yang mulai memperkenalkan politik uang?

Dengan niscaya bisa dikatakan , politik uang berawal dari para elite politik lantaran merekalah yang memiliki dana dan kemudian percaya bahwa kehendak rakyat sanggup dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi , kemudian berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini , lambat laun undangan bunyi oleh para elite politik terus meningkat sehingga , sesuai dengan prosedur pasar , undangan yang meningkat bakal menaikkan harga bunyi pemilih. Transaksi jadi mahal dan mengakibatkan pemilihan kepala tempat memerlukan biaya tinggi , bahkan sangat tinggi.

Namun , biaya tinggi hanyalah akhir politik transaksional yang diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akhir ini kemudian dijadikan alasannya dan alasan dalam menolak pemilihan pribadi dan menggantinya dengan pemilihan tak pribadi oleh DPRD. Padahal , biaya tinggi itu bisa diatasi bila para elite politik menghentikan praktik politik uang , sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan tawar-menawar setrik liar , tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf hidup dan membuat kesejahteraan dengan keadilan.

Tentu saja setiap kampanye perlu biaya  (untuk transportasi , iklan , atribut , konsumsi pertemuan , dan lain-lain). Namun , biaya kampanye tidak perlu meliputi dana untuk membujuk konstituen dan membeli bunyi mereka. Sayangnya , sesudah politik transaksional ini menjadi amat mahal , rakyat kembali dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk menentukan setrik pribadi sehingga pemilihan kepala tempat harus diserahkan kembali ke DPRD.

Semua orang tahu , dewan perwakilan rakyat di Indonesia kini ini pada segala tingkatannya bukanlah forum negara dengan nama yang harum. Sebuah survei perihal Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan bahwa dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain menyerupai pemerintah tempat , pengadilan atau partai politik , DPRD ialah forum negara yang memiliki indikator kinerja paling jelek untuk tahun 2013. Dengan tiga tingkat skor yang ditetapkan , yaitu 80-100 sebagai indikator kinerja yang baik , 60-79 untuk kinerja yang sedang , dan di bawah angka itu ialah indikator kinerja yang jelek , skor untuk kinerja DPRD ialah 36 ,62.

Dapat dibayangkan jadinya bila pilkada bakal dilaksanakan forum dengan kinerja yang paling jelek ini. Pengandaian bahwa pemilihan kepala tempat oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik jadinya sudah sanggup ditolak semenjak awal. Selain itu , pilkada oleh DPRD bakal membuat posisi politik kepala tempat tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan kesetaraan Trias Politika di daerah.

Peristiwa ini terjadi pada ketika pemilihan pribadi di Indonesia mulai mengilhami beberapa negara lain untuk melaksanakan hal yang sama. Malaysia , Myanmar , dan Mesir sedang berpikir untuk menerapkan pemilihan pribadi , sementara Hongkong bergolak dalam Umbrella Revolution untuk menuntut pemilihan direktur Hongkong setrik pribadi dan menolak sistem pemilihan melalui perwakilan yang dikehendaki Pemerintah Beijing. Suatu koinsidensi yang amat menyakitkan bahwa ketika puluhan ribu pengunjuk rasa berdemonstrasi di sentra keuangan Hongkong menuntut pemilihan pribadi sambil menghadapi hadangan polisi , dewan perwakilan rakyat kita menetapkan melalui voting pemilihan kepala tempat oleh DPRD kembali berlaku.

Kemajuan digugurkan

Diberlakukannya pilkada setrik tak pribadi ini menjadi pola bagi aborted progress , yaitu kemajuan yang mengalami keguguran atau digugurkan oleh subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya , khususnya mereka yang mengambil keputusan. Kecenderungan ini menjadikan gagalnya perkembangan menuju tahapan yang lebih maju lantaran prosesnya melingkar-lingkar ke dalam dengan kerumitan semakin tinggi , tetapi hanya menghasilkan gerak di tempat.

Tidak terjadi evolusi lantaran perkembangan terjebak dalam involusi , yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju , tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada impian mendukung penegakan aturan dan gerakan anti korupsi , tetapi impian ini mengalami keguguran lantaran disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada impian untuk memiliki kabinet dengan menteri-menteri yang clear and clean , tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta pesan yang tersirat KPK perihal nama-nama calon menteri dipersoalkan.

Ada hasrat memajukan pendidikan nasional , tetapi perencanaan pendidikan selalu bersifat centang perenang lantaran dikelabui kepentingan pragmatis.  Dari tahun 1945 sampai 2014 sudah terjadi pergantian kurikulum  sebanyak 10 kali , yang berarti setiap kurikulum rata-rata  berlaku kurang dari 7 tahun. Atau , ada impian menegakkan kedaulatan rakyat , tetapi hak rakyat menentukan pemimpinnya diambil kembali dan diberikan kepada DPRD.

Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga pada Presiden Yudhoyono menjelang simpulan masa jabatannya. Dalam sebuah pernyataan publik , beliau mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya bakal mendukung pilkada setrik langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang besar sebagai presiden , beliau sanggup mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU Pilkada dengan akhir RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR. Apa pun sebabnya , hal ini tidak dilakukannya.

Selain itu , sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat , beliau sanggup memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan langsung. Yang terjadi kemudian ialah Fraksi Partai Demokrat menyatakan meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting , dengan akhir bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) bila kita masih diminta percaya bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.

Dua usul sanggup diajukan di sini demi perbaikan. Pertama , para legislator kita di dewan perwakilan rakyat sebaiknya merenungkan kembali kiprah utama mereka sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan , tanpa sensibilitas sedikit pun perihal yang bakal ditanggung rakyat akhir permainan mereka dengan kekuasaan. Menurut pesan yang tersirat Bung Karno , machtsvorming , yaitu kudeta , ialah hal penting dalam politik lantaran politik tanpa kekuasaan ialah nonsense. Namun , kudeta harus disertai dengan kemampuan menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum , perlu disertai machtsaanwending lantaran tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar , para legislator bakal bertindak menyerupai pemilik kendaraan beroda empat glamor yang tidak tahu menyetir Jaguar dan menabrak mati orang-orang di jalanan.

Kedua , dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will gres ada artinya apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik , tidak digugurkan di tengah jalan lantaran orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari tujuan yang hendak dicapai. Tidak bakal membawa kemajuan apa pun bila sesudah melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang kemudian , pribadi ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) sesudah satu atau dua tahun , atau mempersulit implementasi kebijakannya di dewan perwakilan rakyat melalui kekuasaan lebih banyak didominasi anggota Dewan.

Dalam hal itu , negara maju menyerupai Amerika Serikat atau negara lain amat memuliakan apa yang dinamakan national interest. Dengan aneka macam perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap orang bakal tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional. Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye dan pemilu bakal merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan , kita bakal terus-menerus terjebak dalam aborted progress lantaran kita sendiri membuat kendala bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.

Dalam hal ini , pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri , dengan berusaha menyenangkan segala pihak. Yang kita inginkan ialah kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh keyakinan: ini tanggung jawab saya. Seorang pemimpin tidak perlu menyampaikan segala sesuatu , tetapi yang dikatakannya haruslah sanggup mengemban amanah dan dijadikan pegangan seluruh bangsa.

Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi


0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Keluar Dari Jebakan Involusi"

Total Pageviews