Acep Iwan Saidi
”Kelaparan yakni burung gagak yang licik dan hitam....” Demikian WS Rendra dalam salah satu puisinya , ”Doa Orang Lapar”.
Lapar yang dimaksud Rendra bukan hanya biologis , melainkan juga psikologis. Lapar biologis berafiliasi dengan kebutuhan. Lapar ini sembuh sesudah diobati dengan makan. Sementara lapar psikologis berkaitan dengan keinginan. Ia justru bakal mengembangbiakkan lapar yang lain saat dipenuhi.
Kehidupan masyarakat di negeri ini , khususnya di dunia politik , terus dilanda kelaparan psikologis: lapar kekuasaan. Fenomena pemilihan presiden yang gres berlangsung adalah representasi dari hal tersebut. Pilpres tidak hanya menentukan presiden , tapi—lebih dari itu—merupakan pertempuran kepentingan banyak sekali pihak. Di sinilah kemudian terlihat gimana orang-orang lapar kekuasaan bergentayangan. Mereka licik dan hitam.
Hal yang kian memprihatinkan , puncak dari pertempuran kelicikan itu terjadi pada bulan Ramadhan , sebuah momen yang bukan hanya agung dalam perspektif agama , melainkan juga luhur dalam konteks sejarah berbangsa. Segimana dicatat sejarah , 69 tahun kemudian , bangsa ini membebaskan diri dari belenggu penjajahan aneh , sempurna saat melakukan saum Ramadhan.
Mengacu pada ingatan tersebut , fakta hari ini bisa dibilang tragedi. Dari puncak kemenangan tahun 1945 itu , setrik substansial kita tak beranjak ke tangga peradaban lebih tinggi untuk merampungkan revolusi yang belum selesai (Soekarno) , tapi justru menukik ke jurang kenistaan yang nyaris melesapkan adab.
Mentalitas lapar psikologis
Hal itu terjadi sebab pembangunan negara-bangsa kian hari bergerak ke lapis luar peradaban , bukan menukik ke lapis dalam demi menebalkan fondasi huruf yang telah susah payah dibangun para pendiri. Mentalitas berbangsa yang ringkih itu juga berbanding lurus dengan ringkihnya mentalitas beragama. Lihatlah , ibadah puasa pun didefinisikan ”menahan lapar dari terbit fajar hingga terbenam matahari”. Kita tak pernah bertanya , jikalau puasa merupakan ibadah yang meniscayakan lapar , mengapa harus ditahan , mengapa bukan justru dinikmati?
Sikap kita terhadap bulan Ramadhan jadi ambivalen. Ramadhan diagungkan , tetapi seraya digiring menjadi bulan yang terkucil. Ramadhan seolah jadi satu-satunya ruang dan waktu untuk menguras seluruh kemampuan dan kesediaan beribadah. Kita bertadarus , beramai-ramai memenuhi masjid , beramal , dan seterusnya.
Dengan kata lain , Ramadhan dijadikan kesempatan mengejar pahala sebanyak-banyaknya , semacam ”aji mumpung” dalam beribadah. ”Mumpung Ramadhan kini kita masih hidup , siapa tahu tahun depan tak bertemu lagi dengannya ,” demikian ungkapan yang sering didengar dari para pendakwah.
Tidak ada yang salah dengan watak demikian. Masalahnya , tak pernah ada refleksi bahwa hal itu ternyata membentuk pribadi yang pamrih. Kita memahami firman Tuhan yang—melalui sabda Rasulullah—menyatakan , saum yakni satu-satunya ibadah untuk Tuhan (hadis riwayat Bukhari-Muslim). Firman ini terang mengirim pesan bahwa saum yakni ibadah yang meminta totalitas keikhlasan. Namun , faktanya , pemahaman tersebut tidak diamalkan. Ibadah puasa dilaksanakan untuk diri sendiri. Kita beribadah semata-mata mengejar pahala tinggi yang dijanjikan Tuhan. Setelah Ramadhan usai , kita pun kembali kepada sedia kala: masjid yang sunyi.
Dengan demikian , Ramadhan menjadi semacam panggung pertunjukan ibadah , sedangkan Idulfitri yakni layar yang menutupnya , tanda bagi selesainya pementasan. Kita tidak pernah berpikir bahwa saum yang terberat bergotong-royong dimulai sesudah Lebaran. Bukankah di bulan lain Tuhan tidak menjanjikan pahala ibadah setinggi pahala di bulan Ramadhan? Namun , kita memang tak pernah bisa beribadah dengan tulus , kecuali hanya di dalam ucapan. Akibatnya , ibadah saum yang ”aji mumpung” tadi hanya bisa menahan lapar biologis , tidak hingga pada perjuangan mengendalikan hasrat sehingga kita tetap menjadi insan dengan mentalitas lapar psikologis.
Ibadah formalistik yang membuat ”diri pamrih” di atas ternyata juga merembet ke seluruh bidang kehidupan. Hidup jadi arena kepentingan yang sesungguhnya. Wajar jikalau dunia politik mudah dipenuhi individu yang hanya mengejar kepentingan diri dan kelompoknya.
Hampir tak ada pihak yang menengarai hal ini. Lembaga pendidikan tak pernah mengajarkan penerima didik jadi insan yang tulus , tetapi cenderung jadi pribadi pemuja sertifikat. Sekolah menjadi mitos perihal jalan lurus menuju kehidupan duniawi yang lebih baik. Perguruan tinggi tak menjadi forum nilai , tetapi institusi yang materialistik.
Mengendalikan ”lapar”
Maka , menjadi jamak pula jikalau dari fenonema masyarakat demikian tidak lahir pemimpin dan kepemimpinan yang berkarakter. Makara pemimpin bukan didasari keikhlasan berbakti kepada negara-bangsa , melainkan demi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Janji mengabdi kepada negeri hanya ada di lirik sebuah lagu wajib yang didendangkan pada setiap upatrik. Selebihnya , hanyalah label yang dilekatkan pada pegawai negeri sipil (PNS).
Pertanyaannya , gimana situasi tersebut harus diperbaiki? Revolusi mental kiranya bisa jadi sebuah jawaban. Revolusi mental tidak hanya penting , tetapi mendesak , bahkan untuk mentalitas dalam kaitan dengan kehidupan beragama. Sudah terlalu jauh bangsa ini menyimpang dari cita-citanya semula. Revolusi mental bergotong-royong tidak lain yakni ikhtiar keras untuk ”kembali ke titik awal” impian berbangsa dan bernegara.
Usaha ini harus dimulai dari pucuk pimpinan nasional , dari kepala negara. Kini , kita tidak butuh pemimpin yang hanya memiliki gagasan besar dengan verbal besar. Di tengah-tengah realitas sosial yang borok dari puncak hingga ke dasar , yang diperlukan yakni pemimpin yang menyediakan tubuhnya untuk pergi ke setiap titik problem , masuk ke dalam hutan untuk melihat satu per satu jenis flora di dalamnya.
Pemimpin demikian yakni sosok yang berani mengubah definisi ”menahan lapar” menjadi ”menikmati lapar”. Ia tak menimbulkan lapar sebagai bom waktu yang ditahan , yang sewaktu-waktu bisa meledak menelan apa pun , menjadikannya insan rakus saat terbuka kesempatan. Ia harus bisa mengalihkan rasa lapar jadi daya tenggang rasa bagi rakyat yang dipimpinnya.
Dalam konteks ini , apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib yakni rujukan yang tepat. ”Akan saya perangi kemiskinan ,” kata Ali. Namun , setrik material , Ali sendiri hidup di bawah garis kemiskinan rakyat yang dipimpinnya. Ali rela jadi miskin untuk memperkaya bangsanya. Bagi Ali , kemiskinan yakni kekayaannya. Inilah sosok pemimpin yang memiliki ketegasan sejati , yakni tegas untuk mengendalikan lapar psikologis , hasrat kuasa yang tak berkesudahan di dalam diri.
”Musuh terbesar kita yakni diri kita sendiri ,” demikian disampaikan Nabi Muhammad SAW saat Perang Badar selesai. Perang melawan diri sendiri memang tak pernah berhenti. Karena itu , supaya di tamat Ramadhan ini kita sanggup dua kemenangan: kemenangan atas lapar psikologis sehingga kembali fitri dan kemenangan atas presiden gres yang memberi harapan.
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB; Pembina Komunitas Kubah Merah
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Lapar"