Salahuddin Wahid
SAYA tertarik pada judul isu halaman 1 sebuah harian: ”Banyak Warga Sudah Lupakan Peristiwa G30S/PKI”. Diberitakan bahwa tidak banyak lagi yang mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September 2014. Judul di atas menunjukkan fakta yang bahwasanya bahwa kita memang melupakan banyak hal terkait Peristiwa G30S.
Yang dilupakan antara lain ialah fakta bahwa 50 tahun-70 tahun kemudian terdapat konflik ideologis antara partai komunis dan kelompok lain , yaitu Tentara Nasional Indonesia , partai berdasar Pancasila , dan partai-berdasar Islam. PKI dan organisasi pendukungnya menggunakan trik kekerasan terhadap pencetus Partai NU dan organisasi pendukungnya serta pencetus organisasi Islam lain. Selain itu , juga terdapat kontradiksi ideologis antara partai Islam dan partai Pancasila , yang gres diakhiri pada 1985.
Duduk masalah bahwasanya dari Peristiwa G30S sepertinya tidak bakal pernah jelas. Siapa pihak yang merencanakan dan menjalankan operasi G30S itu sepertinya tidak bakal sanggup kita ungkap. Ada sejumlah teori wacana siapa yang menjadi dalang. Ada teori bahwa PKI yakni dalangnya , bahwa dalangnya yakni Pak Harto , atau CIA , atau jawaban konflik internal AD atau bahkan Bung Karno.
Untuk sanggup menjawab teka-teki sejarah itu , Presiden Megawati membentuk tim sejarawan dan mahir lain yang dipimpin oleh Prof Taufik Abdullah. Ternyata tim itu tidak berhasil mencapai kata sepakat untuk memecahkan teka-teki di atas. Para guru Sejarah tentu sulit untuk menjawab pertanyaan siswa wacana duduk masalah itu.
Masalah yang dihentikan dilupakan dan merupakan salah satu duduk masalah terbesar bangsa kita adalah tindakan pembunuhan terkait ”Peristiwa G30S” yang memakan korban ratusan ribu bahkan mungkin jutaan warga yang diduga anggota PKI dan organisasi pendukungnya.
Juga terjadi kebijakan diskriminatif terhadap keluarga korban. Hampir setengah kurun berlalu belum ada gejala bahwa bakal diperoleh penyelesaian yang menyeluruh dan tuntas. Sudah ada kemajuan yang kita capai , keturunan PKI sudah sanggup menjadi anggota dewan perwakilan rakyat dan tampil dalam banyak sekali posisi di dalam masyarakat. Bagi para korban dan keluarga , penyelesaian itu dianggap belum tuntas.
Mengungkap fakta
Dalam program Kick Andy (2005) , saya bertemu seorang anggota Banser yang mengaku mengeksekusi mereka yang dianggap warga PKI/organisasi pendukungnya. Dia mengaku menerima perintah itu dari pimpinan Tentara Nasional Indonesia tingkat kecamatan.
Dia meminta nasihat dari seorang kiai dan diingatkan bahwa jikalau menolak , ia justru bakal menjadi sasaran. Saat tampil di depan layar TV , anggota Banser itu menggunakan topeng , tetapi di diam-diam ia tampil terbuka. Setelah selesai program ia menyampaikan bahwa ia merasa beban berat yang selama puluhan tahun harus dipikulnya sekarang terasa jauh berkurang.
Host program itu menanyakan tanggapan saya terhadap pengukuhan anggota Banser tersebut. Menurut saya , kita beruntung tak berada pada posisi anggota Banser itu. Siapa pun yang berada pada posisi itu , termasuk tokoh-tokoh PKI , bakal melaksanakan tindakan sama. Kalau kita tak mau melaksanakan perintah pimpinan Tentara Nasional Indonesia kecamatan , amat mungkin kita dianggap anggota PKI. Jumlah anggota Banser ibarat itu amat banyak. Mereka jadi korban dari keadaan yang tak sanggup dihindari.
Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer mengungkap kekejian eksekutor , anggota Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara. Dalam film tersebut diperlihatkan bahwa para pelaku itu tidak merasa bersalah dan tidak menyesal. Ada film lain dari Oppenheimer yang juga terkait Peristiwa G30S , yaitu The Look of Silence , yang mengisahkan seseorang berjulukan Adi Rukun yang kakaknya dibunuh pada tahun 1965. Dia mencoba mencari pembunuh kakaknya itu. Kedua film tersebut menerima penghargaan luar biasa di luar negeri , tetapi di sini belum tentu sanggup diterima oleh masyarakat luas.
Majalah Tempo September 2012 mengungkap sejumlah tindakan sanksi di Jawa Timur , yang umumnya yakni warga NU. Tulisan itu kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Pengakuan Algojo 1965. Struktur dan warga NU tentu merasa keberatan terhadap laporan Tempo itu. Untuk mengimbangi buku tersebut , mereka menerbitkan buku Benturan NU-PKI 1948-1965 dengan perspektif berbeda.
Rekomendasi Komnas HAM
Saat saya menjadi anggota Komnas HAM ada usul untuk membuat Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat terhadap Peristiwa 1965-1966. Saya sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tak mau ikut dalam tim lantaran ada konflik di dalam diri saya sehingga saya khawatir tidak sanggup bersikap obyektif. Ternyata tim itu tidak jadi dibuat dan yang dibuat ialah Tim Penelitian Kasus Pulau Buru. Saya masuk ke dalam tim itu , tetapi tidak pernah bekerja lantaran pada awal Mei 2004 saya mengundurkan diri dari Komnas HAM ketika menjadi cawapres.
Pada Juni 2008 dibentuklah Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966. Tim bekerja hampir empat tahun dan pada final April 2012 menuntaskan tugasnya dan disetujui rapat pleno , Juli 2012. Tim melaksanakan investigasi terhadap saksi dan korban berjumlah 349 orang , melaksanakan peninjauan eksklusif ke daerah. Tim menyimpulkan diduga telah terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan tim telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan pada Agustus 2012 berlangsung pertemuan antara pimpinan Komnas HAM dan pimpinan Kejaksaan Agung untuk membahas tindak lanjut terhadap hasil penyelidikan. Sampai hari ini belum ada hasil aktual dari planning tindak lanjut itu. Tak usang sehabis pertemuan itu , sejumlah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dan tokoh-tokoh ormas tertentu berkumpul untuk membahas duduk masalah tersebut.
Mereka menemui Presiden SBY dan meminta semoga Presiden tidak meminta maaf kepada para korban. Saya mengusulkan melalui Dr Albert Hasibuan semoga Presiden meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka , dan menegaskan bahwa usul maaf itu bukan kepada organisasi PKI.
Tim Komnas HAM untuk Peristiwa 1965-1966 membuat rekomendasi : 1) Meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan. 2) Hasil penyelidikan ini sanggup juga diselesaikan melalui prosedur nonyudisial demi untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya (KKR). Namun , kita tahu bahwa pada 2007 , UU KKR telah dibatalkan MK pada ketika KKR dalam tahap final pembentukannya. Sampai sekarang belum ada lagi prakarsa untuk membentuk KKR.
Rekonsiliasi sosial-budaya telah berjalan cukup usang , diprakarsai sejumlah anak muda khususnya dari kalangan NU. Banyak bawah umur dari para anggota Banser yang melaksanakan sanksi kepada para korban 1965 merasa punya tanggung jawab membantu keluarga korban. Namun , masih cukup banyak kelompok yang tak menghargai upaya rekonsiliasi ini. Kelompok ini masih berpengaruh perilaku penolakannya terhadap hal atau kelompok yang berbau komunisme. Hal itu disebabkan pengalaman kesejarahan pada masa lampau ketika mereka jadi korban tindak kekerasan warga PKI dan organisasi pendukungnya.
Ternyata waktu setengah kurun masih belum cukup untuk mewujudkan rekonsiliasi dan menuntaskan dengan tuntas bermacam-macam duduk masalah yang muncul sebagai jawaban dari Peristiwa G30S dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Mungkin sehabis generasi yang sekarang berusia di atas 65 tahun telah hilang , gres ada kemungkinan rekonsiliasi terwujud. Perlu dicatat , jikalau keluarga korban dan warga eks PKI bakal melaksanakan lagi yang dilakukan PKI pada 1948-1965 , bakal timbul lagi konflik yang sama.
Salahuddin Wahid; Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sehabis 49 Tahun"