Trias Kuncahyono
Tak seorang pun tahu niscaya siapa yang menemukan—yang pertama kali membuat—karikatur. Itu kalimat pertama artikel ”The History of Caricature” yang ditulis Douglas Wolk (The New York Times , 2 Desember 2011).
Pernyataan itu terasa relevan diajukan lagi dikala ini sesudah terjadi bencana yang menimpa mingguan satire Charlie Hebdo , terbitan Paris , Perancis. Hari Rabu kemudian , kantor mingguan itu diserang orang bersenjata , yang setrik masbodoh menembak mati 12 orang , empat orang di antaranya yakni karikaturis.
Mungkin , penemunya yakni Leonardo da Vinci. Seniman , penulis , jago matematika , dan penemu yang hidup di zaman Renaisans ini lahir pada 15 April 1452 , di Vinci , Italia. Karya-karyanya sangat kondang. Dua di antaranya yakni ”Mona Lisa” dan ”The Last Supper”.
Benarkah Leonardo da Vinci? Yang niscaya , kata karikatur (bahasa Indonesia) asal mulanya berasal dari bahasa Italia (caricatura , kata benda , dan kata kerjanya yakni caricare yang berarti memuat , memberati , melebih-lebihkan). Kedua kata itu berakar dari bahasa Latin , carricare. Itu berdasarkan kamus Merriam-Webster dan gres dipakai dalam bahasa Inggris mulai tahun 1500-an.
Apabila seseorang digambar setrik karikatural , sang karikaturis bakal mengeksploitasi ciri lahiriah sang tokoh sedemikian rupa untuk menghasilkan efek komik atau fantastis , absurd sekali. Misalnya , seorang Mick Jagger yang dikenal sebagai penyanyi berbibir ndower , dibentuk lebih ndower lagi; atau tokoh politik yang suka bohong , digambar dengan hidung yang panjang ibarat pinokio.
Dalam bukunya , How to Draw Caricatures , Lenn Redman menulis bahwa esensi dari karikatur yakni pernyataan atau penggambaran yang dilebih-lebihkan , tetapi distorsi , pemutarbalikan. Ia menyarankan para karikaturis melebih-lebihkan demi kebenaran dan bukannya menyangkal kebenaran.
”Pendek kata , penggambaran wajah seseorang yang populer dengan trik melebih-lebihkan ciri lahiriahnya tujuannya yakni untuk mengkritik , sekaligus mencerminkan perbuatannya. Bisa , contohnya , wajahnya dibentuk ibarat wajah hewan ,” kata karikaturis kondang GM Sudarta.
Sekalipun demikian , orang bakal dengan gampang mengenali siapa tokoh yang digambar setrik karikatural itu. Di Perancis , pada awal tahun 1880-an , Charles Philipon yang sering disebut sebagai ”bapak karikatur politik Perancis” menggambarkan kepala Raja Perancis Louis-Philippe ibarat buah pir. Gambaran Louis-Philippe ibarat itu segera diterima publik sebagai simbol Louis-Philippe dan rezimnya. Namun , semenjak itu diterbitkan undang-undang yang membatasi kebebasan pers dan hasilnya karikatur politik dilarang.
Karikatur , sebab itu , dikatakan sebagai cuilan dari kebebasan berekspresi , kebebasan mengemukakan pendapat , yang yakni kerikil sendi dari demokrasi. Akan tetapi , berdasarkan Howard LaFranchi , (The Christian Science Monitor , 9/1/2015) , karikatur di Charlie Hebdo , bête et mechant (bodoh dan ganas). Itu sangat berbeda dengan konsep jurnalisme , yakni ”tidak melukai , mempermalukan , menghina , dan menghabisi pihak lain” meskipun tetap mengkritik setrik tajam.
Tragedi Charlie Hebdo memang tidak hanya menyisakan satu pertanyaan dengan kesedihan , tetapi bahkan bertumpuk-tumpuk pertanyaan dengan penuh keprihatinan menyangkut kebebasan berekspresi , kebebasan mengemukakan pendapat , demokrasi , terorisme , kesadisan , peradaban , dan perihal nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu , bencana di Paris itu menegaskan bahwa (ternyata) kekejaman , yakni kekejaman terhadap kemanusiaan , dikala ini masih demikian banyak , terjadi di mana-mana , dan sanggup menimpa siapa saja sebab alasan apa pun.
Para karikaturis , takutkah kalian sesudah bencana Charlie Hebdo? ”Saya tidak takut ,” jawab seorang karikaturis. Oh , ya? ”Ya. Inilah hidup saya. Yang penting saya tidak berbuat jahat. Saya membela kebenaran ,” katanya lagi.
Tentu , tidak perlu ditanya lagi , ”Apa itu kebenaran?”
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Karikatur"