Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pemerintah Baru| Duduk Perkara Lama

Ignas Kleden

Pada 21 Agustus 2014 Mahkamah Konstitusi menetapkan menolak seluruh permohonan dan somasi pihak Prabowo-Hatta , baik somasi mengenai rekapitulasi bunyi oleh KPU maupun somasi menyangkut pelanggaran pelaksanaan Pilpres 2014 , yang diklaim bersifat terstruktur , masif , dan sistematis.

Dengan demikian , masalah legalitas telah final , tetapi masalah legitimasi pimpinan nasional terpilih ini seakan gres dimulai. Kita tahu , legalitas yakni korelasi suatu jabatan dengan peraturan perundang-undangan: apakah adanya suatu jabatan tertentu dibenarkan oleh UU , apakah pejabatnya sendiri memenuhi persyaratan yang ditetapkan UU , dan apakah jabatan itu diperoleh melalui mekanisme yang tidak bertentangan dengan ketentuan UU? Karena itulah legalitas ditetapkan oleh forum peradilan.

Legitimasi , sebaliknya , merujuk pada korelasi antara seorang pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Di sini dipersoalkan apakah wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin merupakan kekuasaan yang disetujui dan dibenarkan oleh mereka yang bakal dipimpinnya? Apakah bunyi dan persetujuan rakyat diberikan melalui lembaga-lembaga yang mewakili rakyat dan melalui proses yang menjamin keterwakilan rakyat?

Legitimasi yakni kelayakan suatu kekuasaan politik untuk menerima ratifikasi (Anerkennungswuerdigkeit einer politischen Ordnung , kata filsuf Juergen Habermas) lantaran didukung oleh kepercayaan rakyat. Tentu saja kepercayaan itu diberikan berdasarkan keyakinan bahwa pemimpin tersebut bakal memperhatikan aspirasi rakyat yang dipimpinnya dan sanggup memenuhi aspirasi itu melalui kegiatan politiknya.

Sosialisasi visi dan misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden selama masa kampanye dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada rakyat apa yang hendak dilakukan oleh sepasang calon kalau mereka diberi kekuasaan dan mandat sebagai presiden dan wakil presiden. Sekalipun demikian , setiap sosialisasi visi dan misi punya keterbatasannya sendiri.

Keterbatasan pertama ialah visi dan misi memperlihatkan apa yang hendak dan ingin dilakukan , tetapi belum memperlihatkan apakah pemimpin bersangkutan sanggup melaksanakan apa yang diinginkannya. Selain itu , visi dan misi memang memperlihatkan apa yang dipikirkan seorang calon pemimpin , tetapi belum memperlihatkan sama sekali siapa gotong royong calon pemimpin itu: gimana riwayat hidup dan riwayat kepemimpinannya , gimana profil kepribadiannya , apa saja keunggulan kompetensi dan keutamaan dalam wataknya yang bisa diandalkan , serta apa saja kelemahannya yang sanggup mengganggu dan merugikan kepemimpinannya.

Hal ini tertolong dengan adanya debat di televisi antarpara calon. Dalam debat-debat itu rakyat sanggup menyaksikan gimana setiap pasangan memberikan gagasan , mengajukan pertanyaan , dan memperlihatkan jawaban. Debat-debat itu sanggup memperlihatkan gimana setiap pasangan memperjelas dan mempertahankan gagasan mereka. Selain itu , diperlihatkan juga perilaku para calon dalam menghadapi kebanggaan dan kritik , gimana menangkis serangan dan menanggapi pertanyaan yang sensitif , serta sejauh mana seorang calon pemimpin membuka mata untuk melihat realitas sosial-politik tanpa distorsi berlebihan.

Beberapa pertanyaan

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014 , masalah aturan dengan pihak Prabowo-Hatta relatif final , tetapi kini pasangan Jokowi-JK berhadapan dengan rakyat yang menentukan mereka. Pada titik ini sanggup muncul beberapa pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tak cukup lagi diberikan lewat pidato resmi atau orasi di banyak sekali kesempatan , tetapi melalui tindakan dalam mengimplementasikan apa yang dijanjikan dalam visi dan misi , dan setrik khusus dalam sembilan kegiatan yang dinamakan Nawa Cita. Ada beberapa tingkat pertanyaan yang patut diuraikan dengan lebih rinci di sini , sambil merujuk pada sembilan kegiatan Nawa Cita.

Pertama , apakah Jokowi-JK berkomitmen penuh dan sanggup meneruskan dan menyempurnakan kegiatan yang belum terselesaikan dalam pemerintahan sebelumnya? Apakah mereka sanggup menghadirkan negara sebagai institusi tertinggi yang harus memperlihatkan proteksi dan rasa kondusif bagi seluruh bangsa dan setiap warga negara? Dapatkah dibangun suatu pemerintahan higienis yang efektif sekaligus demokratis? Apakah mereka cukup besar lengan berkuasa mendorong terciptanya public good gkelewat / overnance melalui penegakan aturan dan reformasi birokrasi sehingga pemerintahan jadi bermartabat dan tepercaya lantaran terbebas dari korupsi? Mungkinkah didorong produktivitas rakyat dan dipacu kemampuan bersaing di pasar internasional? (Nawa Cita no 1 , 2 , 4 , dan 6).

Kedua , apakah mereka sanggup meningkatkan kualitas hidup insan Indonesia , fisik dan nonfisik , yang bakal tecermin dari naik-turunnya indeks pembangunan insan di Indonesia? Selanjutnya , apakah kemandirian ekonomi sanggup makin diperkuat dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik? Ini artinya bakal ada suatu ekonomi di Indonesia yang lebih mencerminkan kepentingan Indonesia dan kekuatan ekonomi nasional , tak sekadar jadi bayangan atau gema ekonomi global. Juga , adakah kesanggupan dan tekad berkelanjutan untuk memperkuat kebinekaan yang niscaya bakal menghadapi dua tantangan sekaligus. Dari dunia internasional , kebinekaan berhadapan dengan potensi homogenisasi kebudayaan sebagai arus besar lengan berkuasa yang tiba bersama globalisasi kebudayaan industrial. Dari dalam negeri , kebinekaan dan kemajemukan bakal berhadapan dengan kecenderungan sektarian dengan tendensi yang monolitik , yang melihat perbedaan sebagai bahaya (Nawa Cita no 5 , 7 , dan 9).

Ketiga , apakah pemerintahan gres nanti sanggup membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat kawasan dan desa-desa dalam kerangka NKRI? Ini keinginan mulia yang orisinal , tetapi yang bakal menghadapi kesulitan besar dalam memfalsifikasi konsep center-periphery dalam teori world system atau teori dependentia dari Amerika Latin. Juga , sama ambisiusnya , meskipun sama sahnya untuk melaksanakan revolusi huruf bangsa , antara lain dengan membalikkan proporsi pendidikan huruf dan pengajaran ilmu pengetahuan dalam kurikulum sekolah. Asasnya: makin rendah tingkat pendidikan , makin besar porsi pendidikan huruf , dan makin tinggi tingkat pendidikan , makin besar porsi pengajaran ilmu pengetahuan (Nawa Cita no 3 dan 9).

Pertanyaan pertama sanggup dipastikan bakal banyak menerima pinjaman dari Presiden SBY lantaran program-program di tingkat ini lebih kurang meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya. Sesuai komitmen SBY , kelanjutan ini bakal menerima dukungannya dan pinjaman Partai Demokrat yang dipimpinnya. Pemerintahan yang higienis , good gkelewat / overnance , penegakan aturan dan reformasi birokrasi , serta peningkatan produktivitas rakyat dan penguatan kemampuan bersaing dalam ekonomi yakni program-program yang amat sering terdengar dalam pemerintahan SBY meskipun pelaksanaannya belum mencapai hasil yang sanggup dianggap sebagai warisan pemerintahannya. Kalau program-program di tingkat ini sanggup dilaksanakan dengan mulus dan sanggup mengatasi banyak sekali kendala dalam pelaksanaannya , pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sanggup dikatakan berhasil.

Program-program menyangkut pertanyaan kedua sanggup dianggap lebih berani dari yang sudah dilakukan pemerintahan SBY. Mengusahakan ekonomi yang semakin berdikari dengan menggerakkan sektor-sektor strategis dalam ekonomi domestik merupakan langkah untuk menjawab tuduhan perihal kecenderungan ke arah neoliberalisme dalam ekonomi Indonesia sekarang. Ekonomi tidak sekadar diperlakukan sebagai sektor yang bergantung pada kekuatan pasar , tetapi amat ditentukan oleh kekuatan rakyat sendiri.

Demikian pula peningkatan kualitas insan , kalau dijalankan sungguh-sungguh bakal banyak memengaruhi banyak sekali bidang , menyerupai kesehatan , etos kerja , kemampuan dan pencapaian dalam mencar ilmu , peningkatan gizi , serta perhatian yang semakin luas terhadap peranan etik dalam ekonomi dan politik. Peningkatan kualitas insan mau tak mau harus memperhatikan terbentuknya individu yang lebih sehat dan matang setrik intelektual dan sosial , yang hingga kini banyak terabaikan lantaran salah paham bahwa perhatian pada terbentuknya individu yang besar lengan berkuasa bakal membawa kepada individualisme.

Demikian pula apabila kebinekaan dan kemajemukan bisa dikembangkan setrik seimbang dalam politik Indonesia , hal ini terang menjadi kemudahan besar dalam pengembangan demokrasi substantif. Kalau program-program di tingkat ini sanggup diimplentasikan dan sanggup mengatasi hambatan-hambatan yang ada , pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bukan saja berhasil , melainkan juga membuat kemajuan dalam politik Indonesia.

Program yang amat menantang

Pertanyaan ketiga boleh dikata merupakan hasil pemikiran kelompok Jokowi-JK dan memperlihatkan keberanian politik yang amat menantang. Menggerakkan ekonomi dari pinggir ke titik yang lebih sentral merupakan suatu paradigma yang menentang banyak realitas besar dalam pembangunan. Hal ini pun tampaknya belum pernah dicoba di dalam politik Indonesia. Gerak yang terlihat dalam pembangunan di banyak sekali negara yakni gerak dari sentrum ke periferi , yaitu dari tengah ke pinggiran. Pinggir dalam konsep ini bukan saja keterangan tempat , melainkan juga suatu ukuran kualitatif. Gelombang yang bergerak dari pusat berupa kekuasaan dan modal bakal semakin mengecil saat hingga ke pinggiran sehingga dalam banyak kasus pinggir menjadi penggalan yang seluruhnya bergantung pada suatu pusat.

Otonomi kawasan masih sanggup jadi contoh. Delegasi wewenang dari pemerintah pusat ke kawasan masih saja menyisakan ketergantungan kawasan ke pusat dalam hal keuangan , khususnya daerah-daerah dengan pendapatan orisinil kawasan yang kecil , sehingga wewenang yang diserahkan ke kawasan dari pintu depan masuk kembali ke pusat dari pintu belakang. Sebab , setiap bulan bupati-bupati menghabiskan hari kerjanya lebih banyak di Jakarta daripada di daerah.

Demikian pula revolusi mental dan huruf terang gagasan gres Jokowi-JK. Persoalan , apakah terobosan di tingkat mental sanggup menembus jaringan sosial yang sudah terbentuk berdasarkan pola usang serta sanggup memperbarui kebudayaan fisik dan basis materiil dalam kebudayaan Indonesia. Baiklah diingat bahwa Revolusi Kebudayaan di Tiongkok di bawah Mao lebih tercatat sebagai kegagalan yang mengakibatkan desintegrasi masyarakat Tiongkok daripada memajukannya.

Itu sebabnya kalau kegiatan menyangkut pertanyaan ketiga ini sanggup dilaksanakan , pemerintahan Jokowi-JK bukan saja bakal berhasil (pertanyaan satu) , dan bukan juga membawa kemajuan (pertanyaan dua) , melainkan membawa perubahan dan pembaruan yang historis. Ibaratnya , pemerintahan gres ini bukan saja melaksanakan perbaikan suatu teks dengan melaksanakan copy-editing yang cermat sehingga teks yang usang menjadi lebih terang terbaca , melainkan membuat teks gres dengan narasi gres yang sanggup melahirkan imajinasi gres dalam politik Indonesia.

Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pemerintah Baru| Duduk Perkara Lama"

Total Pageviews