Radhar Panca Dahana
Ilustrasi semacam ini telah menjadi pengetahuan umum di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia: hampir lenyapnya kesantunan atau etika berlalu lintas di jalan raya. Pelanggaran-pelanggaran yang ekstrem terjadi di depan kita setiap hari , bahkan di depan mata petugas yang sebetulnya berkewajiban etis dan konstitusional mengatasi semua itu.
Kemacetan parah , ratusan kendaraan melawan arus , melanggar marka seenaknya , mengendarai motor dengan lebih dari dua penumpang , atau pengangkut umum yang menjadi algojo jalanan , contohnya , terjadi bahkan persis di depan kantor polisi yang dengan mentereng tetap memajang slogan ”Siap Melayani Anda”.
Ketidaksantunan berlalu lintas macam di atas hanyalah representasi kecil dari dilanggarnya keadaban hidup kita—baik berbasis aturan formal , adat/tradisi , atau agama—dalam hidup (hiper-)pragmatis kita sehari-hari. Sejumlah trik berpikir dan berperilaku gres kita adopsi begitu saja , tanpa pengendapan secukupnya , kemudian menjadi nilai yang semula bersifat personal kemudian menjelma norma yang bersifat komunal , bahkan nasional. Di tingkat ini , tidak peduli ia negatif atau destruktif , konsensus normatif sesungguhnya juga sudah menjadi sebuah produk kebudayaan.
Maka , kita pun melihat , menjadi saksi hidup , bahkan mungkin ikut mempraktikkan situasi kaotis pada level dasar kebudayaan itu , pada kehidupan pribadi kita di keluarga/rumah tangga , di pergaulan lingkungan , di tempat kerja , dalam birokrasi , bahkan instansi-instansi negara yang sesuai dengan obligasinya harus menjadi pembela atau penegak nilai-nilai luhur , mulia , positif , dan konstruktif.
Seorang menteri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono dikala ini mencemaskan pemerintahan mendatang mengalami kegagalan mendasar ketika harus berhadapan dengan aparatus (birokrasi) yang nilai personal dan komunalnya , bahkan norma-norma umumnya , tidak hanya negatif dan destruktif , tetapi juga menggerakkan involusi yang laten. Sinyalemen , bahkan telah dibuktikan oleh banyak peneliti , gimana anggaran belanja negara digerogoti lebih dari 50 persen oleh pangreh praja alias aparatus birokrasi dengan nilai dan norma gres yang tak lain pelanggaran dan pengkhianatan pada etos dan etika kepegawaian.
Bahkan , spesialis manajemen negara yang disetujui rekan jago aturan tata negara menyatakan diperlukan lebih dari dua generasi mereparasi mentalitas dan rasionalitas destruktif dari birokrasi , mulai dari pegawai pemerintah kawasan , sentra , hingga forum penegak aturan , menyerupai kejaksaan , kehakiman , hingga kepolisian. Itu pun jikalau niat , perjuangan , dan stamina beberapa pemerintahan yang menjalankan perbengkelan insan itu terjaga kekuatan dan keberlanjutannya.
Artinya , apakah situasi kaotis setrik mental-rasional bahkan spiritual itu mendapatkan jalan buntu , atau melingkar tak henti menyerupai tong setan atawa siklus nasib insan Sisyphus dalam absurditas Albert Camus? Tak mengherankan jikalau kebanyakan masyarakat (kecil dan menengah , terutama) mengilusikan munculnya pemimpin gres yang Satrio Piningit , dalam arti ia tak muncul dari ”lingkaran setan” kaum elite yang berposisi sebagai patron bagi para kliennya. Mengimajinasikan sebuah revolusi ketika perubahan radikal sanggup terjadi tanpa kita menunggu buyut kita lahir atau kita kehilangan rezeki menjadi saksi atau menerima berkahnya.
Betapa hidup kita sebagai insan bahkan berbangsa sesungguhnya , hingga hari ini , paling tidak separuhnya , masih juga ditentukan spekulasi yang irasional , supranatural , bahkan mistis dan magis.
Revolusi ikutan
Setrik jernih , kita semestinya memafhumi yang kita bayangkan dari ”revolusi” sebetulnya satu hak yang ilusif atau tidak mungkin (lagi) terjadi. Apabila yang diimajinasikan dari lema atau term itu sebuah perubahan radikal—menuju keadaan yang lebih baik , tentu saja—di semua level sosial , kultural , hingga spiritual , setrik legawa kita sebaiknya mendapatkan hal itu sudah menjadi sejarah , menjadi monumen , sekurangnya seabad yang lalu. Bukan hanya di negeri ini , melainkan juga dunia.
Apabila dipaksakan signifikansinya , revolusi mungkin pernah terjadi pada masa setengah periode yang kemudian , ketika puluhan negara gres lahir sebagai rentetan perang (merebut) kemerdekaan dari kolonialisme oksidental (Eropa). Signifikansi revolusi macam ini dipaksakan karna yang terjadi sebetulnya bukanlah perubahan radikal di semua level dan dimensi kehidupan di atas , tetapi semata pemindahan kekuasaan (formal) dari pemerintah kolonial ke pemerintah lokal.
Apakah setrik mental , intelektual , spiritual , bahkan fisikal semua rakyat dan bangsa itu sudah merdeka? Bahkan setrik sistemis dan struktural mereka telah bisa berdaulat di tanah airnya sendiri? Bermacam buku , karya seni , hingga demonstrasi belakangan ini menggambarkan betapa sebetulnya revolusi kemerdekaan itu bukanlah revolusi hidup dan kemanusiaan yang sesungguhnya kita , masyarakat dunia , bayangkan.
Dalam 50 tahun belakangan , ”revolusi” boleh jadi masih terjadi , tetapi hanya dalam satu dimensi (produk) kebudayaan saja: sains. Terutama ketika produk intelektual itu disertai implementasi teknologisnya berupa mesin komputasi , transportasi , dan informasi-komunikasi. Harus diakui , revolusi dalam dimensi ini telah menyeret perubahan radikal (bahkan revolusioner) di bab hidup lainnya. Yang kita rasakan , alami , dan produksi belakangan ini dalam semua lapangan kehidupan , tulus atau tidak , sesungguhnya hanya menjadi impak dan dampak dari capaian sains dan teknologis di atas.
Persoalannya: revolusi ikutan di atas ternyata membuat pergeseran , bahkan perubahan yang sangat signifikan dari sikap mental , intelektual , bahkan fisikal kita. Tak lain , kita bergerak—setrik sadar dan tak—hanya menjadi konsumer , tepatnya korban , dari produk-produk teknologis dan segala jenis industri (kapitalistis) yang membonceng di belakangnya. Di titik ini kita kehilangan kepribadian kita , identitas , hingga tingkat nilai-nilai dasar (juga primordial) yang selama ini mengonstitusi eksistensi atau eksistensi kita. Kita pun menjadi makmum atau pengikut sukarela dari diseminasi trik hidup dan berpikir atau rezim budaya yang menjadi struktur dan sistem dasar di dalam sains serta teknologi (notabene) oksidental itu.
Di sinilah titik penjelas tercipta chaos budaya yang tergambar di awal goresan pena ini. Jika muncul urgensi atau gagasan untuk dimulai upaya melaksanakan ”revolusi (dalam arti perubahan berangsur yang tetap dan progresif) mental” , kita pun menerima argumentasi logis—bukan spekulatif—nya di sini. Namun , mungkinkah terjadi ”revolusi mental” yang logis itu?
”Revolusi” budaya
Frasa selesai paragraf di atas sebetulnya sudah mengindikasikan ”revolusi mental”
itu tak mungkin terjadi atau terjalani tanpa diiringi revolusi intelektual (yang logis). Harus ditambahkan lagi dalam logika ini , revolusi semacam itu juga mau tak mau harus mengintegrasikan dua revolusi lain: fisikal dan spiritual. Tiga dimensi manusia-ilahiah ini sebetulnya semenjak mula tak terpisahkan , tetapi kebudayaan insan yang dipengaruhi realitas geografis telah menceraiberaikannya: rasio , mental-spiritual , dan fisikal.
Tiga dimensi itulah yang sesungguhnya bekerja , tidak simultan , tetapi integratif sehingga insan memiliki semacam daya cipta , kapasitas ilahiah yang kita sebut kreativitas. Kapasitas melahirkan kebudayaan dan produk-produknya. Artinya , sebuah perubahan yang kontinu , progresif , dan positif dalam impian kita bersama di atas , tidak bisa tidak harus terjadi pada level atau fondasi kebudayaan.
Revolusi—baiklah kita gunakan lema ini betapapun biasnya—kebudayaan tidak hanya mengubah mentalitas kita , tetapi juga pola pikir kita hingga pada sikap keber- agamaan kita , hingga setrik fisis ia maujud dalam sikap pragmatis kita sehari-hari. Semua itu bukan cuma soal politik , ekonomi , ilmu , atau agama saja , tetapi itu soal kebudayaan. Dan , kebudayaan di sini setrik sederhana kita pahami sebagai sebuah nebula atau deretan abnormal (ke)manusia(an) yang ingin mempertahankan eksistensi spesiesnya lewat produk-produk idealnya dalam lima tingkat: nilai , norma , moralitas , etika , dan estetika.
Inilah deretan abnormal yang dengan keringat badan kita jadi produk atau artifak ketika bukan keberlangsungan spesies saja yang terjaga , kenyamanan hidup kita juga tercipta. Sebuah revolusi selaiknya terjadi dalam prosesus kultural di atas , bermula dari nilai-nilai—di tingkat personal—yang luhur dan mulia , kita terima dan internalisasi dalam diri hingga kemudian jadi masif dan mencipta sebuah norma yang juga luhur dan mulia. Dari norma yang positif , sebagai arsenal ampuh melawan negativitas kultural di sisi lainnya , moralitas (umum) dalam arti kebaikan dan/yang juga kebenaran sekaligus sanggup dihasilkan setrik kolektif.
Di tingkat aturan dasar , tingkat analitik , semua itu bakal jadi kitab etika yang jadi penuntun keadaban dan kesantuan , serta estetika , yang jadi pola dalam mengapresiasi semua produk kebudayaan kita. Bagi pengemban amanah rakyat dan konstitusi Indonesia mendatang , praksis dan internalisasi prosesus ini tak terelakkan harus terejawantahkan dalam sistem pengajaran (universal) yang mengikutkan seluruh elemen kebangsaan kita , ketika pendidikan formal salah satu garda depannya.
Dalam sistem ini , bukan hanya pengajar di sekolah-sekolah formal , ustaz di masjid , orangtua di rumah , sesepuh adat , instruktur atau penatar yang menerima imperasi keras untuk bukan hanya menjadi pola moral , melainkan juga contoh perbuatan , juga mereka yang menjadi bos , komandan tempur , pejabat negara dan publik , kepala organisasi , pangreh praja , dan semua yang menerima amanah , tanggung jawab atau titipan kekuasaan mesti bisa menjadi guru bagi murid/bawahannya.
Bagi pemimpin tertinggi , betapa berat dan luar biasa imperasi budaya pengajaran ini. Setidaknya untuk memperlihatkan gimana revolusi kultural itu sudah terjadi padanya. Tak perlu kita terjebak dalam spekulasi mistis lagi , wacana satrio piningit contohnya , alasannya setrik jernih rasionalitas hakim-hakim MK telah membuat keputusan akhirnya. Joko Widodo , presiden konstitusional terbaru kita , sekurangnya telah menerangkan yang selama ini jadi proposi saya setrik personal: struktur paternalistik atau patron-klien yang digemborkan para orientalis itu sebetulnya tak berlaku di negeri ini , sekurangnya dalam soal yang imaterial , dalam soal moral-kultural. Dalam soal ini , wong cilik lebih kerap menjadi guru kita.
Radhar Panca Dahana; Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Revolusi Zaman Kini"