Trias Kuncahyono
Dua puluh satu Januari 1998 , Paus Yohanes Paulus II mengawali kunjungan lima harinya ke Kuba. Sebuah kunjungan yang luar biasa sebab semenjak Fidel Castro berkuasa tahun 1959 , Kuba menyatakan diri sebagai ateistis. Pemerintah revolusioner pimpinan Castro menentang keras Gereja Kristen sebab dianggap ada hubungannya dengan diktator Fulgencio Batista yang disingkirkannya. Kuba juga mengusir pastor gila , menyingkirkan pastor pribumi (Kuba) , dan memantau semua atrik Gereja.
Salah seorang yang menyertai Paus Yohanes Paulus II ialah Uskup Agung Buenos Aires Jorge Mario Bergoglio , yang kini Paus Fransiskus. Bergoglio , sebagai delegasi Gereja Amerika Latin , mendengar serta mencatat pembitrikan antara Paus Yohanes Paulus II dan Fidel Castro. Hasilnya? Setelah kembali ke Argentina , Bergoglio menulis buku kecil yang diberi judul Dialogues between John Paul II and Fidel Castro. Dalam buku ini , Bergoglio mengkritik pemberangusan kebebasan di Kuba , tetapi juga menyatakan , ”Motif-motif yang mengakibatkan Amerika Serikat menjatuhkan embargo (terhadap Kuba) harus sepenuhnya disingkirkan.”
Bergoglio juga mengkritik sosialisme dan revolusi ateis Castro sebab menyangkal martabat transendental insan , serta semata-mata mengakibatkan insan sebagai pelayan negara. Ia mencela embargo dan isolasi ekonomi AS terhadap Kuba sebab memiskinkan Kuba.
Kisah Bergoglio mendampingi Paus Yohanes Paulus II ke Kuba dan bukunya ini muncul kembali sehabis tersiar kabar , Bergoglio yang kini Paus Fransiskus berperan penting dalam proses awal normalisasi kekerabatan diplomatik AS-Kuba. Pemulihan kekerabatan diplomatik kedua negara—yang putus lebih dari setengah abad—diumumkan Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro , 17 Desember lalu.
Semua bermula dari ”surat rahasia” Paus Fransiskus kepada Obama dan Castro. Dalam surat itu , Paus Fransiskus meminta mereka berdialog. Sejak itu , terjalinlah obrolan antara wakil AS dan Kuba di Kanada. Dialog berlangsung 18 bulan dan berakhir dengan pengumuman normalisasi kekerabatan diplomatik.
Dialog , itulah kata kuncinya. Dialog menuntut kerendahan dan kelembutan hati untuk saling mendengarkan; diharapkan juga iktikad dan kebijaksanaan. Dalam obrolan , iktikad bakal menumbuhkan persahabatan dan akal meneguhkan persahabatan. Itulah ”nilai dialog”. Hal itu pula yang disarankan Paus Fransiskus kepada pemimpin AS dan Kuba. Bagi Paus Fransiskus , obrolan ialah satu-satunya jalan mengakhiri isolasi Kuba dan permusuhan Kuba terhadap agama.
”Kerja seorang duta besar ialah pada tindakan-tindakan kecil , hal-hal kecil , tetapi selalu berakhir dengan melahirkan perdamaian , makin bersahabat dengan hati rakyat , merajut persaudaraan di antara bangsa-bangsa ,” kata Paus Fransiskus sehabis AS dan Kuba setuju menormalisasi kekerabatan (International New York Times , 20-21 Desember 2014). Hal menyerupai itu juga yang dilakukan Paus Fransiskus saat mempertemukan Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas , 9 Juni 2014 , di Vatikan dalam ”Prayer Summit” untuk perdamaian Timur Tengah.
Diplomasi Paus Fransiskus menunjukkan keberanian dan harapan mengambil risiko serta melibatkan Vatikan dalam persengketaan diplomatik , terutama apabila Vatikan sanggup memainkan tugas sebagai mediator independen , menyerupai yang dilakukan di Kuba. Karena itu , ia mengirim surat diam-diam kepada pemimpin AS dan Kuba yang ”menghidupkan lagi” kekerabatan kedua negara.
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Diplomasi Bergoglio"