Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Gadungan

Trias Kuncahyono


SETAIP orang , politisi , sanggup mengklaim bahwa apa yang dilakukan yaitu demokratis. Setiap orang juga sanggup mengklaim sebagai seorang demokrat sejati; sebagai pejuang dan pembela demokrasi. Semua itu sah-sah saja.

Ingat , tokoh neofasis Rusia , Vladimir Zhirinovsky. Tokoh ultranasionalis ini bersama Partai Demokratik Liberal Rusia dalam pemilu DPR (1993) meraih 22 ,8 persen suara. Apa ia seorang demokrat hanya dengan mendirikan partai ”Demokratik Liberal”?

Dulu , Jerman Timur berjulukan resmi Republik Demokratik Jerman. Padahal , pemerintah negeri itu di tangan partai tunggal berhaluan Marxis-Leninis. Tak usah jauh-jauh , Korea Utara juga berjulukan resmi Republik Demokratik Rakyat Korea. Negeri itu juga di bawah kekuasaan partai tunggal , Partai Para Pekerja Korea , yang berideologi Stalinis.

Bagaimana mungkin demokrasi tanpa partai politik? Partai politik yaitu pilar demokrasi. Mungkinkah sebuah bangunan demokrasi tanpa pilar? Namun , sebaliknya , apakah apabila banyak pilar berdiri , juga berarti berdirilah bangunan demokrasi , berdirinya rumah rakyat itu? Bukankah berdasarkan konsep klasik , kata ”demokrasi” yaitu adonan dua kata Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Dua kata itu kemudian dikombinasikan menjadi ”demokrasi” yang berarti ”pemerintahan oleh rakyat”.

Shaukat M Zafar dalam artikelnya di Pakistan Observer (22/1/2003) menulis , rakyat Pakistan semakin menyadari bahwa ”kedaulatan” pemerintah demokratik mereka sudah tidak ada lagi. Kedaulatan dan demokrasi ada tangan kaum elite yang memiliki kepentingan finansial di luar.

Politik telah menjadi bisnis orang-orang kaya di Pakistan. Sistem parlementer yang dianut Pakistan hanya cocok untuk para elite politik feodal , yang merebut kekuasaan lewat sistem ini. Pada kesannya , Zafar menulis , ”demokrat gadungan” tentu saja melahirkan demokrasi gadungan.

Tes yang bekerjsama dari demokrasi yaitu apakah orang—di semua level masyarakat; entah itu rakyat jelata , elite partai , anggota legislatif , administrator , maupun siapa saja—berkelakuan demokratik? Seperti apa?

Mengutip pendapat Muchtar Buchori , sumber sikap politik intinya yaitu budaya politik , yaitu komitmen antara pelaku politik perihal apa yang boleh dilakukan dan yang dihentikan dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka , ada pula yang bersifat tertutup.

Di negara kita , budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer , dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik gres , yang kemudian melahirkan sikap politik yang menyusahkan banyak orang.

Sekarang , sesudah reformasi berlalu lebih dari 15 tahun , lahir budaya politik gres , yang mengatasnamakan demokrasi meskipun tak berperilaku layaknya demokrat sejati. Dengan kata lain , demokrasi kita tanpa kaum demokrat. Inilah ”demokrasi aji mumpung” , termasuk dalam hal ini , ”mumpung berkuasa”.

Bagaimana kita sanggup bitrik mengenai keinginan luhur kebangsaan , budbahasa politik yang etis dan santun , atau bitrik mengenai amanat penderitaan rakyat yang diwariskan para bapak bangsa , bila yang dikembangkan justru ”demokrasi aji mumpung”? Perilaku politik para politisi yaitu ”perilaku aji mumpung” yang tidak lagi mengutamakan kehendak umum.

Ini barangkali yang oleh John Keane , profesor politik pendiri Center for the Study of Democracy di London , Inggris , disebut sebagai ”matinya demokrasi” (The Life and Death of Democracy). Demokrasi telah mati , tinggal simbol kosong tak berarti alasannya yaitu yang hidup bukan lagi kehendak rakyat , kehendak umum , melainkan kehendak politisi , kehendak elite politik.
\
Trias Kuncahyono; Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Gadungan"

Total Pageviews