Dedi Haryadi
ADA dua informasi penting yang harus dibitrikkan bila kita membahas korupsi dan jender. Pertama , apakah wanita kurang koruptif ketimbang pria dalam birokrasi , institusi politik atau bisnis. Tiga institusi penting di mana korupsi biasanya bersimpul. Kedua , gimana dampak korupsi pada wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal.
Informasi wacana kecenderungan wanita dan pria melaksanakan tindakan korupsi ini penting untuk membangun taktik pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kalau benar wanita kecenderungan perilakunya kurang koruptif , maka sanggup didorong wanita mengisi posisi penting dalam institusi birokrasi , bisnis , dan politik.
Perempuan dan bawah umur , terlebih dalam masyarakat patrilineal , biasanya lebih rentan dan berisiko tinggi termarjinalkan dalam masyarakat. Ketika korupsi terjadi , sanggup jadi wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal yang paling dirugikan.
Informasi wacana dampak korupsi pada wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal penting untuk memperbaiki desain kebijakan , pengalokasian sumber daya , dan pembangunan supaya tidak hanya menyejahterakan , tetapi juga memperbaiki korelasi jender di masyarakat.
Dewi Sartika dan Kartini , dua pionir pemberdaya wanita , di alam kekal sana , mungkin senang sekaligus berduka melihat perkembangan korelasi jender di Tanah Air ketika ini. Senang sebab ketimpangan jender makin menyempit. Sekarang ini akses wanita untuk menguasai informasi , teknologi , pendidikan , bisnis , dan kekuasaan politik makin terbuka. Demikian juga profesi dan jabatan apa pun kini ini sanggup diisi perempuan.
Kecewa sebab lebih dari satu dekade terakhir bukan hanya makin banyak , melainkan juga makin berbobot dan meluas perempuan terlibat kasus korupsi. Makin berbobot artinya makin tinggi jabatan dan prestise perempuan yang terlibat korupsi. Makin meluas artinya profesi wanita yang terlibat korupsi makin beragam. Data yang ada memperlihatkan kecenderungan itu.
Korupedia , Ensiklopedia Korupsi Indonesia , selama periode 2000-2012 mencatat ada 202 laporan masalah korupsi yang sudah berketetapan hukum. Dari 202 masalah tersebut , 12 masalah atau 5 ,94 persen melibatkan wanita , selebihnya laki-laki. Proporsi wanita yang korup masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki.
Dari kedua belas masalah korupsi yang melibatkan wanita tersebut , sebanyak 1 masalah terjadi pada 2006 , 2 kasus pada 2007 , 1 masalah pada 2008 , 1 masalah pada 2009 , 4 masalah pada 2011 , dan 3 masalah pada 2012. Korupedia belum memutakhirkan lagi datanya sehingga luput merekam empat putusan yang terjadi pada 2012. Dengan demikian , pada 2012 tersebut bila direkapitulasi , ada tujuh wanita yang dinyatakan bersalah melaksanakan tindak pidana korupsi.
Jumlah wanita yang terbukti korupsi sangat mungkin bertambah. Sebab , ketika ini sekurangnya ada tujuh wanita tersangka korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setrik kualitatif , wanita yang terbukti bersalah atau masih menjadi tersangka makin hari makin berkelas. Terakhir mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dinyatakan sebagai tersangka masalah korupsi pengadaan alat kesehatan.
Konstruksi sosial
Terungkapnya banyak sekali masalah korupsi yang melibatkan wanita akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa wanita bukanlah makhluk khusus yang imun terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Perempuan juga sanggup termakan untuk serakah dan berbohong , sanggup egois mementingkan diri sendiri , curang dalam persaingan bisnis , menyikut lawan dalam persaingan politik dan jabatan , dan lain-lain.
Pendek kata , ketika berkuasa di birokrasi , forum politik atau bisnis , wanita juga berpotensi menyelewengkan amanah dan kekuasaannya. Dewi Sartika dan Kartini barangkali tidak menduga kini wanita pun sanggup jadi musuh publik yang mencemaskan.
Keterlibatan wanita dalam korupsi juga bukan insiden kebetulan. Di sana ada motif , rencana , dan tujuan. Mereka harus lihai menyuap ketika harus mendapat pemanis jatah kuota impor daging sapi , ketika berusaha memenangi tender proyek , ketika menginginkan jabatan publik yang lebih tinggi , atau ketika berusaha memperoleh izin untuk mengonversi lahan untuk berkebun kelapa sawit , dan lain-lain.
Kalau kini kita mendapati kecenderungan sikap koruptif perempuan juga menguat , maka itu membuktikan mungkin tidak ada diferensiasi jender dalam tindakan koruptif. Studi terbaru lintas negara yang dilakukan Justin Esarey dan Gina Chirillo dari Rice University wacana ”Fairer Sex” or Purity Myth? Corruption , Gender , and Institutional Context menunjukkan di negara-negara demokratis yang prevalensi korupsinya endemik , kecenderungan koruptif pria dan wanita sama saja.
Kecenderungan wanita koruptif yang rendah sanggup menjadi manifes dan membesar kalau institusi politik dan aturan juga koruptif , kontrol publik terbatas , dan prosedur pengawasan internal dan eksternal dalam organisasi tidak bekerja.
Implikasi
Apa implikasi meningkatnya kecenderungan wanita korup? Pertama , meruntuhkan keyakinan yang selama ini bercokol dalam benak orang bahwa wanita kurang koruptif dibandingkan laki-laki. Keyakinan itu bukan tanpa dasar sebab ada beberapa bukti empiris yang mendukung.
Sebuah studi lintas negara yang meliputi 150 negara di Eropa , Afrika , dan Asia , contohnya , hingga pada kesimpulan bahwa wanita lebih sanggup dipercaya dan rendah jadinya melaksanakan tindakan koruptif. Lihat , contohnya , studi David Dollar , ”Are Women Really the Fairer Sex? Corruption and Women in Gkelewat / overnment” dalam World Bank Working Paper Series No 4 tahun (1999).
Kedua , korelasi jender yang tak seimbang mengakibatkan perempuan , bawah umur , dan kelompok marjinal biasanya lebih rentan dan berisiko tinggi termarjinalisasi dalam masyarakat. Kalau yang mendistorsi dan menjarah sumber daya publik itu wanita , maka perempuan dan bawah umur jugalah yang menjadi korban korupsi. Ironis dan menyakitkan.
Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal (DPPIDT) yang di antaranya melibatkan seorang politisi wanita sanggup dijadikan pola menarik. Dalam keadaan wilayahnya tertinggal dan infrastrukturnya yang jelek , wanita dan bawah umur sudah menjadi korban dengan sendirinya. Mereka menjadi korban untuk kedua kalinya ketika dana yang dialokasikan untuk pembangunan wilayahnya dikorupsi.
Kasus ini memperlihatkan sangat mungkin terjadi wanita menindas wanita dan anak-anak. Inilah barangkali yang mengakibatkan Kartini dan Dewi Sartika kecewa.
Ketiga , tidak relevan lagi mendorong wanita masuk dan mengisi jabatan publik , politik , dan bisnis dilihat sebagai bagian dari taktik pencegahan dan pemberantasan korupsi. Karena dalam keadaan demokratis tapi endemik korupsi , kecenderungan koruptif pria dan wanita sama saja.
Di sini kita harus memisahkan dengan terang informasi keadilan jender dengan taktik pencegahan dan pemberantasan korupsi. Mendorong wanita yang sadar jender masuk ke dalam institusi birokrasi , politik , dan bisnis merupakan informasi keadilan jender , yang harus tetap diperjuangkan.
Agenda utama
Apa sanggup kita lakukan untuk mengatasi kecenderungan wanita koruptif? Di negara-negara demokratis yang korupsinya minimum , wanita memang risiko korupnya lebih rendah daripada laki-laki. Konstantasi ini memperlihatkan ide bagi kita untuk , pertama , terus memperbaiki kualitas demokrasi dan meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Memastikan adanya pergantian pemerintah setrik tertib dan teratur; bebas dan mandirinya institusi peradilan; kuatnya partai politik oposisi; sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan bebasnya media; dan kuatnya gerakan sosial antikorupsi merupakan jalan keluar yang harus ditempuh. Ajeknya kelima pranata sosial itulah yang memperlihatkan bantuan besar pada rendahnya prevalensi korupsi di negara-negara demokrasi liberal.
Kedua , sekecil apa pun kecenderungan wanita koruptif , kita harus menyebarkan jaringan pengaman bagi korban korupsi , khususnya wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal. Kita harus memastikan dan memulihkan hak-hak dasar mereka atas kecukupan pangan dan air higienis , kesehatan , perumahan , dan kesempatan kerja dan berusaha.
Sayangnya , sejauh ini korban korupsi itu sulit ditemukan dan dikenali baik sebab ada kendala metodologis maupun nilai sosial dalam masyarakat. Karena korban korupsi sulit ditemukan dan dikenali , maka studi wacana penelusuran korban korupsi menjadi strategis dan penting.
Selain untuk memperkaya khazanah pengetahuan wacana dampak korupsi pada relasi jender , wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal , studi ini juga memiliki kegunaan untuk memperbaiki praksis keterlibatan wanita dalam institusi birokrasi , politik , dan bisnis.
Sukses mengerjakan kedua kegiatan itu bukan hanya bakal memperkecil kecenderungan wanita koruptif , tetapi juga sanggup mengatasi dampak korupsi terhadap wanita , bawah umur , dan kelompok marjinal. Itu bakal cukup membuat Dewi Sartika dan Kartini senang dalam tidur panjangnya.
Dedi Haryadi , Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
KOMPAS , 21 April 2014
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dewi Sartika Dan Kartini Berduka"