Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Wanita Dan Langkah Afirmatif

Lies Marcoes

SECARA  normatif , tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk menaikkan jumlah keterwakilan wanita di ruang publik ialah niscaya.

Niscaya lantaran hanya dengan trik itu kepentingan wanita yang dirundingkan dan diambil melalui keputusan-keputusan demokratis bisa disuarakan. Niscaya lantaran jikalau hanya ”dititipkan” kepada pihak lain (lelaki) kepentingan itu bisa bias (membelok) atau bahkan menguap. Langkah afirmatif dengan mengambil gagasan UNDP yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan wanita merupakan agresi paling moderat dari mandat konvensi CEDAW. Ini konvensi yang memastikan tak ada diskriminasi terhadap wanita berbasis prasangka jender. Sejumlah besar negara yang ikut menandatangani konvensi ini memang menggunakan prosedur kuota 30 persen untuk memastikan keterwakilan wanita di lembaga-lembaga negara di mana sebuah keputusan digodok , dilahirkan , dan harus dilaksanakan.

Berbagai kendala

Itu idealnya. Di tingkat mudah kita menghadapi banyak sekali kendala. Persoalan paling laten ialah lantaran ruang publik bukanlah ruang yang siap dan mengerti mengapa keterwakilan penting. Ini terperinci lantaran semenjak awal dunia politik dibangun di arena publik yang berangkat dari dikotomi yang memisahkan domain lelaki dan wanita atau ruang publik dan privat/domestik. Inilah kritik mendasar para feminis terhadap konsep ruang publik gagasan Jurgen Habermas itu.

Konsep ruang ini tak menghitung kepentingan mereka yang selama ini ”dirumahkan” menyerupai wanita dan kaum difabel. Akibatnya , ketika wanita hendak masuk ke ruang itu , mereka dianggap penumpang gelap yang bakal menggeser dan jadi pesaing atas dominasi lelaki yang merasa pemilik sah forum itu.

Di tingkat rumah tangga dan komunitas , wanita berhadapan dengan efek biner yang sama. Pandangan budaya , agama , bahkan politik telah mendefinisikan status wanita setrik ajek sebagai ibu rumah tangga. Itu berarti , di ranahnya sendiri , mereka bukan pemegang kuasa dan otoritas. Mereka penumpang yang tugas dan statusnya ditentukan pihak lain yang dianggap nakhoda (suami/keluarga besar). Ini berdampak besar ketika wanita ”nyaleg”. Keputusannya sangat ditentukan sejauh mana suami memberi dukungan , termasuk pendanaan. Di sejumlah kasus , keterwakilan mereka perpanjangan tangan suaminya yang setrik politik tak memungkinkan untuk maju sendiri.

Soal lain , langkah afirmatif hanya mensyaratkan ”angka”. Perempuan calon harus berhadapan dengan perilaku yang mencurigai kemampuan mereka. Sebuah perilaku yang hampir tak pernah berlaku pada lelaki meski kualitas mereka luar biasa kedodoran. Masalahnya lantaran arena itu dianggap ruang main mereka , publik sering kali punya permakluman atas kedunguan mereka , sebuah perilaku yang tak berlaku bagi perempuan. Lihat saja ketika Angel Lelga mempertontonkan ”kelasnya” di media televisi , ia sontak jadi bulan-bulanan. Olok-olok yang sama bahwasanya bisa dilontarkan kepada anggota dewan perwakilan rakyat yang juga ”dodol” , tetapi bagi mereka menyerupai ada permakluman atas ketidakwarasannya.

Dari tiga kasus ini saja sanggup dibaca betapa tak mudah memastikan upaya arif yang bisa menjamin keterwakilan perempuan. Hampir pasti , upaya afirmatif di mana pun di dunia berangkat dari keadaan yang memang wanita sendiri tak/belum siap masuk ke gelanggang politik. Ini disebabkan perlakuan diskriminatif yang telah lebih dulu menerpa mereka. Karenanya , upaya lanjutan yang sanggup memastikan keterwakilan itu bisa terkawal terus diupayakan. Ini supaya keterwakilan itu memiliki kepastian dan tak hanya di tingkat angka , tetapi juga makna.

Dalam konteks politik di Indonesia , kita menyaksikan gimana keterwakilan itu didemonstrasikan dalam pemilu legislatif. Upaya-upaya sistemik supaya wanita terwakili di setiap jenjang relatif telah dipatuhi partai. Mudah tiap partai di setiap dapil memasang perempuan. Dari sisi ini , afirmatif di tingkat paling elementer telah terpenuhi. Namun , soal keterpilihan , kasus lain. Afirmatif tak berlaku pada tingkat pemilihan. Lelaki dan wanita dari satu partai sama harus bersaing memperebutkan kursi. Ini berarti seorang caleg wanita tak hanya harus bersaing dengan sesama calon dari partainya di dapil sama , tetapi juga dengan lelaki dan wanita lain di satu dapil dari partai berbeda.

Gempa politik

Persaingan serupa ini pada kenyataannya memang jadi ”gempa politik” bagi caleg perempuan. Seperti Kak Zu , demikian saya memanggilnya. Ia semula hanya guru TK/PAUD yang dibangun partai lokal yang berkuasa di Aceh dengan honor Rp 500.000. Ayahnya penarik becak , suaminya sopir. Februari 2013 ketika partai panik memilih daftar calon sementara , pamannya dari partai lokal—lawan partai berkuasa—membujuknya nyaleg dengan kesepakatan partai bakal bantu. Ajakan bukan tanpa alasan. Ia menggenapi hukum keterwakilan 30 persen wanita lantaran tanpa itu partai bakal tercoret.

Kak Zu menyangka ia hanya bakal main air semata kaki. Nyatanya , belanja politik untuk partai dan kampanye menenggelamkannya sampai ke leher. Ia semenjak awal sadar , kiprahnya hanya ”timun bengkok (untuk) memenuhi keranjang”. Begitu masuk , ia terseret ke pusaran arus kampanye yang nyaris kalap. Mobil suaminya dijual. Sepanjang kampanye , suaminya harus mengawal. Mudah mereka berdua tak lagi mencari nafkah enam bulan. Modal habis , ia meminta proteksi ayahnya yang kemudian menggadaikan kebun rambutannya.

Menangkah? Tidak. Kehidupan keluarga itu guncang. Suami tak bisa kembali ”narik” lantaran dianggap pengkhianat partai penguasa yang menguasai lintasan ”trayek”. Kak Zu harus cari sekolah gres lantaran posisi usang digantikan orang. Mereka sempat mengungsi ke rumah orangtua akhir bahaya kekerasan.

Kasus Kak Zu pasti bukan pengecualian dan tak bisa dijadikan alasan surut langkah. Yang harus dipikirkan , gimana melanjutkan kebijakan politik afirmatif tanpa mengakibatkan gempa politik dan gelombang tsunami di keluarga. Dari pengalaman sejumlah negara menyerupai India , 10 tahun pertama upaya afirmatif tak gampang. Di tahun-tahun pertama keterwakilan wanita diisi dinasti penguasa menyerupai juga di Indonesia. Namun , lantaran mereka masyarakat pembelajar , dalam waktu singkat keterwakilan itu membuahkan hasil bukan hanya bagi wanita , melainkan juga bagi perbaikan negeri itu. Kebijakan-kebijakan terbaru yang dilahirkan membawa perubahan sangat signifikan terhadap harapan , apresiasi warga terhadap kaum perempuan. Antara lain dengan melawan politik uang dan korupsi di forum negara dan dengan trik itu menawarkan signifikansi keterwakilan wanita di parlemen. 

Lies Marcoes , Peneliti
KOMPAS , 21 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Wanita Dan Langkah Afirmatif"

Total Pageviews