Max Regus
Artikel itu dipublikasikan pada 8 Juni 1998. Semua artikel tersebut ditulis dengan rinci apa yang terjadi dengan para mahasiswa Universitas Trisakti , Elang Mulya Lesmana dan kawan-kawan , yang ditembak pada 12 Mei 1998.
Tidak terbantahkan , Tragedi Trisakti yakni titik balik keangkuhan politik rezim Orde Baru sampai keruntuhannya. Sejak itu , empat momentum pemilihan umum (pemilu) , disertai kegairahan politik yang muncul , tidak pernah lepas dari tetesan darah para mahasiswa di Mei itu. Kita bisa merayakan demokrasi alasannya yakni keberanian mereka me- ngorbankan hidup dan masa depan.
Meski begitu , yang tersaksikan di hadapan kita tidak seluruhnya membahasakan pengabdian demokratik murni bagi sejarah masa lalu. Tidak ada penghargaan politik terhadap setiap pengorban- an untuk kemeriahan demokratik yang kita nikmati ketika ini. Bahkan , setrik memalukan , demokrasi telah mencuci bercak- bercak darah yang melekat pada seragam keangkuhan totaliterisme. Sejurus , para pendukung absolutisme kekuasaan telah berhasil mengelabui sejarah , kesadaran publik , sehingga di mana-mana mereka hadir seperti sebagai penyelamat bangsa paling benar.
Bentuk pertanggungjawaban
Sebetulnya pada makna yang paling asali , proyek politik dan demokratisasi yang sedang kita jalankan seharusnya menjadi satu bentuk pertanggungjawaban bangsa pada setiap nyawa yang dipersembahkan untuk Indonesia yang lebih baik. Mereka yang merelakan masa mudanya untuk Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
Bangsa ini harus mengakui setrik jujur perihal apa yang terjadi pada masa kemudian , yang tercabik-cabik alasannya yakni kepongahan dan ketamakan pada kekuasaan. Sikap congkak yang telah mengorbankan sebagian anak bangsa sebagai martir demokrasi. Di titik ini , pada momentum politik menyerupai kini , yang harus dilakukan yakni kejelian memilih pemimpin bangsa , terutama dengan keberanian menolak setiap calon pemimpin yang beritikad melarikan diri dari sekadar memberi balasan pada sekian banyak pertanyaan perihal posisi mereka di masa lalu. Kita harus menolak para calon pemimpin yang ingin menggunakan kekuasaan politik untuk menulis sejarah dalam kepalsuan.
Jika kita tidak bisa mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan di masa kemudian , jalan satu-satunya yang harus dikerjakan yakni dengan memutuskan semua jaringan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan masa kemudian yang bersimbah darah hero demokrasi. Darah para martir demokrasi masih terus berteriak dalam sunyi. Barangkali mereka bakal hening manakala Indonesia mau mendapatkan anugerah politik dengan menyerahkan kepemimpinan bangsa ke tangan orang-orang baik. Itu yang bakal menyebabkan darah mereka tidak pernah sia-sia untuk demokrasi dan masa depan keindonesiaan.
Max Regus , Mahasiswa Tingkat Doktor Universitas Erasmus Belanda
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Darah Untuk Demokrasi"