Acep Iwan Saidi
POLITIK kita kini cenderung menjadi soal penampakan. Dengan hal itu , politik berkembang menjadi ruang yang sarat tanda. Namun , tanda yang diproduksi bukan dalam pengertian umum semiotika , yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain , melainkan justru untuk menyembunyikannya.
Berbagai tanda direka untuk membelokkan realitas: yang rendah divisualkan tinggi , yang kotor ditampakkan higienis , yang minimal disulap maksimal , dan seterusnya. Salah satu tanda yang direka itu yaitu warna baju yang digunakan para politisi , khususnya yang mencalonkan diri menjadi penguasa , mulai dari kepala tempat sampai presiden. Warna baju yang dimaksud yaitu putih. Ingatlah , contohnya , ketika Pemilu Legislatif 9 April 2014 , semua calon presiden menggunakan baju putih ke tempat pemungutan bunyi dan ketika pendeklarasian capres-cawapres. Tentu pilihan ini tidak tanpa alasan. Pakaian yaitu pesan (Nordholt , 1997). Di situ warna yaitu makna.
Hitam di atas putih
Putih memang warna yang unik. Sederhana sepertinya , tetapi kompleks hal di baliknya. Jika kita bitrik ras , putih seperti bukan warna. Ingatlah , kita sering menyebut kulit putih yang diperbandingkan dengan kulit berwarna. Perbandingan ini kiranya belahan dari imperialisme Barat dalam kebudayaan. Kulit mereka yang putih harus dibedakan dengan ras bangsa-bangsa di negara koloni yang umumnya coklat , sawo matang , dan hitam.
Dalam kajian pasca kolonial , menjadi putih identik dengan menjadi terdominasi. Barat yang putih mengandaikan dirinya sebagai ”yang superior” (Edward W Said , 1978) sehingga menjadi putih berarti meletakkan dahi di bawah kaki si superior itu. Namun , kita memang menyukai hal demikian. Bangsa-bangsa terjajah sering kagum terhadap apa yang dimiliki penjajah sehingga memiliki hasrat untuk mengamuflase menjadi menyerupai dengannya (Bhabha , 2004).
Di kita , segimana diketahui , putih yaitu mitos wacana kesucian. Cerita rakyat Melayu yang populer , Bawang Putih versus Bawang Merah , memosisikan Bawang Putih sebagai yang baik , yang menderita di awal , tetapi senang di akhir. Di situ putih seolah menjadi perjalanan menuju nirwana yang harus ditempuh melalui neraka. Mitos kesucian ini lantas diadopsi menjadi lambang negara. Dikombinasi dengan merah (berani) , putih menjadi belahan dari warna bendera kita. Kombinasi keduanya mengonfigurasi makna berani alasannya yaitu suci. Makna ini menggeser pesan warna bendera yang seluruhnya putih dalam peperangan , yakni menyerah.
Bagi umat Islam tradisional di Indonesia , putih juga berasosiasi dengan kesucian. Putih yaitu pilihan terbanyak untuk warna mukena dan serban. Pilihan ini mungkin seturut orang (laki-laki) Arab yang selalu berpakaian putih. Orang Arab melaksanakan ini bantu-membantu untuk menangkal panasnya cuaca gurun.
Hal ini berarti putih yang berasosiasi suci tidak identik dengan religiositas Islam , tetapi merupakan proses dalam kebudayaan , ditambah kemungkinan sifat masyarakat kita yang suka latah. Jika acuannya agama dan religiositas Islam , seharusnya yang mengirim pesan suci yaitu warna hitam. Bukankah Kabah berbungkus kain hitam , terbuat dari kerikil yang juga hitam.
Selanjutnya , putih versus hitam sedemikian menarik jikalau dikaji dalam perspektif semiotika struktural yang mengacu kepada Ferdinand de Saussure (1990). Dalam perspektif ini , tanda tidak mengacu ke realitas di luar dirinya , tetapi alasannya yaitu hubungan keberbedaannya dengan tanda lain. Pada rambu-rambu kemudian lintas , contohnya , merah artinya berhenti semata-mata alasannya yaitu ada hijau yang artinya berjalan terus dan kuning artinya hati-hati. Dalam kajian ini , putih dan hitam merupakan pasangan berlawanan (oposisi biner) yang hanya alasannya yaitu pasangan itu maknanya tercipta. Putih bermakna sematamata alasannya yaitu ada hitam.
Meski demikian , pengkritik Saussure mengklaim dalam oposisi biner , Saussure memiliki tendensi membedakan derajat posisi dari elemen yang berpasangan , yakni yang ditempatkan pertama selalu merupakan yang utama (pusat) , sedangkan yang kedua periferi (pinggiran). Laki-laki versus wanita , baik-buruk , dan tinggi-rendah yaitu beberapa contoh yang sanggup disebut. Dan di sinilah soalnya menjadi menarik jikalau dihubungkan dengan kasus putih versus hitam.
Ingatlah , kita selalu menyebutnya hitam-putih , bukan putih-hitam. Apakah hal ini berarti bahwa hitam lebih tinggi derajatnya daripada putih , menyerupai hitam kerikil Kabah di hadapan putih pakaian ihram? Ingat pula istilah lain , yakni hitam di atas putih , untuk menunjuk sebuah maujud teks tertulis. Ingat pula masa datangnya ”yang kotor” dalam siklus biologis badan wanita cukup umur , bukankah kita menyebutnya keputihan.
Presiden klise
Hanya , pemahaman tersebut rupanya tidak tebersit dalam ingatan kolektif masyarakat. Seperti para capres dan wakilnya yang menggunakan kostum putih , rujukan makna putih yaitu kebersihan , kesucian , dan kesederhanaan. Segimana telah disinggung di atas , makna ini telah menjadi mitos. Putih yang berarti higienis atau suci yaitu konotasi (makna asosiatif) yang telah menjadi denotasi (makna sebenarnya). Pengucapannya yang berulang dari zaman ke zaman telah mengakibatkan makna ini menjadi klise. Inilah yang oleh Paul Ricoeur (1997) disebut sebagai metafora mati.
Dalam kerja kreatif , pengguna metafora mati yaitu individu yang tidak kreatif. Individu demikian terjebak pada pikiran dan sikap umum , luaran , klise. Seniman yang hanya sanggup menggunakan metafora mati sanggup dipastikan bakal segera bangkrut.
Apakah para capres-cawapres kita kini demikian pula? Tentu masih harus dibuktikan lima tahun ke depan. Hanya , saya cenderung mengusulkan supaya janganlah terlalu ”memutih-mutihkan” diri. Rakyat sudah begitu cerdas. Kini , sebaik-baiknya gambaran yaitu kejujuran. Dan jikalau paham bahwa ciri Indonesia yaitu keberagaman , warna yang cocok tentu yang bermacam-macam , dengan motif ramai menyerupai batik. Jika hendak ekstrem , kiranya warna hitam malah lebih menonjok. Hitam itu gelap , tetapi hanya di dalam gelap kita menemukan cahaya. Adapun putih , kita tahu , yaitu warna yang gampang terkena noda. Maka , repotlah negeri ini jikalau ke depan punya ”presiden putih” dalam arti demikian.
Acep Iwan Saidi; Komisaris Warung Narasi Bandung
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Presiden Putih"