Mochtar Pabottingi
DI pengujung Mei kembali terjadi dua agresi kekerasan atas rumah ibadah atau aktivitas beribadah. Semua terjadi di Daerah spesial Yogyakarta. Kali ini , kedua laris zalim itu menimpa saudara-saudara kita dari umat Katolik. Setiap kali yang demikian terjadi kita sungguh prihatin. Lagi-lagi ini menuntut kita semua—para pelaku , pegawanegeri keamanan , pemuka agama setempat , dan seluruh komponen masyarakat—untuk kembali merenungkan keniscayaan , arti , etika , dan tujuan pendirian negara kita , terutama pada hari-hari menjelang pesta demokrasi guna membawa bangsa kita ke jalan kehidupan politik yang luhur.
Sangat perlu ditekankan Republik Indonesia yaitu kolektivitas negara-bangsa yang tumbuh dari dan menghormati keberagaman; suatu keniscayaan di mana pun di zaman modern. Di pengujung kurun ke-19 , Ernest Renan sudah merumuskan bahwa bangsa pasti beragam. Sejak Sumpah Pemuda 1928 , bermacam-macam suku , ras , kawasan , dan agama telah bertekad bersatu setara. Hanya di bawah prinsip kebangsaan kita sanggup hidup , berkiprah , serta maju bersama setrik adil dan bermartabat. Meninggalkan prinsip itu berarti merisikokan lenyapnya rasa-rasio kebajikan persatuan serta rahmat hidup bersama dalam kehangatan keadaban dan perdamaian.
Impian tunggal
Bersyukurlah kita bahwa Indonesia ditegakkan kukuh oleh para Bapak Bangsa di atas prinsip kesatuan dalam keberagaman. Melanjutkan tradisi Bhinneka Tunggal Ika yang semenjak kurun ke-14 sudah bersemi di Nusantara , dengan prinsip itu pula para Bapak Bangsa gotong royong membayangkan , memperjuangkan , dan mengantar kita ke alam Indonesia merdeka. Pada 1924 , Bung Hatta sudah mencanangkan bahwa kita tidak mungkin merdeka tanpa menjalin persatuan lintas suku , etnis-ras , dan agama. Di atas tekad itu pulalah Bung Karno merumuskan Pancasila. Cerdas menangkap keniscayaan sejarah , mereka semua memiliki harapan tunggal: keindonesiaan sebagai taman bunga.
Indonesia memang berevolusi , dibuat , diperjuangkan , dan dipertahankan setrik multisuku bangsa , multiagama , multibahasa (dengan satu bahasa persatuan) , multisuku budaya , bahkan multiras. Kita tidak mungkin merdeka dan tetap mempertahankan kemerdekaan sampai sekarang tanpa menjunjung prinsip keberagaman dalam berbangsa. Tanpa itu mungkin sudah semenjak puluhan tahun kemudian Indonesia terhapus dari peta sejarah.
Begitu kita semua kembali ke dalam kubangan primordial masing-masing itu sekaligus berarti pengerdilan inklusivisme dan pembesaran laris ”seperti katak dalam tempurung”. Simpulnya yaitu pencampakan Pancasila. Pepatah leluhur ”bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” bukanlah omong kosong. Sekali kita pecah , perpecahan bakal menggelinding bagai bola salju dan menggilas kita semua ke dalam kemusnahan. Prospek terbesar dari pembubaran bangsa tak lain yaitu kembalinya kita ke alam penjajahan sepenuhnya oleh negara-negara atau kekuatan-kekuatan ekonomi-politik raksasa.
Di sini gagasan Bung Hatta kembali bergema: hanya dengan persatuan kita sanggup merebut kemerdekaan. Makna ikutannya , hanya dengan persatuan pula kita sanggup mempertahankan kemerdekaan. Dan persatuan yang kita maksud selalu yaitu persatuan dalam keikhlasan mendapatkan dan bertolak dari sikap saling mendapatkan , saling peduli , dan saling memuliakan harkat lintas sekat-sekat primordial.
Hidup di dalam keberagaman bukanlah pilihan. Itu keniscayaan. Itu aturan Tuhan. Seniscaya dan sehukum dengan matahari terbit di timur dan terbenam di barat. Umat insan berbeda-beda bukan hanya dalam arti bahwa Tuhan memang membuat mereka demikian , melainkan juga bahwa Tuhan mengodratkan kimiawi jiwa insan untuk gandrung dan bolak-balik pada hasrat bakal kesamaan dan hasrat bakal perbedaan itu. Selain itu , setiap ketika bergantung pada tingkat kematangan atau kekerdilan nalar budinya.
Dibawakan ke doktrin Islam , Allah menegaskan—di dalam Al Quran—bahwa andai kata Dia membuat umat insan hanya sebagai satu umat , mereka bakal tetap saling bertikai. Penyebabnya tak lain yaitu hawa nafsu untuk mendaku Tuhan sebagai milik umat atau golongan sendiri. Dalam hal ini , Al Alquran kembali memancarkan cahaya kearifannya: ”Tak boleh ada paksaan dalam agama. Kebenaran sudah tampak jelas benderang dibandingkan dengan kesesatan”.
Dalam konteks inilah pesan terdalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa sesungguhnya tak lain yaitu kemahapengasihan Tuhan mencakup seluruh umat dan makhluk. Lantaran zat atau eksistensi-Nya tak terbatas , Dia tidak mungkin didaku sendiri oleh umat atau golongan mana pun. Sebab , begitu suatu umat mendaku Tuhan sebagai miliknya sendiri , pada ketika itu pula mereka melecehkan Tuhan sebagai sanggup dimiliki dan alasannya yaitu itu terbatas. Pada ketika itu pula doktrin mereka tersesat. Tuhan yang lebih erat dari urat leher kita itu yaitu ”Ada” yang tidak mungkin terjangkau , apalagi terangkum oleh makhluk-Nya yang mana pun.
Sejarah umat Islam sendiri , terutama begitu Rasulullah SAW wafat , beratus tahun bersimbah darah pertikaian alasannya yaitu dorongan hawa nafsu pendakuan Islam untuk pihak sendiri. Dan di dunia Muslim kenyataan hitam kelam ini berlangsung sampai kini. Contoh paling mutakhir yaitu sikap Boko Haram di Nigeria dan saling bantai Sunni-Syiah di Irak. Sulit mencari yang lebih biadab , yang lebih tak Islami daripada rangkaian laris keji dan nista demikian.
Kembali ke Pancasila
Di Tanah Air , masih ingatkah kita gimana warga Muhammadiyah pernah pecah ke dalam dua kubu: Partai Amanat Nasional dan Partai Matahari Bangsa? Atau gimana sesama warga nahdliyin , dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kebangkitan Ummat ”saling bunuh” pada Pemilu 1999? Kita sanggup memastikan bahwa kaum Muslimin bukanlah satu-satunya umat beragama yang tiada hentinya saling bertikai , baik terbuka maupun diam-diam. Mayoritas penyebabnya tak lain yaitu laris saling mengafirkan ataupun tarikan kepentingan-kepentingan materi.
Satu-satunya jalan untuk membangun ”Taman Bunga Keindonesiaan” bukan hanya menolak terjebak dalam penajaman perbedaan primordial , melainkan juga kembali kepada semangat Pancasila. Kita dituntut mewujudkan setrik ideal setiap sila di dalamnya yang menunjukkan ruang hidup setara dan bermartabat bagi segenap warga-bangsa.
Di sini sangatlah penting bagi kita untuk setuju dalam dua penempatan filosofis atas Pancasila. Pertama , setiap sila di dalamnya harus diterima dalam artinya yang lapang dan inklusivistik. Kedua , kelima sila di dalamnya juga harus diterima dalam keterpaduan atau konvergensinya satu sama lain , bukan dalam hierarki atau potensi keterpecahan dan divergensinya. Kedua penempatan filosofis ini pula yang membuat Pancasila diterima oleh semua pihak dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
Penyerangan terhadap umat ataupun rumah ibadah agama apa pun , yang setrik konstitusional memiliki hak hidup di negeri kita , pastilah sangat tak patut dan sanggup mengancam keselamatan republik kita. Apalagi di tengah suasana pemilihan umum presiden. Begitu pula penggunaan metafor ”perang” yang sungguh tidak pada tempatnya dalam kaitan dengan prosedur utama demokrasi tersebut alasannya yaitu metafor demikian sangat gampang tergelincir atau menggelincirkan.
Pemilihan umum haruslah kita jadikan momentum untuk menjernihkan kembali ideal-ideal kita bernegara dan berbangsa. Dengan demikian , kita sanggup menentukan pasangan kandidat kepresidenan yang paling setia membela prinsip keberagaman , inklusivisme , dan semangat persaudaraan sebangsa. Sebab , hanya dengan jalan itu bangsa kita sanggup selamat.
Hanya dengan kehangatan solidaritas kebangsaan kita sanggup menemukan modus vivendi bagi koeksistensi kita pada ranah dan bidang apa pun. Segenap memori teror yang masih atau berpeluang menempel pada diri kita masing-masing , apalagi pada salah satu atau pada kedua pasangan kandidat kepresidenan , segenap gejala masih bertahannya militerisme atau kecenderungan diktatorial , setiap indikasi pengkhianatan pada amanat Reformasi , haruslah dihadapkan pada tuntutan transparansi dan dimintai pertanggungjawaban sebelum terlambat.
Saat menyongsong Pilpres 2014 , momentum bagi ”Taman Bunga Keindonesiaan” bakal lebih gampang tercapai bila semua warga negara menentukan setrik bertanggung jawab. Patut ditekankan bahwa dalam doktrin agama lebih banyak didominasi di negeri ini (yang di tingkat menengah ke bawah banyak dijadikan ladang kampanye sarat fitnah) , menentukan tak lain yaitu bersaksi. Salah satu pesan sentral Tuhan dalam Al Alquran tak lain semoga kita berlaku ibarat tuntutan untuk menegakkan timbangan dalam jual-beli , kita pun dituntut bersaksi setrik adil dan benar dalam soal-soal yang jauh lebih besar. Sebab , pada hari kemudian semua timbangan dan kesaksian bakal dituntut pertanggungjawabannya.
Hanya dengan tingkat kewaspadaan demikian bangsa kita sanggup tetap terjamin melangkah menuju ”Taman Bunga Keindonesiaan”
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demi Taman Bunga Indonesia"