Irwanto
KASUS kekerasan seksual yang menimpa seorang siswa prasekolah Jakarta International School telah membangkitkan kemarahan publik. Kekerasan seksual terhadap anak atau siapa pun yaitu bentuk kekerasan yang tidak sanggup ditoleransi.
Presiden Barack Obama bahkan pernah menyatakan bakal menyetujui eksekusi mati untuk predator seksual yang menyasar anak-anak. Meski kasusnya mendidihkan emosi banyak pihak , orang ataupun pihak yang menangani masalah ini seharusnya sanggup lebih bijaksana dan tahu batas-batas etik dan moral dalam tindakan mereka.
Awalnya terkesan JIS tak terbuka dan tak kooperatif sehingga jadi bulan-bulanan media yang cenderung sensasional. Media cenderung lebih tertarik membuat konstruksi sosial JIS sebagai sarang penyamun dan sekolah orang kaya yang tak bertangung jawab. Tanggapan JIS juga tak menolong , apalagi ketika di TV One spesialis aturan bertingkah lebih sebagai preman daripada pengatrik berwawasan aturan rasional.
Sampai hari ini perkembangan penanganan masalah tak membaik , justru merugikan semua pihak , terutama anak-anak. Aktivis tak memberi teladan best practice , tetapi kerancuan berpikir.
”Best interest of the child”
Prinsip paling fundamental dalam upaya proteksi anak yaitu ”kepentingan terbaik untuk anak” , the best interest of the child , yang diatur dalam UU Perlindungan Anak No 23/2002 dan Konvensi PBB perihal Hak-hak Anak. Dalam masalah JIS , yang dimaksud dengan anak yaitu korban (berapa pun jumlahnya) dan semua anak yang bersekolah di sekolah itu. Semua anak ini punya hak sama dilindungi. Bagi korban , proteksi berarti membantu menjaga kerahasiaan pribadinya , memilih dan menyediakan pinjaman mental-psikologis terbaik , dan tetap sanggup melanjutkan pendidikannya.
Bagi bawah umur lain , proteksi berarti melindungi rasa kondusif dan nyaman mereka dengan mencegah teror gosip dan bahaya positif dari publik yang berpotensi merusak hidup mereka , memastikan bahwa predator sudah benar-benar tak ada di sekolah mereka , dan memperoleh hak mereka tetap sanggup bersekolah di kawasan yang mereka pilih. Yang terjadi dengan pemberitaan negatif terus-menerus terhadap guru dan administratur sekolah disertai dengan agresi keimigrasian (yang tentu terlambat) menyebabkan ketakutan dan mengganggu kinerja mereka memberi pelayanan terbaik bagi bawah umur di sekolah.
Aspek jelek dari pemberitaan hingga dikala ini yaitu pencitraan bahwa JIS sebagai sekolah berbau gila dan sekolah orang-orang kaya sehingga ”diagarkan” di-bully publik. Sekolah mahal di Jakarta bukan hanya JIS. Banyak sekolah milik swasta nasional yang harganya fantastis. Namun , itu tak menyebabkan mereka jadi sekolah sarang penyamun. Anak-anak yang bersekolah di sekolah itu punya hak sama dihargai dan memperoleh kesempatan mengoptimalkan hasil berguru mereka.
Memagarkan masalah JIS ditangani ibarat ini memperlihatkan bahwa di negeri ini seakan-bakal tak ada yang paham perihal arti ”perlindungan anak” itu sendiri. Apalagi jikalau pihak tertentu mendorong ditutupnya sekolah ini , baik birokrat maupun pencetus di negeri ini benar-benar tak paham bakal esensi proteksi anak dan the best interest of the child. Tindakan yang mendeskreditkan institusi pendidikan ini hanya berbasis kategori sosial ekonomi dan keinternasionalannya membuat kita harus becermin siapa diri kita sebenarnya.
Kembali ke masalah utama. Jika pendekatan atau pengelolaan masalah terus ibarat ini , masalah yang paling utama bakal terabaikan. Akibatnya , bawah umur dan keluarga mereka yang bakal dirugikan.
Persoalan utama dalam masalah ini yaitu mencari predator seksual dan (kalau ada) jaringan mereka. Tak hanya di sekolah ini. Di mana pun. Karena itu , yang berwenang yaitu kepolisian. Pihak sekolah dan yayasannya serta orangtua harus memperlihatkan perilaku kooperatif sepenuhnya.
Bagaimana penyidikan sanggup dilakukan dengan baik jikalau semua pihak (termasuk pencetus proteksi anak) bertindak seakan-bakal mereka juga polisi? Kehebohan penyidikan inilah yang menyebabkan predator kabur dan mereka bakal menertawai para penyidik dan ”berterima kasih” bagi yang ikut menghebohkan masalah ini alasannya yaitu tidak perlu susah payah mencari informasi untuk menyelamatkan diri.
Hal sama mungkin terjadi di sekolah dan yayasan. Bagaimana mereka sanggup berkonsentrasi membantu kepolisian jikalau seba- gian besar waktu mereka habis untuk melayani pemberitaan pihak lain yang menyudutkan dan menghancurkan gambaran mereka? Penyelidikan kriminal perlu suasana kontemplatif dan rasa kondusif bagi yang membantu penyidikan. Ini tak terjadi dalam masalah JIS.
Persoalan utama berikutnya tentulah kesejahteraan korban dan bawah umur yang bersekolah di JIS. Bagi korban yang telah terbuka , diharapkan tindakan mental-psikologis segera. Bagi korban lain yang belum terbuka , dibutuhkan suasana kondusif dan penjaminan kerahasiaan untuk ikut membantu penyidikan. Suasana yang dibangun media , KPAI , dan Komnas Anak sanggup memicu pengalaman traumatik bagi bawah umur yang tak terlibat , reaksi stress berat sekunder bagi yang telah menjadi korban , dan ketakutan/kecemasan yang tinggi bagi pengasuh , guru , dan orangtua bawah umur lainnya.
Kerja sama semua pihak
Saat ini yang diharapkan yaitu kolaborasi semua pihak. Pihak sekolah harus memperoleh jaminan bahwa keberlangsungan belajar-mengajar mereka tak terganggu. Persoalan perizinan terang tidak hanya masalah JIS saja tetapi juga banyak sekolah lain. Kemdikbud tak sanggup sekadar memperlihatkan jarinya saja kepada JIS alasannya yaitu jari yang sama harus menunjuk hidung sendiri yang lalai. Untuk mendorong perilaku kooperatif sepenuhnya , kenyamanan dan keamanan sekolah perlu dikembalikan dan dijamin aparatur.
Lembaga HAM berbasis isu anak perlu mengkaji ulang tindakan mereka. Yang harus mere- ka lindungi yaitu semua anak , bukan satu-dua anak. Mereka membantu JIS dan kepolisian dengan pengetahuan mereka menemukan predator dan akar- akarnya di republik ini. Mereka membantu memberi jaminan rasa kondusif dan kerahasiaan yang diharapkan bagi keluarga yang kemungkinan anak-anaknya juga jadi korban untuk mau membantu penyidikan.
Orangtua mendorong sekolah sepenuhnya kooperatif , bahkan meminta wakil orangtua disertakan dalam penyidikan. Orangtua harus bersatu memperlihatkan dukungan terhadap orangtua korban dan si korban. Semua pihak yang tak bersalah dilindungi dan yang bersalah dipersempit ruang geraknya.
Irwanto , Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Penanganan Kasus Jis"